Mengapa Pemudik Ngotot Pulang Kampung Meski Dilarang, Ini Penjelasan Sosiolog
Robertus Robert, Sosiolog dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) mengatakan mudik bisa dilarang namun tidak bisa dihentikan.
Penulis: Larasati Dyah Utami
Editor: Hasanudin Aco
Laporan Wartawan Tribunnews, Larasati Dyah Utami
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Indonesia setiap tahunnya mengalami fenomena mudik Lebaran.
Tradisi ini dilakukan masyarakat Indonesia pada umumnya di hari raya keagamaan untuk melepas rindu dengan keluarga di kampung halaman.
Namun pada tahun ini, dunia masih dihadapkan dengan situasi pandemi covid-19 yang membuat pemerintah kembali mengeluarkan kebijakan larangan mudik untuk mencegah penyebaran covid-19.
Itu erkaca dari kasus Covid-19 yang terjadi di India saat pemerintahnya melonggarkan pembatasan.
Robertus Robert, Sosiolog dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) mengatakan mudik bisa dilarang namun tidak bisa dihentikan.
Baca juga: Kakorlantas Polri Tegaskan Pemudik yang Lolos Penyakatan di Bekasi Bakal Diputar Balik di Pos lain
Menurutnya mudik merupakan suatu peristiwa sosial dan budaya yang tidak bisa diukur dengan ukuran hitam dan putih.
“Kalau mudik memang tidak bisa dihentikan, apakah pelarangan mudik salah? Ya sudah pasti juga nggak salah. Untuk mencegah covid-19 memang pemerintah punya kewajiban untuk melarang mudik supaya tidak terjadi penyebaran penularan. Ini juga kebijakan yang benar untuk mengetatkan gerak sosial di masa pandemi,” kata Robert dalam talkshow pada Senin (10/5/2021).
Robert menilai kebijakan larangan mudik dari tanggal 6 hingga 17 Mei dan pengetatan untuk mengefektifkan larangan mudik tidak sepenuhnya salah.
Namun permasalahannya adalah inkonsistensi pemerintah dan miskomunikasi antar lembaga terkait yang membuat ini menjadi celah masih banyaknya warga yang memutuskan untuk mudik.
Robert menjelaskan beberapa faktor yang menyebabkan masyarakat tidak bisa lepas dari tradisi mudik di hari raya keagamaan.
Pertama adalah faktor struktural yang berkaitan dengan ketimpangan dalam hubungan desa dan kota di Indonesia, dimana desa mengalami kemiskinan yang menurutnya cukup masif dan kota mengalami berbagai macam kemajuan ekonomi.
Akibat ketimpangan ini terjadi urbanisasi. Namun ikatan penduduk desa yang melakukan urbanisasi ini tidak pernah hilang terhadap kampung halamannya.
Robert mengatakan desa atau kampung merupakan salah satu sarana reproduksi sosial, dimana warga desa yang meninggalkan kota berada di posisi ambivalen.
Posisi ini yang membuat penduduk desa yang melakukan urbanisasi ke kota, memandang bahwa kota itu bukan tempatnya, walaupun kota tempatnya mengais rezeki.
“Di kota memang ada banyak rezeki, ada banyak uang, namun kota menurut mereka adalah sumber masalah dan sumber kecacatan moral. Sementara desa merupakan tempat tinggal, rumah, tempat orang tuanya adalah tempat yang baik, tempat yang luhur. Selalu ada tarikan ambivalen seperti itu dalam setiap orang yang mengalami migrasi,” katanya.
Dalam situasi seperti itu selalu ada tarikan yang bersifat psikologis dan budaya untuk masyarakat ingin kembali ke desa atau kampungnya disaat tertentu.
Karena menurutnya yang namanya ‘pulang’ tidak memiliki konotasi negatif di masyarakat.
“Mudik konotasinya adalah pulang. Orang yang pulang itu tidak punya konotasi negatif. Jadi konstruksi kebudayaan ini yang membalut dimensi struktural itu. Basisnya adalah gap ekonomi antara desa dan kota, tapi karena sudah menjadi struktur, kemudian menghasilkan suatu praktik budaya,” ujarnya.
Hal itu yang menjadikan mudik bukan lagi semata-mata suatu proses fisik perpindahan orang, tapi sekaligus tindakan etik dan kultural yang menjadi sulit untuk dihentikan.
Sehingga banyak masyarakat yang tetap berusaha dan bersusah payah untuk mudik ke kampung halaman, meski ada pandemi atau dilakukan pengetatan oleh pemerintah.
“Ini yang membuat orang bersusah payah. Bakal untuk mengakalinya dia naik sepeda dari Jakarta ke Jogja, dengan aneka macam cara,” ujarnya.
Namun dengan adanya pandemi, mudik mengalami benturan logika medik.
Sehingga ini menyebabkan konflik atau pertarungan antara rasionalitas pandemi dengan kebudayaan.
“Jadi tidak bisa kita katakan mana yang salah atau benar, mana kalah mana menang karena yang dihalangi cukup besar,” ujarnya.
--