Cerita Ketua WP KPK Ditanya Ucapan Natal, Lalu Kalau Pacaran Ngapain Aja, Apakah Masih Punya Hasrat
Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang membuat 75 pegawai KPK dinyatakan tak memenuhi syarat menjadi ASN terus menuai sorotan.
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang membuat 75 pegawai KPK dinyatakan tak memenuhi syarat menjadi ASN terus menuai sorotan.
Sebab, sejumlah pertanyaan di dalam tes dinilai melenceng dan dituding menjadi alat untuk menyingkirkan pihak-pihak tertentu.
Ketua Wadah Pegawai (WP) KPK Yudi Purnomo Harahap bercerita pengalamannya mengikuti tes tersebut.
Yudi mengaku heran saat mendapat pertanyaan apakah dia pernah mengucapkan selamat hari raya kepada penganut agama lain.
Menurutnya, hal itu lumrah dilakukan seluruh pegawai KPK jika salah satu rekan mereka tengah merayakan hari agamanya masing-masing.
”Saya pikir seharusnya pewancara sudah mendapatkan informasi bahwa di KPK mengucapkan selamat hari raya kepada rekannya yang merayakan merupakan hal biasa, baik secara langsung maupun melalui Grup WA,” kata Yudi kepada wartawan, Jumat (7/5).
Meski memeluk agama Islam, kata Yudi, hal itu tak menjadi halangan baginya untuk tetap menjunjung sikap toleransi antarumat beragama. Sikap tersebut jugalah yang menurut Yudi juga dilakukan istrinya terutama saat ia mengajaknya menghadiri sejumlah acara perayaan hari raya umat agama lain di KPK.
Tak hanya hadir, Yudi bahkan menyebut dirinya juga dipercaya untuk menyampaikan sambutan dalam acara hari raya umat agama lain yang digelar di KPK.
"Saya sendiri yang muslim bukan hanya memberi ucapan selamat hari raya kepada agama lain tapi ketika acara Natal bersama pegawai di Kantor KPK hadir memberi sambutan langsung selaku Ketua WP. Bahkan istri saya yang berjilbab pun pernah saya ajak dan kami disambut dengan hangat oleh kawan-kawan yang merayakan," ujar Yudi.
"Pada saat pandemi pun perayaan Natal tetap diadakan di KPK dengan virtual dan saya pun juga memberikan sambutan," lanjut dia.
Karenanya, Yudi menegaskan bahwa toleransi agama telah kental dianut oleh seluruh pegawai KPK sejak lama. Toleransi itulah yang diyakini Yudi dapat memupuk kerja sama yang baik antar sesama pegawai KPK.
Sehingga ia memastikan isu-isu radikal yang berkembang di luar terkait sejumlah pegawai KPK khususnya yang beragama islam adalah tidak benar.
”Saya sampaikan kepada pewancara yang intinya bahwa di KPK kami walau beda agama tetap bisa kerja sama dalam memberantas korupsi. Jadi isu-isu radikal dan Taliban di luaran hanya isapan jempol," tegas Yudi.
Tes Wawasan Kebangsaan menjadi syarat alih status pegawai KPK untuk menjadi PNS. Alih status ini merupakan buntut dari revisi UU KPK. Sebagai turunan dari UU Nomor 19 Tahun 2019 itu, Presiden Jokowi kemudian menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2020 Tentang Pengalihan Pegawai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Menjadi Pegawai Aparatur Sipil Negara.
Baca juga: Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi Bikin Aksi Teatrikal di KPK soal Kejanggalan TWK
Namun, perihal Tes Wawasan Kebangsaan sebagai syarat menjadi ASN baru termuat dalam Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021. Adalah Ketua KPK Komjen Firli Bahuri yang meneken peraturan itu pada 27 Januari 2021.
Tes Wawasan Kebangsaan digelar oleh KPK dengan bekerja sama dengan BKN. Pada praktiknya, BKN melibatkan BAIS TNI, BIN, BNPT, hingga TNI AD dalam tes tersebut. Tes dilakukan terhadap 1.351 pegawai KPK. Hasilnya, 75 pegawai dinyatakan tidak memenuhi syarat menjadi ASN. Novel Baswedan serta Yudi Purnomo pun dikabarkan masuk dalam pegawai yang tidak lulus tersebut.
Belakangan, tes itu menjadi sorotan karena banyak pertanyaan-pertanyaan di dalam tes tersebut dinilai janggal. Pertanyaan macam "sudah umur segini, kok, belum menikah?" hingga "salat subuhnya pakai qunut?" disebut muncul dalam tes itu. Sejumlah pihak pun mengecam hal tersebut.
