Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
DOWNLOAD
Tribun

DPR Ingatkan Pemerintah Lebih Produktif Belanjakan Utang yang Makin Besar Untuk Mendorong PDB

Politisi PKS ini menilai utang yang sudah ditarik pemerintah gagal dimanfaatkan untuk penyelamatan ekonomi nasional

Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Eko Sutriyanto
zoom-in DPR Ingatkan Pemerintah Lebih Produktif Belanjakan Utang yang Makin Besar Untuk Mendorong PDB
ISTIMEWA
Ilustrasi utang pemerintah 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Vincentius Jyestha 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Beberapa hari belakangan, berbagai kalangan menyoroti soal utang dan defisit yang dialami pemerintah Indonesia.

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat utang pemerintah hingga akhir Desember 2020 mencapai 6.074,56 triliun. 

Dengan demikian, rasio utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 36,68%.

Sementara itu, Pemerintah menargetkan utang baru pada 2021 sebesar Rp 1.177,4 triliun. Sebagian besar utang ini didapat melalui penerbitan surat berharga negara (SBN) Rp 1.207,3 triliun. 

Atas sorotan publik ini, Menteri Keuangan memberikan respon dengan mengatakan bahwa posisi utang pemerintah pusat mengalami peningkatan disebabkan oleh pelemahan ekonomi akibat Covid-19 serta peningkatan kebutuhan pembiayaan untuk menangani masalah kesehatan dan pemulihan ekonomi nasional. Ia juga menjelaskan bahwa negara lain juga mengalami hal yang sama. 

Baca juga: Anggota TNI Gugur Ditembak KKSB, PKS Pertanyakan Strategi Pemerintah Selesaikan Masalah Papua

Menanggapi sorotan publik terkait peningkatan utang pemerintah ini, anggota Komisi XI DPR RI Fraksi PKS Anis Byarwati mengatakan bahwa defisit APBN akan semakin lebar, sebagai akibat dari ekspansi fiskal Pemerintah untuk menyelamatkan perekonomian di saat Pandemi. 

Berita Rekomendasi

"Hal ini terlihat dengan adanya pelebaran defisit fiskal dari 2,2% pada tahun 2019, menjadi 6,3% pada tahun 2020. Dan diperkirakan masih akan defisit sebesar 5,7% di tahun 2021,” kata Anis, dalam keterangannya, Kamis (18/2/2021).

Ketua DPP PKS Bisang Ekonomi dan Keuangan ini juga menyampaikan bahwa defisit merupakan langkah normal di saat resesi.

Ia mengingatkan bahwa tetap diperlukan kehati-hatian dalam melaksanakan kebijakan defisit ini. 

Baca juga: Antam Disebut Perlu Libatkan Putra Daerah untuk Dorong Pemerataan Ekonomi

Catatan lain yang diberikan oleh Doktor Ekonomi Islam ini, terkait dengan sebagian besar defisit APBN dibiayai oleh utang. Semakin lebar defisit, semakin besar juga utang. 

"Untuk memaksimalkan pertumbuhan, tentu utang harus digunakan. Tetapi yang sering terjadi adalah Pemerintah justru gagal membelanjakan uang,” paparnya. 

Hal ini tercermin dari besarnya Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) selama 5 tahun terakhir yang mencapai Rp 10-30 Triliun setiap tahunnya. 

Lebih lanjut Anis menjelaskan, pelebaran defisit ini disebabkan oleh tingginya anggaran Penyelamatan Ekonomi Nasional (PEN).

Akan tetapi, data terakhir menunjukkan bahwa realisasi anggaran PEN hingga akhir tahun 2020 belum maksimal, hanya sebesar 83%. 

“Hal ini tentu merugikan, karena utang yang sudah ditarik pemerintah, gagal dimanfaatkan untuk penyelamatan ekonomi nasional,” imbuhnya.

Anis juga menyoroti primary balance Indonesia yang dalam beberapa tahun ini selalu tercatat negatif.

Baca juga: Pelaku UMKM Dukung Vaksinasi Tahap Kedua karena Mempercepat Pemulihan Ekonomi

Ketika primary balance negatif artinya Pemerintah sedang menjalankan kebijakan gali lubang tutup lubang. 

“Pemerintah menerbitkan utang baru untuk membayar utang yang lama. Hal ini tentu bukan pertanda baik untuk keberlangsungan fiskal Indonesia,” tegas Anis.

Di tengah pandemi, primary balance Indonesia semakin memburuk. Pada tahun 2020 diperkirakan mencapai -4,3% dan pada tahun 2021 mencapai -3,59%. 

“Pemerintah harus mewaspadai lampu kuning dari semakin besarnya  negatif primary balance ini, agar fiskal Indonesia lebih sustain untuk tahun-tahun mendatang,” ungkap Anis.

Anis memaparkan bahwa pada masa pra-pandemi, debt to GDP ratio Indonesia terus meningkat, dari awalnya 24% pada tahun 2014 menjadi 30,2% di tahun 2019.

Meningkatnya debt to GDP ratio menunjukkan bahwa selama periode tersebut penambahan utang lebih tinggi dibandingkan penambahan PDB. Artinya, utang Pemerintah selama ini belum cukup produktif untuk mendorong PDB nasional. 

“Hal ini tentu perlu menjadi catatan penting. Meningkatnya debt to GDP ratio yang mencapai 37% di tahun 2020 dan diperkirakan menjadi 41% pada tahun 2021, merupakan sinyal kurang bagus.

Ini berarti Pemerintah akan kesulitan mengendalikan laju utang di masa yang akan datang,” pungkasnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Klik Di Sini!
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas