Usman Hamid Sayangkan Sikap Pemerintah Batalkan Niat Revisi Pasal Karet dalam UU ITE
Usman Hamid menyayangkan keputusan pemerintah membatalkan revisi substansi Undang-Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Penulis: Gita Irawan
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyayangkan keputusan pemerintah membatalkan revisi substansi Undang-Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Dari catatannya, setidaknya ada tiga pasal yang bersifat karet dan kerap berbenturan dengan kemerdekaan berekspresi dan berpendapat.
Pertama, kata dia, Pasal 27 ayat 3 tentang penghinaan atau pencemaran nama baik.
Kedua, pentingnya mengubah unsur kata antar golongan yang ada dalam ketentuan Pasal 28 ayat 2 tentang penyebaran kebencian berdasarkan suku, agama, ras dan antar golongan (SARA).
Baca juga: Kesimpulan Tim Kajian UU ITE: Pemerintah Akan Buat Buku Pedoman Hingga Tambah Pasal 45 C
Ketiga, Pasal 29 tentang ancaman kekerasan atau menakut-nakuti.
Ketiga pasal tersebut, kata Usman, kemudian diancam pidana Pasal 45.
"Sangat disayangkan jika pemerintah membatalkan niatnya untuk merevisi UU ITE. Sebab sebenarnya telah jelas bahwa UU ITE itu memang substansinya memiliki masalah," kata Usman ketika dihubungi Tribunnews.com pada Sabtu (1/5/2021).
Meskipun demikian, kata dia, pemerintah tetap dapat memperbaiki implementasi UU ITE yang bermasalah tersebut dengan benar-benar menerapkan pedoman pelaksanaan yang sesuai standar hak asasi manusia internasional.
Baca juga: Rumusannya Sangat Karet, Kemenko Polhukam Sepakat Perlunya Revisi UU ITE
Selain itu, pemerintah juga bisa mempertimbangkan langkah-langkah praktis yang dapat menjawab keresahan masyarakat akan dampak negatif dari pemenjaraan berdasarkan UU ini.
Pertama, kata dia, dengan cara mempertimbangkan Amnesty atau pembebasan tanpa syarat untuk kasus-kasus tertentu dengan merujuk pertimbangan kemanusiaan.
Kedua, meminta kepolisian untuk melakukan gelar perkara dan mempertimbangkan penerbitan Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan (SP3) untuk kasus-kasus yang sebenarnya bukan tindak pidana melainkan bagian dari ekspresi atau pendapat yang sah dan tidak boleh dicampuri.
Menurut Usman, hal tersebut bisa dilakukan dengan menimbang saran dan masukan lembaga independen dan masyarakat sipil yang melakukan studi atas pelaksanaan UU ITE.
"Ketiga, untuk kasus-kasus yang terlanjur masuk ke tingkat Kejaksaan, namun dinilai merupakan kasus yang tak seharusnya dipidanakan, maka pemerintah dapat mendorong kejaksaan untuk mempertimbangkan Surat Keterangan Penghentian Penuntutan (SKP2) dengan pertimbangan kepentingan umum," kata Usman.
Baca juga: ICJR Pertanyakan Definisi Kesusilaan Dalam UU ITE