Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

MPR Ingin Buat Haluan Negara, Pakar: Sudah Tidak Relevan Lagi di Masa Sekarang

Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) ini menilai PPHN tidak memiliki implikasi hukum karena Presiden tidak dipilih dan bisa dijatuhkan MPR,

Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Johnson Simanjuntak
zoom-in MPR Ingin Buat Haluan Negara, Pakar: Sudah Tidak Relevan Lagi di Masa Sekarang
screenshot
Bivitri Susanti 

Sebelumnya  Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengungkapkan jalan terang menghadirkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) yang menjadi amanat dan rekomendasi MPR RI 2014-2019 sudah mulai terlihat.

Di tahun 2021 ini, MPR RI melalui Badan Pengkajian bekerjasama dengan Komisi Kajian Ketatanegaraan akan mulai bekerja dengan melibatkan pakar/akademisi dari berbagai disiplin ilmu, termasuk Lembaga Negara dan Kementerian Negara untuk menyusun Rancangan PPHN berikut naskah akademiknya.

"Bersamaan dengan itu, Pimpinan MPR bersama Pimpinan Badan Pengkajian akan melakukan komunikasi politik dengan pemerintah, Pimpinan Lembaga Negara, Pimpinan Partai Politik, Pimpinan Ormas, Forum Rektor, dan sebagainya. Melalui berbagai kegiatan seperti road show dan focus group discussion," ujar Bamsoet usai memimpin Rapat Pimpinan MPR RI bersama Pimpinan Badan Pengkajian MPR RI dan Pimpinan Komisi Kajian Ketatanegaraan, di Ruang Rapat Pimpinan MPR RI, Jakarta, Senin (18/1/2021).

Turut hadir para Wakil Ketua MPR RI antara lain Ahmad Muzani, Jazilul Fawaid, Lestari Moerdijat (virtual), Zulkifli Hasan (virtual), Hidayat Nur Wahid (virtual), Syarif Hasan, serta Fadel Muhammad. Hadir pula pimpinan Badan Pengkajian MPR RI antara lain Djarot Saiful Hidayat (PDI-Perjuangan), Agun Gunandjar Sudarsa (Golkar), Tifatul Sembiring (PKS), dan Benny Harman (Demokrat).

Sementara pimpinan Komisi Kajian Ketatanegaraan yang hadir antara lain Daryatmo Mardiyanto, Rambe Kamarul Zaman, Prof. Bachtiar Aly, dan Siti Masrifah.

Ketua DPR RI ke-20 ini menegaskan, adanya PPHN tidak menghilangkan SPPN (Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional), RPJP (Rencana Pembangunan Jangka Panjang), dan RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah). Justru PPHN akan menjadi payung ideologi dan konstitusional dalam penyusunan SPPN, RPJP, dan RPJM yang lebih bersifat teknokratis.

"Dengan kata lain PPHN memuat arahan pembangunan. Sementara SPPN, RPJP, dan RPJM memuat apa yang harus dilakukan negara untuk mencapai target pembangunan tersebut," tandas Bamsoet.

Berita Rekomendasi

Wakil Ketua Umun KADIN Indonesia ini menjelaskan, keberadaan PPHN untuk memastikan adanya satu pedoman bagi seluruh elemen bangsa untuk meneguhkan pokok-pokok pikiran UUD NRI Tahun 1945. Selain juga memperkuat sistem presidensial di era desentralisasi, serta menjamin keberlangsungan kepemimpinan nasional yang konstitusional, kuat dan stabil dan berwibawa.

"Keberadaan PPHN juga akan memperkokoh integrasi bangsa dalam semangat persatuan dan kesatuan, yang berdasar kepada Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ber-Bhineka Tunggal Ika. Kita memerlukan adanya satu pedoman atau arah yang menjamin keberlangsungan visi dan misi Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945,” jelas Bamsoet.

Salah satu rekomendasi dari MPR masa jabatan 2014–2019 adalah untuk melakukan kajian secara mendalam terhadap substansi dan bentuk hukum PPHN. Beberapa hal yang dikaji adalah apakah PPHN masuk dalam pasal UUD NRI Tahun 1945, atau masuk dalam Ketetapan MPR, atau cukup dalam Undang-Undang.

“Pertanyaan lain yang sering muncul adalah apa urgensi PPHN karena sudah ada Sistim Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP). Apakah PPHN akan menggantikan SPPN dan RPJP? Apakah kehadiran PPHN ini akan menjadikan MPR kembali menjadi lembaga tertinggi negara? Juga pertanyaan jika satu-satunya pintu masuk melalui perubahan UUD NRI Tahun 1945, apakah tidak akan membuka kotak pandora,” kata Bamsoet.

Dalam Rapat Pimpinan, Ketua Badan Pengkajian Djarot Saiful Hidayat memaparkan perkembangan kajian terhadap substansi dan bentuk hukum PPHN. Salah satu hasil kajian adalah PPHN dimasukkan dalam Ketetapan MPR. Karena itu perlu dilakukan amandemen terbatas dengan menambah satu ayat di Pasal 3 UUD NRI Tahun 1945. Pimpinan Badan Pengkajian juga menyampaikan bahwa amandemen terbatas tidak akan membuka kotak pandora karena tatacara dan aturan yang ketat serta tidak akan mengubah sistem presidensial yang ada.

“Sebagaimana saran dari Badan Pengkajian, salah satu pintu masuk untuk menghadirkan PPHN adalah melalui Ketetapan MPR. Mau tidak mau kita memang harus melakukan amandemen terbatas karena harus menambah satu ayat dalam Pasal 3 UUD NRI Tahun 1945,” ujar Bamsoet.

Bamsoet mengakui gagasan menghadirkan kembali PPHN memang bukan hal mudah, tetapi juga bukan hal yang tidak mungkin, agar pada pemilu serentak 2024 nanti PPHN ini menjadi bagian tak terpisahkan dari visi dan misi calon presiden dan calon wakil presiden serta visi dan misi calon gubernur, bupati dan walikota.

“Jalan menuju perubahan UUD NRI Tahun 1945 pastilah bukan hal mulus. Karena sekurang-kurangnya perlu dukungan sepertiga anggota MPR untuk pengusulan, dan rapat harus kuorum dihadiri duapertiga dari jumlah anggota MPR, dan memerlukan suara 50 persen plus satu untuk mendapatkan persetujuan,” pungkasnya.(*)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas