Pakar Hukum: Lewat UU Nomor 2 Tahun 2020, Pemerintah Bisa Lakukan Penyelamatan Kesehatan
Pandemi ini punya dampak besar terhadap pertumbuhan ekonomi, penurunan penerimaan negara dan peningkatan pembiayaan dan belanja negara.
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penerbitan Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2020 tentang kebijakan keuangan negara dan stabiitas keuangan untuk penanganan pandemi COVID-19 dinilai untuk memberikan kepastian.
Hal ini agar kebijakan keuangan sesuai selaras dengan kemaslahatan rakyat.
Menurut Guru Besar Tetap Ilmu Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia, Profesor Dr. Agus Surono, UU itu diproyeksikan pemerintah untuk menangani implikasi dari pandemi COVID-19.
Ia bilang, pandemi ini punya dampak besar terhadap pertumbuhan ekonomi, penurunan penerimaan negara dan peningkatan pembiayaan dan belanja negara.
Dengan pemberlakuan UU tersebut, kata Prof Agus, pemerintah bisa menyelamatkan kesehatan dan perekonomian nasional, dengan fokus pada belanja untuk kesehatan, jaring pengaman sosial (social safety net), serta pemulihan perekonomian, termasuk dunia usaha dan masyarakat yang terdampak.
Baca juga: Jokowi: Pandemi Covid-19 Berikan Pelajaran Luar Biasa
“Nah, dalam UU tersebut terdapat ketentuan yang sangat penting, berkaitan dengan soal unsur kerugian negara dan mens rea, yang dalam khasanah delik korupsi bisa diartikan sebagai niat jahat subjek hukum untuk melakukan tindak pidana,” kata Prof Agus, dalam keterangannya, Selasa (4/5/2021).
Menurut dia, dengan kalimat lain mens rea artinya sikap batin seseorang untuk melakukan tindak pidana.
Menurutnya, pengelolaan keuangan negara di masa pandemi dan darurat antara lain pelaksanaan bantuan sosial tidak bisa dikategorikan sebagai mens rea.
Pasalnya, kata Agus, pengelolaan keuangan pemerintah dalam masa-masa darurat seperti itu berkaitan dengan doktrin Freis Ermessen atau diskresionare power.
“Doktrin dalam bidang pemerintahan ini intinya, dalam kondisi darurat, kondisi yang ada memberikan ruang bergerak bagi pejabat atau badan-badan administrasi untuk melakukan tindakan tanpa harus terikat sepenuhnya pada peraturan perundang-undangan. Dalam masa darurat, keputusan pemerintah haruslah lebih mengutamakan pencapaian tujuan atau sasarannya (doelmatigheid) daripada sesuai dengan hukum yang berlaku (rechtmatigheid),” kata Agus.
Baca juga: Menteri PPN: Tahun 2022 Indonesia Lepas dari Pandemi, Ekonomi Bisa Tumbuh 5,8 Persen
Lebih jauh dia mengurai, UU Nomor 2/2020 itu pun dapat menghilangkan adanya unsur kerugian negara dan mens rea, terutama terkait adanya pemberian bantuan sosial yang dilakukan oleh pemerintah.
Hal itu karena yang dimaksud dengan unsur kerugian negara dan mens rea dalam hukum pidana hanyalah jika pada bentuk penyalahgunaan itu terdapat penyimpangan asas doelgerichte (seperti pelanggaran conflict of interest atau adanya kickback dan bribery), yang perbuatan pelakunya akan dikategorikan sebagai parameter negatif yang bernuansa jahat (dolus malus) yang memperkuat sifat melawan hukum (wederrechtelijk) baik formil maupun materiel dalam ranah Hukum Pidana (Korupsi).
Untuk dapat dikatakan memenuhi syarat unsur-unsur kerugian negara, juga harus terpenuhi kondisi sebagai berikut: 1) unsur kekurangan uang, surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya. 2) akibat perbuatan melawan hukum 3) sengaja maupun tidak sengaja,
“Jika dikaitkan dengan penjelasan Pasal 2 UU Nomor 31 tahun 1999 maka, unsur perbuatan melawan hukum juga mencakup pengertian melawan hukum secara materil. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa apabila ketiga unsur tersebut di atas tidak terpenuhi, maka tidak dapat dikualifikasi adanya unsur kerugian negara,” kata Prof Agus.
Karena itu, menurut dia, terkait pelaksanakan kebijakan penanganan pandemi Covid-19 yang telah dilakukan oleh Pemerintah, selama tidak terdapat penyimpangan asas doelgerichte yaitu berupa adanya conflict of interest atau adanya kickback dan bribery, maka hal itu bukanlah adanya perbuatan melawan hukum sehingga tidak dapat dikualifikasi sebagai suatu perbuatan delik korupsi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999, yang diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001.