Fenomena Lone Wolf di Aksi Terorisme Seperti di Mabes Polri, Begini Analisa Doktor PTIK Dedy Tabrani
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyatakan, pelaku penyerangan Mabes Polri oleh perempuan berinisial ZA adalah serangan lone wolf.
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyatakan, pelaku penyerangan Mabes Polri oleh perempuan berinisial ZA adalah serangan lone wolf.
Dr. Dedy Tabrani dari Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) mengatakan, sekarang ini banyak bermunculan serangan teroris di mana para penyerangnya adalah anak muda yang direkrut oleh jaringan kelompok teroris secara online yang kemudian disebut lone wolf.
“Benar sekali bahwa cara lone wolf dinilai paling aman agar jaringan mereka tidak terbongkar karena hanya terputus pada pelaku saja,” tegas Dedy dalam siaran pers yang diterima awak media, Jumat (2/4/2021) malam.
Dia mengatakan, anak-anak muda sekarang banyak direkrut sebagai lone wolf melalui media sosial dan diarahkan untuk melakukan serangan dengan persenjataan minimal.
“Mereka dikendalikan dari jarak jauh melalui telepon genggam atau HP yang mereka miliki, dengan nomor yang sering berubah-ubah,” jelasnya.
Baca juga: Polri: Ada Kelompok yang Tuding Bom Bunuh di Makassar dan Penyerangan Mabes Polri Adalah Rekayasa
Dedy menambahkan, mereka tetap menyimpan nomor mentor atau ulama organik kekerasan. Semua biaya operasional dan lain-lain ditanggung sendiri oleh lone wolf tersebut.
Bahkan para mentor juga mempersiapkan konsep surat wasiat yang akan ditinggalkan kepada keluarganya.
Baca juga: Penjual Senjata kepada Wanita Terduga Teroris Penyerang Mabes Polri Miliki Puluhan Air Gun
Dalam beraksi, jika lone wolf tersebut diantar oleh seseorang yang ada di jaringan sel kelompok teroris maka dia bukanlah lone wolf.
“Kalau dia berangkat sendiri dengan menggunakan ojek online atau menumpang pada orang lain maka itu adalah lone wolf,” urainya.
Dedy mencermati, anak-anak muda sekarang menggandrungi untuk menjadi lone wolf karena masuk ke dalam satu barisan teror secara daring atau online yang tidak disibukkan oleh jadwal pengajian atau indoktrinasi yang dipersiapkan oleh jaringan.
Lebih dari itu, ada motif teologis yang sangat kuat.
“Jika mereka melakukan serangan teror maka akan mendapatkan pahala syahid dan bisa langsung masuk ke surga,” papar Dedy.
Motif teologis inilah yang yang sangat menggugah serta mempengaruhi banyak anak muda atau kaum milenial yang selama ini merasa bahwa pintu jihad belum pernah dibuka oleh satu gerakan agama manapun.
Celakanya, kondisi tersebut diperparah dengan kehadiran jamaah Ansharut Daulah (JAD) dan juga kelompok-kelompok teroris lainnya yang merasa yakin dan berani memberikan jaminan untuk mendapatkan syahid.
“Maka inilah yang paling ditunggu-tunggu, karena tidak selamanya kesempatan untuk mendapatkan syahid terbuka lebar,” terangnya.
Kehadiran Jamaah Ansharut Daulah (JAD) dan juga organisasi-organisasi teroris lainnya dimanfaatkan oleh mereka dan dianggap sebagai momentum yang sayang jika dilewatkan.
Dedy melanjutkan, Kaum muda milenial mudah sekali dipengaruhi atau di indoktrinasi oleh gerakan-gerakan teroris karena mereka pada dasarnya adalah orang baru yang tidak memiliki cukup ilmu agama dan sedang berada di dalam situasi kekeringan spiritual yang akut.
Hal itu dimanfaatkan para ulama organik kekerasan dari jaringan teroris untuk menyebarkan ilmu agama secara gratis dan praktis dengan rujukan-rujukan yang yang jelas dan tegas melalui media sosial.
Tentunya penafsiran yang dilakukan oleh para ulama organik kekerasan ini adalah tafsir yang berasal dari kelompok keagamaan yang cenderung tekstual dan skripturalis.
“Penafsiran tunggal ini dipahami oleh anak muda milenial, hingga masuk ke dalam jebakan kelompok teroris,” ujar Dedy.
Tafsir tunggal ini kemudian memonopoli seluruh pemahaman world view kaum muda milenial yang direkrut melalui media sosial.
“Monopoli penafsiran tunggal yang disebarkan oleh kelompok Jamaah Ansharut Daulah adalah monopoli ala Wahabi Takfiri yang sering mengkafirkan dan membid'ahkan orang-orang Muslim dan juga mereka menanamkan sikap kebencian kepada agama Kristen atau agama non muslim lainnya,” kata Dedy.
“Christophobia adalah sentimen kebencian kepada ada orang tempat ibadah dan dan institusi serta kitab-kitab Kristen,” sambungnya.
Kebencian ini, lanjut Dedy, kemudian di transformasikan sebagai ideologi yang di dalamnya memuat misi serta kegiatan-kegiatan yang mengarah kepada penghancuran dan penyerangan terhadap orang-orang Kristen dan tempat ibadahnya.
Bagaimana cara untuk menanggulangi terorisme lone wolf? Menurut Dedy, salah satunya dengan mengaktifkan pemantauan melalui cyber police.
“Jika cyber police di Indonesia lemah dalam memantau perkembangan dan komunikasi dari kelompok teroris Jamaah Ansharut Daulah, maka kelompok ini akan menguasai dan membajak anak-anak muda Indonesia untuk menjadi tentara-tentara milenial yang dikendalikan secara online,” tegasnya.
Cara lainnya, kata Dedy, dengan menerapkan program kontra wacana atau counter discourse dalam tema-tema yang sering menjadi bahasan kelompok teroris.
“Tema-tema yang sering menjadi bahasannya adalah tentang jihad, Daulah Islamiyah, khilafah, baiat, perang qital, imamah, Al wala wal Baro (loyalitas dan melepaskan diri dari struktur thogut), dll,” papar Dedy.
Selain tu pemerintah harus segera meratifikasi konvensi PBB tahun 2008 tentang daftar organisasi teroris agar menciptakan self control dan self cencorship bagi kaum muda agar tak mengikuti seruan-seruan dari gerakan-gerakan dan organisasi teroris.
Artikel ini telah tayang di Wartakotalive dengan judul Fenomena Teroris Lone Wolf, Ini Uraian Doktor PTIK Dedy Tabrani
Penulis: Theo Yonathan Simon Laturiuw
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.