Suhendra Sarankan Konflik Internal PD Dibawa ke TUN MA
Syaratnya, konflik internal diselesaikan secara hukum dengan membawanya ke Tata Usaha Negara (TUN) Mahkamah Agung (MA).
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat intelijen dan pertahanan Suhendra Hadikuntono memprediksi Partai Demokrat (PD) tidak akan terbelah menjadi dua kubu, meskipun ada pihak eksternal yang menginginkannya.
Syaratnya, konflik internal diselesaikan secara hukum dengan membawanya ke Tata Usaha Negara (TUN) Mahkamah Agung (MA).
"Jadi akan ada penyelesaian politik yang berbasiskan hukum," ujar Suhendra di Jakarta, Minggu (14/2/2021).
Selain hasilnya akan bersifat permanen, kata Suhendra, penyelesaian secara hukum juga agar PD tetap menjadi partai yang bermartabat, serta tidak mengundang intervensi atau campur tangan pihak luar atau eksternal.
"Penyelesaian hukum bisa membentengi PD dari intervensi pihak eksternal," jelasnya.
Baca juga: Darmizal Sebut AHY Abaikan Jasa Pendiri Partai, Demokrat Heran: Padahal Dulu Ada SBY Effect
Suhendra berpendapat kisruh yang terjadi di PD jangan dilihat setengah-setengah, tapi harus secara konprehensif seperti dari inisiator atau pendiri PD serta pihak yang mendompleng pada masalah yang berkembang.
"Memang PD terlalu seksi untuk dibicarakan. Jika sekarang Moeldoko meng-copy paste, ini menjadi panggung politik dia. Tapi ya sah-sah saja," katanya.
Suhendra mengaku masalah internal di PD sebenarnya sudah diketahuinya saat sejumlah elite PD, di antaranya Subur Sembiring dkk bertemu dengannya pada 13 Juni 2020. Mereka minta saran dan pendapat Suhendra.
"Pada kesempatan itu saya sarankan agar langkah atau keputusan politik diambil secara konstitusional melalui mekanisme gugatan TUN ke MA, sehingga dampak sosial yang timbul juga bisa dihindari. Jangan bermain di luar ring seperti mengopinikan atau merangsang pendukung melakukan tindakan anarkis, karena sesungguhnya politik itu ranah intelektual," jelasnya.
Sebagian elite PD saat itu, kata Suhendra, mempermasalahkan kepengurusan AHY yang dianggap menyimpang. Jika ada perselisihan pun tidak diselesaikan melalui Mahkamah Partai, sehingga terkesan sebagai partai politik dinasti.
"Lalu diterbitkanlah Surat Keputusan Kementerian Hukum dan HAM tentang Kepengurusan PD. Oleh sebab itu, saya menyarankan solusi konstitusional agar menggugat melalui TUN MA," tegasnya.
“Terus terang saya tidak mempunyai tendensi politik apa pun terkait kisruh internal PD ini. Makanya, saya memberi saran melalui jalur konstitusi. Saya melihat masukan seperti ini jarang bisa diberikan, karena tidak punya keinganan tulus dan tidak memahami apa yang terjadi. Saya enggak tahu ya, apa motivasi Moeldoko sehingga Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) itu dituduh hendak mengudeta AHY (Ketua Umum PD Agus Harimurti Yudhoyono)," paparnya.
Suhendra menilai sebenarnya apa yang terjadi di PD itu adalah dinamika internal, di mana antara harapan, keinginan dan kenyataan tidak sesuai. "Ada kegelisahan di internal Demokrat," cetusnya.
Mendirikan partai politik, lanjut Suhendra, berarti harus mewujudkan kinerja politik, dan kinerja politik itu terwujud salah satunya jika anggotanya boleh bersikap kritis terhadap pengurus partai.
"Kalau enggak seperti itu, ya jangan mendirikan partai politik, dong," tukasnya.
Persolannya, kata tokoh perdamaian Thailand selatan ini, bagaimana sikap yang dikritisi dan yang mengkritisi.
"Namun demikian kalau saya amati gaya AHY, dia masih belum bisa lepas dari mentornya, yaitu SBY (Ketua Majelis Tinggi PD Susilo Bambang Yudhoyono). Jadi, selama AHY tidak bisa menjadi dirinya sendiri dalam berpolitik, maka dia akan gagal. Menurut saya di PD ini harus mulai ada AHY kultural, bukan SBY kultural," terangnya.
Menurut Sehendra, Demokrat adalah partai politik yang terinspirasi Partai Demokrat di Amerika Serikat (AS). SBY yang juga seorang demokrat dan berlatar belakang TNI yang menjunjung tinggi demokrasi, dan sebagai pengawal demokrasi, itu sebenarnya yang dinilai Suhendra mengawali pemikiran berdirinya PD.
Suhendra berkeyakinan PD tidak akan terbelah seperti Partai Golkar atau Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan partai politik lainnya, meskipun ada sebagian orang di eksternal partai yang mempunyai keinginan seperti itu, jika konflik internal yang terjadi diselesaikan secara hukum.
Hal itu ditegaskannya dengan meminta penyelesaian internal tidak dilakukan dengan cara serampangan, tidak dengan cara konstitusional, tapi mengedepankan pendekatan kekuasaan, sehingga kalaupun itu terjadi ia pesimistis akan mendapatkan dukungan dari masyarakat.
"Makanya saya sarankan ke TUN MA agar permainannya kelihatan cantik, elegan dan konstitusional, sehingga enak dinikmati dan diamati oleh masyarakat," pintanya.
Terkait langkah Ketua Umum PD AHY berkirim surat ke Presiden Jokowi untuk klarifikasi dugaan keterlibatan Moeldoko dalam isu kudeta PD, Suhendera menilai tidak ada urgensinya.
Suhendra pun lega ketika Presiden Jokowi tidak menanggapi surat AHY tersebut.
"Beliau bukan ketua umum partai politik, dan tidak akan pula terjebak hal demikian," bebernya.
Suhendra kemudian menyarankan agar Moeldoko lebih baik fokus pada tugas pokok dan fungsi (tupoksi)-nya membantu Presiden Jokowi pada hal-hal yang berbobot.
Misalnya dengan melanjutkan percepatan realisasi Perjanjian Helsinki 15 Agustus 2006 antara Aceh dan Jakarta, dan melakukan sinkronisasi komunikasi antar-lembaga negara, yakni eksekutif, legislatif dan yudikatif sehingga pondasi kenegaraan kita menjadi lebih kokoh, kuat dan stabil.