Tes Wawasan Kebangsaan PIcu Ricuh, Pimpinan KPK Kini Terbelah
Para pegawai yang tak lulus TWK telah mengambil langkah melaporkan pimpinan KPK ke Dewan Pengawas dan Ombudsman RI.
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Nasib 75 pegawai KPK yang dinonaktifkan karena tak lulus Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) masih belum jelas.
Meski Presiden Jokowi sudah menegaskan bahwa para pegawai yang tak lulus TWK tak bisa serta merta diberhentikan, namun para pimpinan KPK masih belum menentukan nasib Novel Baswedan dkk itu.
Para pegawai yang tak lulus TWK telah mengambil langkah melaporkan pimpinan KPK ke Dewan Pengawas KPK dan Ombudsman RI.
Sementara sejumlah pihak mengkritik penonaktifan 75 pegawai yang tak lulus TWK itu. Para pimpinan KPK dituding memakai TWK sebagai alat untuk menyingkirkan pihak-pihak tertentu di KPK.
Hal itu kemudian dibantah oleh Ketua KPK Firli Bahuri. Ia menyebut hasil TWK diterima KPK dari BKN pada 27 April.
Sementara KPK baru mengumumkan jumlah pegawai tak lulus pada 5 Mei lantaran menunggu putusan MK atas uji materi UU KPK hasil revisi pada 4 Mei.
Firli menyebut hasil TWK ketika diterima langsung disimpan di brankas. Kemudian hasil TWK yang masih disegel, kata Firli, dibuka pada 5 Mei dengan disaksikan seluruh pimpinan KPK, Dewan Pengawas, serta pejabat struktural KPK.
”Tidak ada pejabat, pegawai 1 pun yang pernah membaca hasil TWK,” kata Firli saat konferensi pers pada Kamis (20/5/2021).
Namun menurut Direktur PJKAKI KPK, Sujanarko, ucapan Firli tersebut hanyalah gimik.
Sujanarko yang merupakan satu dari 75 pegawai yang dinonaktifkan itu menyebut bahwa para pimpinan KPK sudah mengetahui daftar 75 pegawai yang tak lulus TWK saat menggelar rapat pada 29 April.
Ketika itu, kata Sujanarko, beberapa pimpinan KPK bersuara keras memecat pegawai yang tak lulus TWK.
”Sebelum ada pidato Jokowi, (sebelum) ada statement presiden, pimpinan sangat meremehkan terhadap 75 orang ini. Bahkan mereka dengan percaya diri untuk tidak mengakomodir kira-kira yang 75 orang ini."
"Kira-kira tanggal 29 April itu pimpinan rapim dan beberapa pimpinan dengan keras ini dipecat saja, nonaktif dipecat," kata Sujanarko saat berbicara dalam acara Halal Bihalal Kebangsaan yang digelar virtual di kanal YouTube AJI Indonesia.
Menurut Sujanarko, ada gimik bahwa pimpinan KPK tidak tahu soal hasil TWK yang baru dibuka pada 5 Mei 2021.
”Kebetulan blessingnya, sudah dibuat gimik sama pimpinan, seakan-akan pimpinan tidak tahu apa pun sampai amplop enggak dibuka, ditaruh di brankas, dan gimiknya kencang banget," imbuh Sujanarko.
Namun kemudian sejumlah nama pegawai yang tidak lulus TWK itu beredar di publik. Bersamaan dengan itu kemudian muncul kabar mereka yang tak lulus akan dipecat.
Sujanarko menyatakan, langkah pimpinan KPK yang hendak memecat 75 pegawai urung dilakukan karena hasil TWK bocor ke publik.
Pimpinan KPK akhirnya mengambil keputusan menonaktifkan para pegawai tersebut.
"Sebelum amplop dibuka pada saat 29 April, pimpinan sudah menyatakan ini akan dipecat semua. Tapi begitu ramai di publik pimpinan mikir. Sehingga mekanisme pakai nonaktif," kata Sujanarko
KPK kemudian menyatakan belum akan memecat para pegawai sampai ada kejelasan dari BKN dan KemenPAN RB. Para pegawai yang tak lulus TWK belakangan dinonaktifkan melalui SK Firli Bahuri.
"Mekanisme nonaktif itu sebenarnya sudah langgar hukum karena di KPK tidak ada aturan atau SOP yang menyatakan pegawai bisa nonaktif tanpa melalui prosedur hukuman dari majelis etik KPK."
"Jadi orang dihukum kalau di KPK nonaktif, kalau mengalami sidang etik atas pelanggarannya," jelas Sujanarko.
Sujanarko menyebut situasi di KPK, khususnya di tingkat pimpinan, kini berubah usai Presiden Jokowi menyampaikan tanggapan atas nasib 75 pegawai tak lulus TWK pada 17 Mei.
Diketahui saat itu Jokowi menegaskan TWK tak bisa serta merta dijadikan dasar pemberhentian pegawai KPK.
Sujanarko menyatakan kini tersisa 2 pimpinan KPK yang masih ngotot memecat pegawai yang tak lulus TWK. Kedua pimpinan tersebut berinisial F dan LPS.
