Amnesti Internasional Sambut Baik Keinginan Jokowi Revisi 'Pasal Karet' dalam UU ITE
Direktur Eksekutif Amnesti International Indonesia Usman Hamid mengakui bahwa pasal-pasal karet di dalam UU ITE mengancam kebebasan berpendapat
Editor: Hendra Gunawan
Laporan wartawan tribunnews.com, Lusius Genik
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Amnesty International Indonesia menyambut baik pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) bahwa implementasi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) harus memberi rasa keadilan kepada masyarakat.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengakui bahwa pasal-pasal karet di dalam UU ITE mengancam kebebasan berpendapat dan berekspresi masyarakat.
"Kami mengapresiasi pernyataan Presiden bahwa UU ITE harus memberi rasa keadlian kepada masyarakat, tetapi ini tidak boleh menjadi sekedar jargon," ucap Usman dalam keterangannya, Selasa (16/2/2021).
Baca juga: 4 Fakta Ramai Revisi UU ITE dari Berbagai Parpol : Jangan Terjebak, Kejenuhan hingga Tak Berbelit
Langkah pertama Presiden untuk menindaklanjuti pernyataannya sendiri, kata Usman, adalah dengan membebaskan mereka yang dikriminalisasi dengan UU ITE hanya karena mengekspresikan pandangannya secara damai.
Pemerintah wajib menghormati dan melindungi hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat, termasuk mereka yang memiliki pandangan bertentangan dengan pemerintah.
Baca juga: 9 Pasal Karet UU ITE yang Perlu Dihapus dan Direvisi Menurut Pengamat, Apa Saja ?
"Yang juga tak kalah penting, pemerintah juga harus menyadari bahwa perlindungan terhadap kebebasan berpendapat dan berekspresi tidak berhenti sampai di revisi UU ITE," tutur Usman.
Usman mengungkapkan, ada pasal dalam undang-undang lain yang juga sering digunakan untuk menjerat kebebasan berekspresi.
Misalnya pasal makar dalam KUHP untuk menjerat warga Papua yang mengekspresikan pandangan mereka secara damai.
Baca juga: Seorang Pria Ditemukan Tewas di Tengah Sawah, Ternyata Dibunuh 5 Temannya Gara-gara Dendam
"Menjamin keadilan di tengah masyarakat harus dilakukan secara menyeluruh dan tidak diskriminatif," kata Usman.
Di sisi lain, Polisi juga harus menggunakan perspektif hak asasi manusia (HAM) dalam menegakkan hukum agar tidak melanggar kebebasan berpendapat dan berekspresi.
"Sepanjang 2020, Amnesty International mencatat setidaknya terdapat 119 kasus dugaan pelanggaran hak atas kebebasan berekspresi dengan menggunakan UU ITE, dengan total 141 tersangka, termasuk di antaranya 18 aktivis dan empat jurnalis," pungkas Usman.
Sebelumnya, dalam Rapat Pimpinan TNI dan Polri di Istana Negara tanggal pada 15 Februari lalu, Presiden Jokowi meminta Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) untuk meningkatkan pengawasan agar implementasi terhadap penegakan UU ITE dapat berjalan secara konsisten, akuntabel, dan berkeadilan.
Presiden juga mengatakan, jika UU ITE tidak bisa memberi rasa keadilan, maka dia akan meminta DPR untuk merevisi ‘pasal karet’ yang dapat menimbulkan multitafsir dalam undang-undang tersebut.