Istana Tak Jawab Surat AHY, Pengamat Nilai Isu Kudeta Demokrat Bisa Terus Menyerang Jokowi
Dikhawatirkan, isu kudeta Partai Demokrat ini akan terus menyerang Presiden Jokowi jika tak ada penjelasan dari Istana.
Penulis: Arif Tio Buqi Abdulah
Editor: Pravitri Retno W
TRIBUNNEWS.COM - Sikap Istana Presiden yang tak menjawab surat dari Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), terkait isu kudeta mendapat sorotan dari sejumlah pihak.
Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi, mengatakan klarifikasi Istana dalam isu kudeta Partai Demokrat ini sangat penting.
Ia khawatir isu kudeta ini akan terus menyerang Presiden Jokowi jika tak ada penjelasan dari Istana.
Dalam hal ini, menurutnya Istana perlu berbicara ke publik, paling tidak secara normatif.
"Pada tataran normatif saja biar tidak terlalu mempermalukan orang-orang disekitarnya," kata Burhan saat berbicara di acara Sapa Indonesia Pagi, Kompas TV, Jumat (6/2/2021).
"Secara normatif Pak Presiden harus mengatakan bahwa Istana tidak boleh intrusif apalagi mengobok-obok urusan partai orang karena bagaimanapun Istana harus non-partisan dan menjaga lencana pejabat tinggi negara," sambungnya.
Baca juga: Jika KLB Ilegal Diselenggarakan Demokrat Bisa Tak Berpartisipasi di Pilkada dan Pemilu 2024
Dalam isu kudeta Partai Demokrat ini, menurut Burhan, Presiden Jokowi tidak mempunyai kepentingan politik secara langsung.
Sebab, Jokowi tak bisa maju lagi di Pilpres 2024 dan secara kekuatan di Parlemen sudah banyak kekuatan partai yang mendukung.
"Pak Jokowi secara politik sudah tidak bisa maju lagi di 2024 dan secara kekuatan di Parlemen sudah 80% kekuatan partai yang mendukung Pak Jokowi sekarang."
"Dari sisi politik elektoral maupun politik stabilitas di Parlemen itu, tidak ada kepentingan Pak Jokowi untuk ngobok-ngobok Partai Demokrat," terangnya.
Ia menyebut, orang di sekitar Presidenlah yang bisa jadi mempunyai kepentingan politik untuk 2024 dan memanfaatkan situasi ini.
"Untuk 2024 bisa jadi ada kepentingan orang per orang di sekitar Pak Jokowi untuk menggunakan Partai Demokrat untuk maju di 2024," jelasnya.
Baca juga: Jokowi Tak Respon Surat AHY, Sekjen Demokrat: Masih ada Teka Teki yang Tersimpan
Menurutnya, penting bagi Presiden untuk memberi koreksi kepada lingkungan terdekat di Istana, dalam hal ini KSP Moeldoko yang namanya disebut terlibat dalam kudeta.
"Kalau Istana tidak memberikan koreksi ke dalam, itu bisa menimbulkan praduga Istana dianggap merestui langkah Pak Moeldoko," ungkapnya.
Senada, Direktur Ekskutif Indonesia Polticial Review, Ujang Komarudin, juga mengingatkan agar Presiden berbicara ke publik terkait hal ini.
Ia mengingatkan bahwa isu ini bisa terus menyerang Presiden jika tidak dijawab, terlebih hal ini bisa membuat citra Presiden menjadi buruk.
"Jangan sampai Pak Jokowi direcoki oleh orang-orang dekatnya sehingga citranya menjadi buruk, kalau hal ini tidak dijawab secara normatif maka isu ini bisa terus menyerang Pak Jokowi," kata Ujang.
"Jadi kalau isunya dibiarkan, ke depannya akan terus dituduh oleh publik bahwa melakukan tindakan intervensi walaupun kenyataannya kita tidak tahu apakah hanya sekedar dicatut orang dekatnya itu," jelasnya.
