Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Ada Pasal Karet dalam UU ITE, Kemampuan Legislasi DPR Dipertanyakan

Adinda Tenriangke Muchtar, mempertanyakan kemampuan DPR dalam hal legislasi atau pembuatan suatu Undang-Undang.

Penulis: Chaerul Umam
Editor: Adi Suhendi
zoom-in Ada Pasal Karet dalam UU ITE, Kemampuan Legislasi DPR Dipertanyakan
Tribunnews.com/ Chaerul Umam
Direktur Eksekutif The Indonesian Institute (TII) Adinda Tenriangke Muchtar. 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Eksekutif The Indonesian Institute (TII) Adinda Tenriangke Muchtar, mempertanyakan kemampuan DPR dalam hal legislasi atau pembuatan suatu Undang-Undang.

Hal itu disampaikannya menyoroti pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang meminta DPR merevisi UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) jika tidak memberikan rasa keadilan kepada masyarakat.

Dalam penerapannya, adanya pasal karet dan multitafsir membuat UU ITE kerap dijadikan alat untuk saling lapor.

Baca juga: Kemenkopolhukam Bentuk Dua Tim Bahas UU ITE, Salah Satunya Pelajari Soal Pasal Karet

Demikian disampaikan Adidan dalam diskusi daring Para Syndicate bertajuk 'Revisi UU Pemilu dan UU ITE: Substansi, Sensasi, Masturbasi Demokrasi?', Jumat (19/2/2021).

"Ini jadi menarik karena kalau mau dikaitkan dengan DPR, sebenarnya kemampuan mereka membuat legisasi itu seperti apa? resources-nya seperi apa? sehingga kadang-kadang prosesnya jadi membuat parah satu legisasi yang multitafsir dan day to day dia malah mengancam kebebasan sipil kita," kata Adinda.

Adinda mengatakan, dalam iklim demokrasi, partisipasi publik diperlukan untuk mengawasi jalannya roda pemerintahan.

Baca juga: Dua Tim Pemerintah Mulai Bekerja Senin Pekan Depan Bahas UU ITE

Berita Rekomendasi

Namun, ketika kritik tersebut malah disambut dengan persekusi, buzzer, dan ancaman pidana maka hal itu sangat mengkahwatirkan.

UU ITE seolah menjadi alat legitimasi untuk memidanakan orang-orang kritis.

"Ketika ada peraturan perundang-undangan yang sebenarnya mengizinkan bahkan mengamanahkan partisipasi masyarakat, seharusnya ini disambut baik bukan malah dipersekusi, dihadapkan oleh buzzer bahkan dihadapkan pada hukum pidana. Itu sangat menyeramkan karena kita sendiri tidak punya kuasa berhadapan dengan kekuasaan hukum negara apalagi aparat hukum," ucapnya.

Adinda melihat bahwa revisi UU ITE ini mendesak untuk segera dilakukan.

Bila perlu, masyarakat pemilih juga perlu mengawasi jika ada partai politik yang cenderung mendorong peraturan perundang-undangan yang mengekang kebebasan berpendapat, harus dilawan dengan cara tidak memilih mereka saat pemilu.

"Revisi Undang-Undang ITE ini sangat mendesak dan memang harus dipastikan untuk menyisir pasal-pasal yang multitafsir," katanya.

Jokowi: Kalau UU ITE Tidak Beri Rasa Keadilan Saya Minta DPR Revisi

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyoroti banyaknya masyarakat yang saling melaporkan ke polisi dalam beberapa waktu belakangan ini.

Para pelapor menggunakan pasal Undang-undang Informasi dan transaksi Elektronik (ITE).

Jokowi mengatakan akan meminta DPR untuk merevisi UU ITE, bersama pemerintah, apabila undang-undang tersebut tidak memberikan rasa keadilan.

"Kalau UU ITE tidak bisa memberikan rasa keadilan, ya, saya akan minta kepada DPR untuk bersama-sama merevisi UU ini," kata Jokowi dalam rapat pimpinan TNI/Polri di Istana Negara, Jakarta, Senin (15/2/2021).

Baca juga: KPK Apresiasi Rencana Penyimpanan Barang Gratifikasi Jokowi Rp 8,7 M di Museum

Revisi UU ITE tersebut kata presiden terutama dilakukan pada pasal-pasal karet yang multi tafsir.
Pasal-pasal yang bisa ditafsirkan secara sepihak.

" UU ITE ini. Karena di sinilah hulunya. Hulunya ada di sini, revisi," katanya.

Meskipun demikian kata Presiden ruang digital di Indonesia tetap harus dijaga.

Tujuannya agar ruang digital di Indoensia sehat dan beretika.

"Agar penuh dengan sopan santun, agar penuh dengan tata krama, dan produktif," katanya.

Sebelumnya banyaknya laporan polisi terkait orang-orang yang bersebrangan dengan pemerintah mendapatkan sorotan sejumlah pihak.

Salah satunya mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Baca juga: Presiden Jokowi Lantik Gubernur Beserta Wakil Gubernur Kaltara dan Sulut

Jusuf Kalla mempertanyakan cara mengkritik pemerintah tanpa dipanggil Polisi.

"Presiden mengumumkan, silakan kritik pemerintah. Tentu banyak pertanyaan, bagaimana caranya mengkritik pemerintah tanpa dipanggil polisi?" kata Jusuf Kalla dalam acara diskusi virtual yang digelar Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Jumat (12/2/2021) dikutip dari Kompas Tv.

Hal tersebut, kata Jusuf Kalla (JK), harus diupayakan agar kritik terhadap pemerintah tidak berujung pada pemanggilan oleh kepolisian.

Menurut JK, kritik sangat diperlukan dalam pelaksanaan sebuah demokrasi.

"Harus ada check and balance. Ada kritik dalam pelaksanaannya," katanya.

Di acara diskusi virtual bertema "Mimbar Demokrasi Kebangsaan" ini, JK juga mengingatkan kepada PKS sebagai partai oposisi untuk melakukan kritik kepada pemerintah.

Karena keberadaan oposisi penting untuk menjaga kelangsungan demokrasi.

"PKS sebagai partai yang berdiri sebagai oposisi tentu mempunyai suatu kewajiban untuk melaksanakan kritik itu. Agar terjadi balancing, dan agar terjadi kontrol di pemerintah."

"Tanpa adanya kontrol, pemerintah tidak dapat berjalan dengan baik," tutur JK.

Baca juga: Kapolri Buat Terobosan Baru, UU ITE Bakal Ditangani Lebih Selektif Agar Tak Jadi Pasal Karet

Diingatkan JK, indeks demokrasi di Indonesia saat ini dinilai menurun menurut The Economist Intelligence Unit (EIU).

"Tentu ini bukan demokrasinya yang menurun, tapi apa yang kita lakukan dalam demokrasi itu," ujarnya.

Menurutnya, ada hal-hal obyektif yang tidak sesuai dengan dasar-dasar demokrasi.

Dalam demokrasi, warga negara memiliki hak dan kewajiban yang sama, yakni dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Masalah utama dalam demokrasi itu disebabkan oleh mahalnya demokrasi itu sendiri.

Sehingga demokrasi tidak berjalan dengan baik.

"Untuk menjadi anggota DPR saja butuh berapa? Menjadi bupati dan calon pun butuh biaya. Karena demokrasi mahal. Maka kemudian menimbulkan kebutuhan untuk pengembalian investasi."

"Di situlah terjadinya menurunnya demokrasi. Kalau demokrasi menurun, maka korupsi juga naik. Itulah yang terjadi," kata JK.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas