Menengok Kamar Kerja Menlu Pertama di Republik Ini: Napak Tilas Bapak Pendiri Bangsa
Perlahan mengalir cerita dari Ibu Laksmi muasal keluarga Achmad Soebardjo tinggal di rumah bergaya kolonial ini.
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Satrio Sarwo Trengginas
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sore itu langit Ibu Kota terbilang cerah dibanding hari-hari sebelumnya.
Terlihat di seberang Rumah Makan Ampera 2 Tak, sebuah bangunan Belanda berlanggam kolonial masih menampakkan kemegahannya.
Rumah tua nomor 82 itu milik mendiang salah satu pendiri bangsa sekaligus Menteri Luar Negeri pertama RI, Achmad Soebardjo.
Sempat tersiar kabar di media sosial bahwa bangunan sarat nilai historis itu akan dijual.
Baca juga: Menilik Rumah Menlu Pertama RI Achmad Soebardjo di Cikini: Menyimpan Segudang Cerita Perjuangan
Kebetulan pintu gerbang rumah itu tampak terbuka saat TribunJakarta.com tiba. Di depan halaman bertemu Bambang, cucu Achmad Soebardjo.
Saya menyampaikan maksud kepada cucu Achmad Soebardjo itu untuk meliput on the spot rumah eyang Kakungnya.
Setelah mengajukan sekelumit pertanyaan seputar status rumah ini, Pak Bambang lalu mengajak TribunJakarta.com masuk ke ruang tamu.
Tanpa disangka, di ruang tamu itu ada family gathering. Anak dan cucu mendiang Achmad Soebardjo duduk di satu meja.
Baca juga: Presiden Jokowi dan Menlu Retno Akan Terima Kunjungan Menlu Iran Besok
Bambang hendak memperkenalkan TribunJakarta.com dengan anak sulung Achmad Soebardjo, Laksmi Pudjiwati Insia (85).
Cerita Hal Mistis
Tak lama menunggu di ruang tamu, ibu Laksmi muncul. Raut wajahnya ramah menanyakan perihal kedatangan saya ke rumahnya itu.
Perlahan mengalir cerita dari Ibu Laksmi muasal keluarga Achmad Soebardjo tinggal di rumah bergaya kolonial ini.
Ibu Laksmi menyelipkan cerita mistis di tengah perbincangan kami.
Pernah saat mau membeli rumah ini, ada sebuah pohon ketapang di halaman depan. Kenangan itu masih membekas.
Di pohon itu sering diletakkan sesajen lantaran dipercayai ada penunggunya.
"Tapi ayah saya karena beriman, enggak percaya seperti itu meski kata orang di sini banyak setannya," kenang Ibu Laksmi seraya tertawa.
Untuk menghilangkan kesan angker, pohon ditebang. Mendiang Achmad Soebardjo memanggil seorang kiai untuk mendoakan rumah ini.
"Ayah saya panggil seorang kiai, dibacakan Al-Quran beberapa hari. Dia (kiai) itu memang diperlihatkan bahwa penunggu di sini banyak. Terus mereka sudah pergi. Kita akhirnya pindah ke sini," lanjutnya.
Menengok Kamar Kerja Menlu Pertama
Setelah lama berbincang dengan Ibu Laksmi, saya diajak melihat sejumlah ruangan di dalam rumah Achmad Soebardjo.
Cucu Achmad Soebardjo, Hutomo Said (55) mengatakan rumah ini terdiri dari 4 kamar dan satu kamar mandi.
Pertama, ia mengajak saya ke kamar kerja eyang kakungnya. Sayangnya, ketika masuk, kamar kerja Achmad Soebardjo tak lagi memiliki listrik.
Penerangan terbantu oleh pancaran sinar yang menerobos jendela besar yang masih terbuka. Itu pun tak begitu membantu lantaran hari hampir petang.
Saya hanya mengandalkan lampu senter HP pribadi dan dibantu juga oleh HP milik Pak Hutomo ketika melihat-lihat kamar kerja beliau.
Selayang pandang, terdapat sejumlah rak berisi deretan buku lawas di dalam kamar itu. Di antaranya buku berbahasa Inggris dan Belanda.
Saya juga melihat meja kerja berbahan kayu. Di atasnya terpajang dua foto wajah Achmad Soebardjo. Satu foto hitam putih, satunya berwarna.
"Spot favorit eyang kakung di kamar kerja ini. Kamar kerja ini juga dulu kantor Kemenlu-nya," cerita Pak Hutomo.
Di kamar kerjanya ini, Soebardjo menghabiskan waktu dengan membaca buku dan menuangkan buah pikiran sebagai menlu pertama.