Mantan juru bicara KPK Febri Diansyah menganggap pertanyaan yang diajukan dalam tes tersebut tidak pantas untuk digolongkan sebagai tes wawasan kebangsaan karena mayoritas isinya hanya menyinggung seputar permasalahan pribadi seseorang yang seharusnya tidak masuk jadi bahan pertanyaan untuk tes semacam itu.
Febri mengaku mendapat informasi beberapa pertanyaan yang diajukan kepada para pegawai KPK dalam tes tersebut, yakni: “Kenapa belum menikah?”, “Apakah masih punya hasrat?”, “Bersedia ndak jadi istri kedua?”, “Kalo pacaran ngapain aja?”
"Apakah pertanyaan ini pantas dan tepat diajukan pada Pegawai KPK untuk mengukur wawasan kebangsaan?" kata Febri melalui akun twitter pribadinya, Jumat (7/5). Soal pertanyaan kebangsaan tak lazim itu pun turut diamini salah pegawai KPK yang ikut tes tersebut.
Menurut dia, sejumlah pertanyaan yang lebih mengarah pada kehidupan pribadi seseorang. "Ada pertanyaan kalau anak mbak nikah sama beda agama gimana? Pokoknya mbak harus milih karena anak mba ngancem bunuh diri kalau enggak nikah sama yang beda agama" ujarnya.
Tak hanya soal pertanyaan terkait kehidupan pribadi, ia menyebut ada pula pertanyaan berkaitan dengan agama seseorang. Tidak cukup menanyakan, para peserta yang beragama muslim pun diminta mengucapkan kembali dua kalimat syahadat hingga membaca sejumlah ayat Al-Quran.
"Ada yang disuruh (membaca) syahadat ulang, ada yang disuruh baca doa makan, ada yang dites bacaan surat-surat Quran," ucap dia.
Febri mengaku terkejut dengan rentetan pertanyaan yang terkandung dalam tes tersebut. Selain tak menyinggung terkait kerja-kerja yang dilakukan KPK, pertanyaan yang diajukan dinilai Febri terlalu sensitif untuk diajukan dan tak patut disebut sebagai pertanyaan yang termasuk dalam wawasan kebangsaan.
"Kalaulah benar pertanyaan itu diajukan pewawancara pada Pegawai KPK saat tes wawasan kebangsaan, sungguh saya kehabisan kata-kata dan bingung apa sebenarnya yang dituju dan apa makna wawasan kebangsaan," kata Febri.
Jika seluruh pertanyaan itu benar adanya ditanyakan pada pegawai KPK dalam tes tersebut, Febri meminta agar KPK, Badan Kepegawaian Negara (BKN) serta Kemenpan RB dapat menjelaskan secara gamblang isi dari tes tersebut kepada masyarakat.
"Demi transparansi, soal dan kertas kerja TWK tersebut harusnya dibuka. Semoga ada penjelasan yang lengkap dari KPK, BKN atau Kemenpan tentang hal ini," ujarnya.
Saat ini, nasib 75 pegawai KPK itu masih belum jelas. Sebab dalam Peraturan KPK yang ditandatangani Firli Bahuri, tidak ada penjelasan soal nasib pegawai KPK yang tidak lulus tes.
Sempat berembus kabar bahwa para pegawai itu akan dipecat KPK. Terkait hal itu, KPK membantahnya dan menyatakan tidak pernah mengeluarkan pernyataan pemecatan.
KPK menyebut tidak akan memberhentikan para pegawai itu. Namun, hal itu sepanjang belum ada penjelasan dari KemenPAN RB dan BKN.
KPK pun mengaku akan berkoordinasi dengan kedua lembaga tersebut terlebih dahulu. Meski tetap belum ada penegasan bahwa para pegawai KPK itu aman dari pemecatan.
Terkait koordinasi itu, MenPAN RB yang juga politikus PDIP Tjahjo Kumolo menyatakan bahwa hasil tes seharusnya menjadi kewenangan penuh KPK. Sebab hal itu merupakan urusan internal KPK. Namun, BKN menyatakan sedang berkoordinasi dengan KPK mengenai nasib 75 pegawai itu,
"Nanti akan direkomendasikan kepada KPK," kata Kepala BKN Bima Haria Wibisana kepada wartawan, Jumat (7/5).
Namun ia tidak berkomentar lebih lanjut soal keputusan terakhir nasib pegawai KPK itu. Sebab hal itu merupakan kewenangan KPK. "Kita tunggu saja kebijakannya," ujar Bima.(tribun network/ham/dod)