Stop Kasus BLBI, ICW Tuntut KPK Segera Menggugat Perdata Sjamsul Nursalim
Kurnia mengatakan, sebelum masuk pada substansi perkara, penting untuk menjelaskan terlebih dahulu problematika kewenangan pemberian SP3 di KPK.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Sanusi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai perlahan namun pasti, efek buruk dari berlakunya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 semakin menguntungkan pelaku korupsi.
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana menyatakan, selain proses penindakan yang kian melambat, kali ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) justru menghentikan perkara besar dengan mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).
Adapun perkara yang dihentikan oleh KPK adalah dugaan tindak pidana korupsi atas penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia dengan tersangka Sjamsul Nursalim dan Itjih Sjamsul Nursalim.
Baca juga: MAKI Ajukan Gugat Praperadilan Lawan KPK untuk Batalkan SP3 Buron BLBI Sjamsul Nursalim
Kurnia mengatakan, sebelum masuk pada substansi perkara, penting untuk menjelaskan terlebih dahulu problematika kewenangan pemberian SP3 di KPK.
Ia menjelaskan bahwa secara jelas aturan yang ada dalam Pasal 40 UU 19/2019 itu bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2004 lalu.
Baca juga: Profil Sjamsul Nursalim, Buronan Kasus Kakak BLBI yang Perkaranya Dihentikan oleh KPK
Kala itu, MK menegaskan bahwa KPK tidak berwenang mengeluarkan SP3 semata-mata untuk mencegah lembaga antirasuah tersebut melakukan penyalahgunaan kewenangan.
"Sebab, tidak menutup kemungkinan pemberian SP3 justru dijadikan bancakan korupsi," kata Kurnia dalam keterangannya, Jumat (2/4/2021).
"Polanya pun dapat beragam, misalnya, negosiasi penghentian perkara dengan para tersangka, atau mungkin lebih jauh, dimanfaatkan oleh pejabat struktural KPK untuk menunaikan janji tatkala mengikuti seleksi pejabat di lembaga antirasuah tersebut," sambungnya.
Berkenaan dengan konteks saat ini, maka ICW menuntut agar KPK segera melimpahkan berkas kepada Jaksa Pengacara Negara untuk kemudian dilakukan gugatan perdata sebagaimana diatur dalam Pasal 32 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Baca juga: BREAKING NEWS: KPK Hentikan Kasus Korupsi BLBI yang Jerat Sjamsul Nursalim dan Istri
Menurut Kurnia, hal ini penting untuk memastikan adanya pertanggungjawaban dari Sjamsul Nursalim atas perbuatannya yang telah membohongi dan merugikan perekonomian negara triliunan rupiah.
"Jika gugatan ini tidak segera dilayangkan, maka pelaku berpotensi mengulangi perbuatannya di masa mendatang," tegasnya.
Bagi publik sendiri, dikatakannya, penuntasan perkara penerbitan SKL obligor BLBI ini menjadi penting.
Setidaknya untuk dua hal utama, pertama, perkara ini telah menarik perhatian publik sejak lama.
Bahkan, katanya, ICW kerap memasukkan perkara BLBI sebagai tunggakan yang harus dituntaskan oleh KPK sejak lama.
"Kedua, akibat tindakan Sjamsul Nursalim, negara mesti menelan kerugian yang fantasitis, yakni mencapai Rp 4,58 triliun. Namun, periode kepemimpinan Firli Bahuri ini justru meruntuhkan harapan publik," tukasnya.
Tidak bisa dipungkiri, selain karena dampak revisi UU KPK, menurut Kurnia, pangkal persoalan lain penghentian penyidikan ini juga berkaitan langsung dengan Mahkamah Agung (MA) dan kebijakan komisioner KPK.
"Untuk MA sendiri, kritik dapat disematkan tatkala lembaga kekuasaan kehakiman itu memutus lepas Syafruddin Arsyad Tumenggung (SAT), mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional dan kemudian diikuti penolakan permohonan Peninjauan Kembali (PK) dari KPK," kata dia.
"Patut untuk dicatat, putusan lepas yang dijatuhkan MA terhadap SAT jelas keliru dan diwarnai dengan kontroversi," ia menambahkan.
Betapa tidak, Kurnia mengingatkan, kesimpulan majelis hakim kala itu justru menyebutkan bahwa perkara yang menjerat Syafruddin Arsyad Temenggung bukan merupakan perbuatan pidana.
"Padahal, dalam fakta persidangan pada tingkat judex factie sudah secara terang benderang menjatuhkan hukuman penjara belasan tahun kepada terdakwa," katanya.
Lebih jauh lagi, ia berpendapat bahwa perdebatan perihal pidana atau perdata seharusnya sudah selesai tatkala permohonan praperadilan Syafrudin Arsyad Temenggung ditolak oleh Pengadilan Negeri.
"Sebab, waktu mengajukan permohonan praperadilan, SAT melalui kuasa hukumnya juga membawa argumentasi yang sama," ujar Kurnia.
Selain itu, MA juga dinilai ICW gagal dalam melihat kemungkinan menerima PK dari penuntut umum di tengah kejanggalan putusan kasasi tersebut.
Terlebih, selain sudah banyak preseden yang menerima PK dari penuntut umum, juga terdapat satu isu krusial, yakni pelanggaran etik oleh salah satu majelis hakim persidangan Tumenggung, Syamsu Rakan Chaniago.
"Dapat dibayangkan, dua pekan sebelum putusan lepas itu dibacakan, hakim majelis itu justru berhubungan, bahkan bertemu langsung dengan kuasa hukum Tumenggung, yakni Ahmad Yani," ujarnya.
"Padahal seorang hakim tidak dibenarkan untuk berhubungan langsung atau tidak langsung dengan pihak-pihak yang sedang beperkara," imbuh Kurnia.
Kemudian, tutur Kurnia, untuk SP3 kepada Sjamsul dan Itjih sendiri mesti dilihat bahwa tiap pelaku melakukan tindakan berbeda satu sama lain.
Katanya, perbuatan melawan hukum Tumenggung lebih menitikberatkan pada tindakan yang bersangkutan saat mengeluarkan SKL terhadap obligor BLBI.
"Sedangkan Nursalim sendiri karena menjaminkan aset yang seolah-olah senilai Rp4,8 triliun, akan tetapi setelah dilakukan penjualan tahun 2007 hanya bernilai Rp220 miliar," katanya.
Lagi pun, hingga saat ini KPK juga belum berhasil mendeteksi atau pun menangkap Nursalim.
Semestinya KPK terlebih dahulu mendapatkan keterangan dari Sjamsul atau pun Itjih untuk kemudian melihat kemungkinan meneruskan penanganan perkara ini.
"Sehingga, dapat disimpulkan keputusan untuk mengeluarkan SP3 ini terlalu dini dan terkesan hanya ingin melindungi kepentingan pelaku," kata Kurnia.
Namun, daripada itu, menurutnya, penting untuk ditekankan bahwa penghentian ini bukan berarti menutup kemungkinan untuk menjerat Nursalim kembali pada waktu mendatang.
"Sebab, Pasal 40 ayat (4) UU KPK menjelaskan bahwa SP3 dapat dicabut tatkala ditemukan adanya bukti baru dan putusan praperadilan," kata dia.