Anak bungsu Achmad Soebardjo, Dewi Setiyobudiarti (72) menambahkan, sejumlah mahasiswa UI jurusan Hubungan Internasional juga pernah kuliah umum dengan Achmad Soebardjo di kamar kerja ini.
Ketika sedang melihat-lihat isi kamar dengan sedikit pencahayaan, Ibu Laksmi datang membawa sebuah piagam gelar pahlawan.
Gelar Pahlawan Nasional dianugerahkan kepada Achmad Soebardjo pada 6 November 2009. Ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono kala itu.
Ruang Keluarga dan Mini Concert Hall
Saya lalu ditunjukkan ruang keluarga yang bersebelahan dengan kamar kerja. Ruangan ini lebih banyak diisi sejumlah bangku dan meja bundar.
Ada juga sejumlah foto-foto lawas terpajang di atas sebuah meja. Salah satunya foto mendiang Achmad Soebardjo dan istri, Poedji Soebardjo.
Dulu, seingat Pak Hutomo, ruangan ini sempat dijadikan buffet untuk para tamu undangan yang sebagian besar duta besar.
Pak Hutomo kemudian mengajak saya melewati lorong kamar untuk menuju ruangan serba guna di belakang rumah.
Ruang belakang ini sangatlah megah dan luas. Di ujung dinding terdapat sebuah kolam air yang diapit dengan dua buah jendela besar.
Ibu Laksmi mengenang di ruangan ini sering diadakan pertemuan dengan tamu-tamu Achmad Soebardjo.
Dulu, di sudut ruangan ini terdapat sebuah piano. Laksmi piawai bermain piano sedangkan Achmad Soebarjo cakap bermain biola.
Ibu Laksmi bersama ayahnya sering menggelar konser musik di ruangan ini.
Belajar Kedisiplinan dari Menlu pertama
Mereka berdua mengajak saya kembali ke ruang tamu di depan. Ruang tamu itu awalnya sebuah teras terbuka. Kemudian ditutup oleh pihak keluarga.
Waktu hampir mendekati azan Magrib, tetapi saya, Ibu Laksmi dan pak Hutomo larut dalam perbincangan.
Pak Hutomo mengenang bahwa sosok eyang kakungnya sering berjalan kaki ke luar rumah setiap jam 6 pagi.
"Jalan kaki sampai Jalan Imam Bonjol. Terus mampir juga ke rumahnya Bung Hatta. Pulang-pulang bawa roti Lauw atau Tan Ek Tjoan," lanjutnya.
Sejak SD sampai SMP, Pak Hutomo tinggal di rumah ini. Ia belajar tentang kedisiplinan dan sopan santun yang diajarkan oleh eyang kakungnya semasa kecil.
Ketika makan bersama, Pak Hutomo dan anggota keluarga yang lain tidak boleh makan duluan.
Mereka harus menunggu eyang kakung dan eyang putrinya itu duduk di kursi meja makan.
Mereka juga tidak boleh banyak bicara. Kala makan, tak boleh ada denting piring.
"Baca doa dulu harus makan. Kalau enggak penting-penting amat enggak boleh ngomong di meja makan," lanjutnya.
Saat harus meninggalkan rumah karena ada urusan penting, mereka harus pamit dulu kepada Achmad Soebardjo.
"Kami pamit dulu ya eyang," kata Pak Hutomo menirukan.
"Disiplin seperti itu yang sudah jarang sekarang. Dulu kita tuh bertemu sama eyang ada sopan santunnya menghormati orangtua," ujarnya lagi.
Saking larutnya dengan sekelumit kisah rumah ini, saya dan Pak Hutomo sampai lupa berbuka puasa. Azan Magrib sudah lewat beberapa menit.
Rasa haus dan lapar seharian berpuasa pun tak terlalu terasa karena tergantikan kisah-kisah yang dituturkan keluarga Achmad Soebardjo.
Sebiji pisang goreng, kroket dan minuman dingin yang disuguhkan kepada saya cukup membuat kenyang.
Setiap duduk di sebuah bangunan Belanda, saya selalu terbawa suasana hidup di kala itu.
Termasuk rumah yang diperkirakan berdiri sejak tahun 1800-an ini. Begitu megah, begitu klasik, dan bersejarah.
Dilematis, bila rumah tersebut harus dijual kemudian berganti dengan bangunan lain.
Sumber: Ngabuburit di Rumah Belanda Keluarga Achmad Soebardjo: Napak Tilas Bapak Pendiri Bangsa
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.