Evaluasi Setahun Pandemi, Legislator PKS Berikan Catatan Kasus ke Menkes
Anggota Komisi IX DPR Fraksi PKS Kurniasih Mufidayati minta setahun Pandemi Covid-19, hasil tes PCR harusnya bisa dipercepat hanya sehari setelah test
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PKS Kurniasih Mufidayati mengungkapkan beberapa catatan saat Rapat Kerja dengan Menteri Kesehatan (Menkes), Menteri Ketenagakerjaan, Kepala BPOM, Ketua Satgas Penanganan Covid-19, dan Dirut BioFarma, Senin (15/3).
Catatan pertama Mufida terkait lamanya hasil PCR yang diterima oleh pasien.
Kecepatan informasi hasil PCR sangat menentukan keberhasilan 3T di Indonesia.
Berdasarkan data yang didapatkan saat reses, hasil PCR pasien di RS, antara 3-5 hari.
Bahkan tak jarang, sampai pasien meninggal, hasil PCR belum keluar.
"Ini tentu saja terlalu lama untuk keputusan treatmen pasien, karena treatmen bisa dilakukan dengan tepat sesuai hasil PCR," ujar Mufida, kepada Menkes Budi Gunadi Sadikin, Senin (15/3/2021).
Baca juga: BPOM Tunda Penggunaan Vaksin Astrazeneca untuk Kehati-hatian
Anggota DPR RI dari Dapil Jakarta II ini meminta setahun Pandemi Covid-19, hasil tes PCR seharusnya bisa dipercepat hanya sehari setelah test.
Semakin cepat hasil tes diperoleh, maka pasien bisa segera diterapi sesuai dengan tingkat kegawatannya.
Akan tetapi, ia melihat persoalan tes PCR sudah terjadi pada WNI yang pulang ke Tanah Air.
Mufida mendapatkan fakta bahwa dalam lima hari karantina, WNI harus melewati dua kali tes PCR.
Padahal sebelum terbang ke Indonesia, WNI tersebut juga sudah melakukan PCR.
"Ini kan ada banyak pelajar dan Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang harus tiga kali PCR dalam lima hari. Selain kasihan, ini juga tidak efisien dari segi anggaran. Bisakah hanya dua kali saja PCR. Lalu apakah perlakuan yang sama juga diberlakukan untuk WNA yang masuk kesini? Apakah untuk WNA dan TKA seketat itu?" tanya Mufida.
Catatan lain yang sering menjadi temuan saat ini adalah sejumlah laporan adanya pasien yang usai divaksin kemudian muncul gejala Covid-19, bahkan ada yang kemudian meninggal pascavaksin.
Situasi ini semakin menguatkan stigma negatif tentang vaksin, karenanya harus segera dilakukan antisipasi.
Baca juga: Presiden Jokowi Bertolak ke Bali untuk Tinjau Vaksinasi Massal
Mufida mengusulkan untuk yang kesekian kalinya perlunya screening virus dengan alat tes yang akurat bagi masyarakat sebelum divaksin.
Tak hanya itu, dia meminta data jumlah orang yang sudah melakukan vaksinasi kemudian terpapar positif Covid-19.
Sebab fakta ini justru akan memberikan sentimen negatif dalam proses vaksinasi yang tengah berjalan.
"Kami mohon data berapa yang sudah divaksinasi kemudian terpapar positif. Ini nanti untuk membandingkan tingkat efikasi Sinovac di angka 65,3 persen riil tidak. Sebab kami di lapangan terus mendukung sosialisasi vaksin, kalau sentimen ini tidak diperhatikan bisa semakin berat," terang Mufida.
Baca juga: Menkes: Kegiatan Vaksinasi Melambat karena Kendala Pasokan Vaksin
Lebih lanjut, Mufida mengingatkan evaluasi satu tahun Pandemi perhatian terhadap tenaga kesehatan tidak dikurangi.
Saat tengah berjuang, kata dia, ada beberapa kebijakan yang justru memberatkan tenaga kesehatan satu di antaranya rencana pemotongan insentif.
"Mereka itu mempertaruhkan jiwa dan raga. Ke depan saya garisbawahi, harus ada perhatian yang lebih tinggi terhadap kesejahteraan dan proteksi tenaga kesehatan khususnya dalam penanganan Covid-19 supaya terlindungi," tandasnya.