Pakar Keamanan Siber: Pasal Karet UU ITE Sudah Lama Dikeluhkan
Hal ini terkait dengan adanya aturan kehilangan hak politik bagi seseorang yang mendapatkan pidana diatas 5 tahun.
Penulis: Hendra Gunawan
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - UU ITE ada sejak tahun 2008 dan sudah mengalami revisi pada 2016.
Saat itu menteri Rudiantara didesak untuk mengubah ancaman pidana dari 6 tahun menjadi dibawah 5 tahun.
Hal ini terkait dengan adanya aturan kehilangan hak politik bagi seseorang yang mendapatkan pidana diatas 5 tahun.
Belakangan ini UU ITE semakin mendapat sorotan masyarakat karena adanya saling lapor dari beberapa individu dan kelompok masyarakat menggunakan UU ITE, terutama pasal 27 ayat 3 dan juga pasal 28.
Beberapa parpol mendesak agar pasal karet UU ITE dihapus.
Presiden Joko Widodo sendiri sudah bersuara agar DPR segera merevisi pasal karet yang ada.
Pakar keamanan siber Pratama Persadha mendukung sikap Presiden Joko Widodo untuk merevisi pasal karet di UU ITE.
Menurutnya pasal di KUHP sudah cukup untuk urusan pencemaran nama baik.
“UU ITE ini memang sudah banyak dikeluhkan, terutama akhir-akhir ini digunakan untuk pelaporan banyak pihak. Tentunya kepolisian juga mendapatkan tekanan dari masyarakat, karena masing-masing pihak ingin laporannya dan pihak terlapor segera di proses,” jelas chairman lembaga riset keamanan siber CISSReC (Communication & Information System Security Research Center) ini.
Baca juga: Gandeng Kemenkominfo, Polisi Dunia Maya akan Tegur Warganet yang Langgar UU ITE
Lebih jauh Pratama menjelaskan, misalnya dalam beberapa kasus hoaks yang malah ditangkap adalah pihak-pihak yang menyebarkan saja, yang bisa dibilang mereka ini juga korban karena terhasut dan tidak tahu konten yang diposting adalah hoaks.
“Kita ingin UU ITE ini mendorong aparat untuk mengusut dan menangkap aktor intelektual. Memang dalam penyebaran sebuah konten hoaks ada saja masyarakat yang menjadi tersangka karena ikut menyebarkan meski tidak tahu dan bukan bagian dari tim hoaks.
Namun ini kan sebenarnya mudah saja dibuktikan bahwa mereka ini bertindak sebagai korban, bukan bagian dari tim produksi dan penyebar. Inilah salah satu ketakutan masyarakat,” terangnya belum lama ini.
Pratama juga menegaskan apalagi edukasi anti hoaks di masyarakat ini hampir tidak ada. Jadi masyarakat ini kesannya diancam tapi tidak diberikan bekal.
“Bukan berarti pasal 27 ayat 3 dan pasal 28 misalnya dihapus atau direvisi, lalu hoaks bisa bebas tanpa hukuman. Ada pasal lain tentang pencemaran nama baik dan penghasutan di KUHP yang bisa digunakan. Tindakannya sama, hanya ini dilakukan di wilayah siber,” jelas pria asal Cepu ini.
Pratama menjelaskan masyarakat kita seharusnya dilindungi dan diberikan edukasi.
Selama ini beberapa pasal UU ITE memang seperti menjadi momok menakutkan. Beberapa kasus yang ramai belakangan ini adalah Abu Janda dan pelaporan Dino Patti Jalal.
Kasus Abu Janda dalam menyebut islam sebagai agama arogan, selain dengan UU ITE juga bisa dengan UU Penodaan Agama.
Yang sering ditakutkan masyarakat ini seperti pada kasus Dino Patti Jalal, saat menjelaskan kasus pencurian SHM rumah ibunya di twitter dan instagram, Dino Patti Jalal malah dilaporkan karena dianggap mencemarkan nama baik dengan pasal 27 ayat 3.
“Untuk pasal 28 khususnya ayat 1 memang perlu diperjelas lagi. Agar masyarakat tidak menjadi korban karena menjadi penyebar konten hoaks misalnya. Jadi pasal 28 ayat 1 ini juga sering dijadikan bahan untuk menjerat para penyebar konten hoaks selain psal 27 ayat 3 yang diarahkan pada pencemaran nama baik di internet,” terangnya.
Revisi harus fokus pada pemidanaan pada para penyebar yang menjadi satu tim dengan aktor intelektual maupun aktor kreator kontennya.
Jadi masyarakat yang mendapatkan konten hoaks sekedar memposting tidak serta merta menjadi korban pemidanaan.
Namun memang ada resiko nantinya konten hoaks bisa menyebar, karena itu butuh edukasi terus menerus.
Masyarakat butuh pendekatan kultural, tidak selalu dengan pendekatan hukum yang membuat gusar.
“Memang sebaik apapun UU dan regulasi yang ada, tetap kemampuan aparat, jaksa dan hakim adalah yang paling menentukan dalam proses keadilan di tanah air.
Namun itikad baik Presiden Joko Widodo ini sebaiknya di dukung seluruh elemen masyarakat agar segera di eksekusi DPR. Kita tunggu saja, semoga pemerintah segera mengajukan revisi pada pasal-pasal UU ITE yang sudah ada,” jelasnya.