Tiga Saksi Diperiksa terkait Kasus Gubernur Nonaktif Sulsel Nurdin Abdullah
Tiga saksi Eka Novianti, Nenden Desi Siti Nurjanah dan Siti Mutia akan diperiksa untuk melengkapi berkas perkara tersangka Nurdin Abdullah.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Dewi Agustina

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sebanyak tiga saksi dipanggil Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengusut kasus dugaan suap perizinan dan pembangunan infrastruktur di lingkungan pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan tahun anggaran 2020-2021.
Tiga saksi tersebut yakni Eka Novianti, Nenden Desi Siti Nurjanah dan Siti Mutia akan diperiksa untuk melengkapi berkas perkara tersangka Gubernur nonaktif Sulsel Nurdin Abdullah.
"Mereka akan diperiksa sebagai saksi untuk tersangka NA (Nurdin Abdullah)," ujar Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya, Senin (29/3/2021).
Dalam kasus ini, KPK menetapkan tiga orang tersangka yakni Nurdin Abdullah dan dua tersangka lain yaitu Sekretaris Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (PUTR) Provinsi Sulsel Edy Rahmat dan kontraktor/Direktur PT Agung Perdana Bulukumba Agung Sucipto.
Baca juga: Kasus Korupsi Nurdin Abdullah, KPK Periksa Wagub Sulawesi Selatan
Baca juga: KPK Telusuri Harta Gubernur Nonaktif Sulsel Nurdin Abdullah
Nurdin diduga menerima total Rp 5,4 miliar dengan rincian pada 26 Februari 2021 menerima Rp 2 miliar yang diserahkan melalui Edy dari Agung.
Nurdin juga diduga menerima uang dari kontraktor lain pada akhir 2020 sebesar Rp 200 juta.
Kemudian, Februari 202, Nurdin melalui ajudannya bernama Samsul Bahri diduga menerima uang Rp 1 miliar dan Rp 2,2 miliar.
Atas perbuatannya, Nurdin dan Edy sebagai penerima disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.
Sementara itu, sebagai pihak pemberi, Agung disangkakan melanggar Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau Pasal 5 Ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.