Kedua inisial itu merujuk Ketua KPK Firli Bahuri dan Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar.
"Sekarang itu yang tinggal percaya diri itu memang F. F masih pede banget dibantu LPS. LPS itu dari LPSK sudah seperti itu pengikut setia," kata Sujanarko.
Sementara 3 pimpinan lainnya, kata Sujanarko, sudah terpecah. Ia menyebut 2 pimpinan kini berpihak ke pegawai yang dinonaktifkan.
Sedangkan 1 pimpinan lainnya 'menghilang'. Sujanarko tak menyebut siapa 2 pimpinan yang kini berpihak ke pegawai maupun 1 pimpinan yang tak diketahui keberadaannya.
Tiga pimpinan yakni Alexander Marwata, Nurul Ghufron, dan Nawawi Pomolango. "Ada beberapa pimpinan yang mulai lompat ke pegawai. Baru 2 orang saya dengar, bahkan 1
pimpinan menghilang, HP-nya enggak bisa dihubungi," ucapnya.
Saat dikonfirmasi, Firli dan Lili belum berkomentar mengenai hal ini. Hanua saja sebelumnya Firli menyatakan bahwa semua keputusan diambil berdasarkan diskusi dan persetujuan bersama kolektif kolegial.
"Sampai hari ini tidak pernah KPK memberhentikan, tidak pernah KPK memecat dan tidak pernah juga berpikir KPK untuk menghentikan dengan hormat maupun tidak hormat," kata Firli, Kamis (20/5). KPK pun akan menggelar rapat dengan BKN dan KemenPAN RB pada 25 Mei guna membahas nasib 75 pegawai itu.
Sementara Lili Pintauli Siregar menegaskan proses kerja KPK tidak melenceng dari undang-undang (UU). "KPK bekerja menjalankan UU tidak meleset dan tidak mengada-ada," kata Lili kepada wartawan, Selasa (18/5).
Dalam kesempatan itu, Sujanarko kembali mengulas TWK yang menurutnya intimidatif. Sebab terdapat ancaman pidana bagi pegawai KPK yang tidak menjawab soal esai dengan benar.
"Di soal essay ada penutup kalimat tesnya karena ada statement para peserta tes wajib menjawab dengan benar dan bersedia dituntut pidana maupun perdata kalau mereka menjawab tidak benar."
"Ini kira-kira di dunia hanya ada 1 dites bisa dituntut pidana, ini intimidatif banget. Kedua banyak soal-soal tidak terkait pemberantasan korupsi dan itu lompat pagar terkait privasi, HAM, hak beragama," jelasnya.
Selain itu, kata Sujanarko, TWK seperti operasi intelijen negara lantaran pihak yang bertanya dalam tes enggan menyebutkan nama maupun asal instansi.
"Biasanya assesment yang paling sederhana mereka memperkenalkan diri siapa namanya, dari mana. Ini (TWK) kayak intelijen ditanya namanya enggak beri tahu, asalnya dari mana enggak beri tahu."
"Ini seperti gerakan intelijen negara yang dimanfaatkan untuk melakukan assesment terkait pegawai KPK," ujarnya.
Jalan Tengah
Sementara itu terkait usulan Presiden Jokowi yang mngusulkan pendidikan kedinasan bagi para pegawai KPK yang tidak lulus TWK, Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi KPK, Giri Suprapdiono, menilai usulan itu merupakan jalan tengah dari polemik yang saat ini bergulir.
Menurut Giri, hal itu memang bisa saja dilakukan. Namun, 75 pegawai itu seharusnya tetap dilantik terlebih dahulu menjadi ASN. Pendidikan kedinasan bisa dilakukan setelahnya.
Ia menyebut TWK tetap tidak bisa menghalangi 75 pegawai turut dilantik menjadi ASN.
"Walau ada kesan seakan memang 75 pegawai ada gap soal kebangsaan sehingga ada tawaran diklat kedinasan. Diklat bisa dilakukan paska pelantikan," kata Giri, Jumat (21/5).
Saat ini, 75 pegawai KPK itu sudah dibebastugaskan berdasarkan SK yang diterbitkan Ketua KPK Firli Bahuri. Para pegawai mendesak Firli Bahuri segera mencabut SK tersebut.
"Yang terpenting saat ini adalah 75 pegawai kembali menjalankan tugas dan tanggung jawabnya, dan ada rehabilitasi tentang labeling tidak lulus tadi," ujar Giri.
Giri bahwa perintah Presiden Jokowi sudah jelas. Menurut dia, pimpinan KPK tidak bisa dinegosiasikan mengenai hal tersebut.
"Perintah presiden sudah jelas, dan harus segera dilaksanakan. Tidak ada ruang negosiasi bagi Pimpinan KPK untuk tidak menjalankannya," kata Giri.
"Langkah selanjutnya, melantik 75 bersama 1274 pegawai lainnya sebagai PNS, bukan sebagai P3K (ASN kontrak). Amanat Presiden untuk dilakukan pendidikan kedinasan dimaknai dilakukan setelah pelantikan sebagai bagian dari orientasi ASN," imbuh dia.(tribun network/ham/dod)