Baca juga: Popularitas Moeldoko Diprediksi Naik Gara-gara Isu Kudeta Demokrat
Sebelumnya diberitakan, Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), mengungkapkan dirinya telah mengirim surat kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Senin (1/2/2021) pagi.
Tujuan AHY menyurati Jokowi ialah untuk mendapatkan konfirmasi dan klarifikasi terkait informasi adanya gerakan politik inkonstutional yang bermaksud untuk mengambil alih kepemimpinan Partai Demokrat secara paksa.
Berdasar informasi yang didapat, AHY menyebut ada keterlibatan sejumlah nama di lingkup pemerintahan Kabinet indonesia Maju.
"Tadi pagi, saya telah mengirimkan surat secara resmi kepada Yang Terhormat Bapak Presiden Joko Widodo untuk mendapatkan konfirmasi dan klarifikasi dari beliau terkait kebenaran berita yang kami dapatkan ini," ungkap AHY dalam konferensi pers di Taman Politik DPP Demokrat, Senin, dikutip dari kanal YouTube AHY.
Dalam paparan AHY, informasi adanya gerakan politik yang ingin mengambil alih kepemimpinan Demokrat didapatkannya dari laporan pimpinan dan kader Demokrat baik pusat maupun cabang.
"Adanya gerakan politik yang mengarah pada upaya pengambilalihan kepemimpinan Partai Demokrat secara paksa, yang tentu mengancam kedaulatan dan eksistensi Partai Demokrat," kata AHY.
Baca juga: Pidato Lengkap AHY Soal Rencana Kudeta Partai Demokrat, Libatkan 5 Orang Termasuk Pejabat
Baca juga: Mau Dikudeta Lingkaran Jokowi dari Ketum Demokrat, AHY: Untuk Kendaraan Politik Nyapres 2024
Terdiri dari 5 Orang
Lebih lanjut AHY menyatakan, menurut kesaksian dan testimoni banyak pihak yang didapatkan, gerakan itu melibatkan pejabat penting pemerintahan, yang secara fungsional berada di dalam lingkar kekuasaan terdekat dengan Presiden Jokowi.
AHY menyebut, gerakan tersebut terdiri dari kader secara fungsional, mantan kader dan non-kader.
Gabungan dari pelaku gerakan itu ada 5 (lima) orang.
Terdiri dari satu kader Demokrat aktif dan satu kader yang sudah enam tahun tidak aktif.
Kemudian, satu mantan kader yang sudah sembilan tahun diberhentikan dengan tidak hormat dari partai karena menjalani hukuman akibat korupsi.
Baca juga: Rencana Pemilu 2024, Legislator Demokrat Ingatkan Soal Jatuhnya Korban Penyelenggara Pemilu di 2019
Selain itu, satu mantan kader yang telah keluar dari partai tiga tahun lalu.
Sedangkan yang non-kader partai adalah seorang pejabat tinggi pemerintahan.
AHY menyebut, tokoh yang akan mengambil alih itu, akan menjadikan Partai Demokrat sebagai kendaraan politik.
"Ajakan dan permintaan dukungan untuk mengganti dengan paksa Ketum Partai Demokrat tersebut, dilakukan baik melalui telepon maupun pertemuan langsung. Dalam komunikasi mereka, pengambilalihan posisi Ketum Partai Demokrat, akan dijadikan jalan atau kendaraan bagi yang bersangkutan, sebagai calon presiden dalam Pemilu 2024 mendatang," katanya.
Para pelaku, kata AHY, merasa yakin pasti sukses karena didukung para pejabat tinggi lain.
"Para pelaku merasa yakin gerakan ini pasti sukses, karena mereka meng-klaim telah mendapatkan dukungan sejumlah petinggi negara lainnya," ujarnya.
"Tentunya kami tidak mudah percaya dan tetap mengedepankan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) dalam permasalahan ini," ucap AHY.
(Tribunnews.com/Tio, Gilang)