Masih Saudara, Hakim Bolehkan Saksi Beri Keterangan Tanpa Disumpah
Hakim kemudian meminta Jaksa Penuntut Umum (JPU) menjelaskan apa kaitan saksi Syaihul Anam dengan kasus yang disidangkan hari ini.
Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengadilan Tipikor Jakarta kembali menggelar sidang lanjutan kasus dugaan korupsi izin ekspor benih lobster (benur) untuk terdakwa mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo, Selasa (25/5/2021).
Namun tak lama setelah sidang dibuka, salah satu saksi Achmad Syaihul Anam selaku staf Menteri KKP menyatakan keberatan memberi keterangan untuk staf pribadi Iis Rosita Dewi, Ainul Faqih.
Ia keberatan lantaran Ainul Faqih masih punya hubungan saudara (sepupu) dengannya.
"Apakah saksi keberatan memberikan keterangannya di persidangan ini?," tanya Ketua Majelis Hakim Albertus Usada di persidangan.
"Keberatan untuk Ainul Faqih karena masih saudara saya (sepupu)," jawab Syaihul Anam.
Hakim kemudian meminta Jaksa Penuntut Umum (JPU) menjelaskan apa kaitan saksi Syaihul Anam dengan kasus yang disidangkan hari ini.
Jaksa menyebut saksi dihadirkan di persidangan lantaran punya kaitannya dengan aliran uang masuk di rekening Bank BNI milik saksi yang dikirim Sekretaris Pribadi Edhy Prabowo, Amiril Mukminin.
"Saksi terkait uang masuk ke rekening saksi dari Amiril. Rekening Bank BNI," tutur jaksa.
Baca juga: Mantan Sespri Edhy Prabowo Dicecar Jaksa soal Belanja Peralatan Rumah Tangga Ratusan Juta Rupiah
Hakim lantas ikut menjelaskan bahwa keterangan saksi masih berkaitan secara langsung atau tidak langsung dengan keterlibatan Amiril Mukminin. Kemudian hakim menawarkan ke Syaihul Anam apakah tetap bersedia memberi keterangan tanpa disumpah untuk Ainul Faqih.
"Sekalipun keberatan apakah saudara tetap memberikan keterangan tanpa disumpah untuk Ainul Faqih?," tanya hakim.
"Boleh itu Yang Mulia," timpal Syaihul Anam.
Hakim pun memutuskan saksi Syaihul Anam dapat memberi keterangannya di persidangan tanpa disumpah khusus untuk Ainul Faqih.
"Saksi Syaihul Anam dapat memberikan keterangan tanpa disumpah untuk Ainul Faqih," pungkas hakim.
Dalam perkara ini, Edhy Prabowo didakwa menerima suap senilai Rp25,7 milar oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK.
Penerimaan suap ini dilakukan secara bertahap yang berkaitan dengan penetapan izin ekspor benih lobter atau benur tahun anggaran 2020.
Penerimaan suap itu diterima oleh Edhy Prabowo dari para eksportir benur melalui staf khususnya, Andreau Misanta Pribadi dan Safri; sekretaris Menteri KP, Amiril Mukminin; staf pribadi istri Iis Rosita Dewi, Ainul Faqih dan Komisaris PT Perishable Logistics Indonesia (PLI), sekaligus pemilik PT Aero Citra Kargo (ACK) Siswadhi Pranoto Loe.
Pemberian suap ini setelah Edhy Prabowo menerbitkan izin budidaya lobater untuk mencabut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Nomor 56/PERMEN-KP/2016 tanggal 23 Desember 2016 tentang Larangan Penangkapan dan/atau Pengeluaran Lobster (Panulirus spp), Kepiting (Scylla spp) dan Ranjungan (Portunus spp) dari wilayah negara Republik Indonesia.
Pemberian suap juga bertujuan agar Edhy melalui anak buahnya Andreau Misanta Pribadi dan Safri mempercepat proses persetujuan izin budidaya lobster dan izin ekspor benih bibit lobster perusahaan Suharjito dan eksportir lainnya.
Perbuatan Edhy selaku Menteri Kelautan dan Perikanan RI bertentangan dengan Pasal 5 angka 4 dan angka 6 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, serta bertentangan dengan sumpah jabatannya.
Edhy Prabowo didakwa melanggar Pasal 11 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.