Pembelaan Polri Soal Tudingan Irjen Napoleon yang Ngaku Dikriminalisasi Institusinya Sendiri
Irjen Napoleon juga diminta untuk mengajukan gugatan jika tuntutan penjara selama 3 tahun dianggap berat.
Penulis: Igman Ibrahim
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadiv Hubinter) Polri Irjen Napoleon Bonaparte mengaku telah menjadi korban kriminalisasi dari institusi Polri.
Pihak korps Bhayangkara merespons ucapan anggotanya tersebut.
Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Pol Ahmad Ramadhan menghormati pendapat yang diutarakan oleh Irjen Napoleon.
Polri menilai pernyataan Napoelon sebagai hak terdakwa di persidangan.
"Jadi setiap orang itu tentunya memiliki hak untuk berbicara mengeluarkan pendapat. Jadi silakan saja siapapun yang ditegakkan secara hukum ada proses hukumnya," kata Ahmad di Mabes Polri, Jakarta, Senin (22/2/2021).
Irjen Napoleon juga diminta untuk mengajukan gugatan jika tuntutan penjara selama 3 tahun dianggap berat.
Ahmad bilang, Polri menghormati mekanisme hukum yang diajukan oleh Napoleon.
"Seperti proses-proses ketika tidak puas, melakukan gugatan, itu kita menghargai. Itu kita persilakan, tentunya melalui mekanisme hukum yang ada," tukas dia.
Diberitakan sebelumnya, Mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadiv Hubinter) Polri sekaligus terdakwa kasus suap Djoko Tjandra, Irjen Napoleon Bonaparte menyebut ia adalah korban kriminalisasi institusi Polri.
Baca juga: Irjen Napoleon Bonaparte: Saya Korban Kriminalisasi Institusi Polri
Napoleon juga menyebut dirinya adalah korban malpraktik dalam penegakan hukum.
Pernyataan ini ia sampaikan saat membaca nota pembelaan atau pleidoi atas tuntutan pidana penjara 3 tahun, karena disebut terbukti menerima uang suap dari buronan kasus korupsi hak tagih (cessie) Bank Bali, Djoko Tjandra.
"Bahwa kami telah menjadi korban dari kriminalisasi melalui media sosial yang memicu malpraktik dalam penegakan hukum," ucap Napoleon dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (22/2/2021).
Ia menjelaskan bentuk kriminalisasi dan malpraktik yang menimpa dirinya berangkat dari penegakan hukum yang terkesan tak berdasar.
Penegakan hukum dalam kasus Djoko Tjandra, disebut hanya demi mempertahankan citra institusi Polri semata.
Kasus Djoko Tjandra diusut lantaran terjadi pemberitaan secara masif di media massa dan berskala nasional pada pertengahan bulan Juli 2020, atas tudingan pemerintah Indonesia khususnya institusi penegakan hukum sudah kecolongan.
"Sehingga memicu malpraktik penegakan hukum atas nama mempertahankan keluhuran marwah institusi," ucapnya.
"Kemudian disambut oleh pemberitaan di media massa secara masif dan berskala nasional, sejak pertengahan bulan Juni 2020, yang menuding, bahwa pemerintah Indonesia, terutama penegak hukum terkait telah kecolongan," sambung dia.
Masifnya pemberitaan tersebut diperparah dengan munculnya foto surat keterangan bebas Covid-19 atas nama Brigjen Prasetijo Utomo, Djoko Tjandra dan pengacaranya Anita Kolopaking yang diteken pihak Pusdokes Polri.
Sehingga, membuat kepercayaan atas institusi Polri kian menurun. Sebab kata dia, ada anggapan bahwa Polri sebagai biang keladi di balik rentetan kasus Djoko Tjandra.
"Telah menggulirkan tudingan publik kepada Polri, bahwa yang dianggap sebagai biang keladi tercorengnya kewibawaan pemerintah akibat kelemahan aparat hukum negara," pungkasnya.