Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Kepatuhan Hukum Dunia Siber Tergantung Subjeknya, Ini Penjelasan Ahli Pidana

"Penguatan Polri dalam bidang siber telah membuka perspektif baru tentang penegakkan hukum atau gakkum," ujar Firman Wijaya.

Editor: Choirul Arifin
zoom-in Kepatuhan Hukum Dunia Siber Tergantung Subjeknya, Ini Penjelasan Ahli Pidana
Tribunnews/Theresia Felisiani
Ahli pidana dari Universitas Krisnadwipayana Firman Wijaya 

Terobosan lain sebagai rangkaian upaya keadilan restoratif, yang terlihat dari Polri adalah membentuk Peringatan Virtual Polisi.

Hal ini, kata Firman, dapat dimengerti harus terselenggara sebagai bagian menekan angka kejahatan siber.

“Namanya peringatan berarti di situ dikedepankan edukasi. Jika warga yang diberi peringatan tidak patuh setelah mendapat penjelasan, maka kesalahan ada pada individu sebagai subjek hukum,” ungkapnya.

Firman menekankan, bahwa upaya yang dilakukan kepolisian saat ini merupakan upaya terbaik dalam membawa transisi kehidupan sosial di dunia digital.

Untuk itu, Firman mengajak agar masyarakat mengedepankan open minded dalam melihat aspek-aspek pre-emptif dan preventif yang tengah dibangun oleh Kapolri Listyo Sigit.

Sebagai informasi, data Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri menunjukkan pelaksanaan Peringatan Virtual Polisi dalam kurun waktu 23 Februari hingga 4 Mei 2021 telah mengajukan 419 konten yang berpotensi mengandung ujar kebencian berdasarkan SARA yang berpotensi melanggar Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang ITE.

Dari jumlah itu, kontens yang suka berstatus PVP berjumlah 274 yang telah lolos verifikasi; 98 tidak lolos verifikasi; dan 47 dalam proses veriifikasi. Sementara itu, dari PVP yang telah lolos verifikasi tersebut, kondisi status peringatan dari 74 peringatan berstatus dalam proses; 68 peringatan dalam status peringatan pertama; 68 konten dalam status peringatan kedua; 27 peringatan status terkirim; dan 76 peringatan status gagal terikirim.

Berita Rekomendasi

Secara normatif, dengan dibentuknya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 yang sudah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagai aturan ang berlaku dan semua penduduk dianggap telah mengatur secara jelas. Sebagai sebuah produk hukum dari kekuasaan Negara, Undang-Undang ITE mempunyai fungsi sebagai alat kontrol negara terhadap sistem informasi dan transaksi elektronik yang bebas.

Namun demikian ada beberapa hambatan yang dikatakan mengganggu efektifitas Undang-Undang ITE di Indonesia, yaitu antara lain, pertama, dalam efektifitas peraturan belum adanya pengaturan terhadap tindak pidana penipuan dengan menggunakan komputer. Kedua, dalam efektivitas tujuan undang-undang tersebut dikatakan belum mampu mencapai tujuan yang dimuat didalamnya.

Perlu dilakukan beberapa pembenahan sistem dalam kehidupan masyarakat sebagai subyek hukum dan sebagai pengguna sarana teknologi informasi elektronik.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas