Moeldoko Heran TWK di KPK Begitu Diributkan hingga Minta Jangan Terus 'Digoreng'
Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko, mengaku heran TWK di KPK begitu diributkan hingga minta publik jangan terus 'digoreng'.
Penulis: Inza Maliana
Editor: Pravitri Retno W
TRIBUNNEWS.COM - Kepala Staf Presiden (KSP), Jenderal TNI (Purn) Moeldoko, ikut buka suara menanggapi polemik Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) di KPK.
Menurut Moeldoko, asesmen TWK sebagai syarat alih status menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) ini sudah dilakukan oleh banyak lembaga lain.
Namun, ia mengaku heran lantaran hanya TWK di KPK saja yang begitu diributkan.
Padahal, ia menyebut, beberapa pegawai di Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) juga tidak lolos TWK.
Baca juga: ICW Yakini Ada Pola Jahat dalam Pelaksanaan Seleksi TWK untuk Pegawai KPK
"Soal tidak lolos uji TWK, sebenarnya tidak hanya di KPK, di lembaga lain juga pernah terjadi kondisinya seperti itu."
"Bahkan di BPIP juga ada, tetapi kenapa itu tidak ribut? Kenapa yang di KPK begitu diributkan?" kata Moeldoko, dikutip dari tayangan YouTube Kompas TV, Rabu (26/5/2021).
Moeldoko pun meminta agar masyarakat melihat sisi yang lain dalam asesmen TWK ini.
Seperti sebagai bentuk penguatan wawasan kebangsaan di setiap anggota pemerintah.
"Soal Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) ini seharusnya dilihat sebagai bentuk penguatan wawasan kebangsaan setiap anggota pemerintah."
"Tidak hanya (melihat) di ranah KPK saja, tetapi seluruh mereka yang berproses atas alih status menjadi ASN di semua lembaga," ungkap Moeldoko.
Sebab, Moeldoko menyampaikan, proses TWK sudah diberlakukan di banyak lembaga negara, termasuk di sejumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
"Sekali lagi ini sebenarnya sudah berlaku di semua lembaga, termasuk juga di BUMN," tambahnya.
Kemudian, Moeldoko juga meminta agar polemik TWK ini tidak terus 'digoreng' oleh publik.
Sebab, ia khawatir jika persoalan ini akan keluar dari substansi permasalahan yang seharusnya.
Baca juga: 51 Pegawai KPK Dipecat, ICW Dorong Dewas KPK dan Presiden Jokowi Ambil Sikap
"Janganlah persoalan ini, belum dipahami sepenuhnya oleh kita semuanya, tetapi justru digoreng kanan-kiri."
"Akhirnya keluar dari substansi tujuan yang hendak dicapai," ucap Moeldoko, seperti dilansir Tribunnews.
Moeldoko menegaskan, proses alih status pegawai KPK sebagai ASN, semakin menegaskan komitmen Pemerintah untuk menempatkan KPK sebagai ujung tombak pemberantasan korupsi di Indonesia.
"KSP pasti akan mengawal arahan presiden tersebut," katanya.
Sedari awal, kata Moeldoko, Presiden Jokowi ingin agar KPK memiliki sumber daya manusia yang terbaik dan berkomitmen tinggi di dalam pemberantasan korupsi.
Dengan pengalihstatusan pegawai KPK menjadi ASN, pemberantasan korupsi harus menjadi lebih sistematis.
Selain itu, menjadikan pegawai KPK sebagai ASN merupakan amanat undang-undang nomor 19 tahun 2019 tentang KPK.
Proses peralihan status tersebut sesuai dengan PP nomor 41 tahun 2020 tentang pengalihan pegawai KPK menjadi pegawai ASN, dan peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021 tentang tata cara pengalihan pegawai KPK menjadi ASN.
Baca juga: Istana Wacanakan Pendidikan Kedinasan bagi Pegawai KPK yang Dipecat
Hanya saja Moeldoko menegaskan bahwa proses peralihan status pegawai KPK tersebut tidak boleh merugikan hak pegawai KPK.
Hal itu sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi nomor 70 tahun 2019.
"Presiden menyerahkan pada mekanisme yang berlaku di mana pimpinan KPK, Sekjen KPK, bersama-sama Kementerian Pan RB, dan kepala BKN bisa merumuskan kebijakan yang terbaik, untuk memastikan prinsip itu dapat dibenahi," jelasnya.
Imbas 51 Pegawai KPK Dipecat, Indeks Persepsi Antikorupsi Indonesia Diprediksi akan Merosot
Seperti diketahui, pemecatan 51 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tak lolos asesmen Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) menimbulkan polemik.
Banyak publik menilai, pemecatan tersebut akan menimbulkan dampak yang cukup besar di masa mendatang.
Seperti kemerosotan indeks persepsi antikorupsi Indonesia hingga desakan agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) segera bertindak.
Satu di antara lembaga yang ikut menyayangkan pemecatan 51 dari 75 pegawai KPK adalah Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI).
Baca juga: Peryataan Jokowi Dinilai Hanya Basa-basi Jika Tak Membatalkan SK Pemberhentian 51 Pegawai KPK
Koordinator MAKI, Boyamin Saiman, memprediksi imbas dari pemecatan ini adalah indeks persepsi antikorupsi Indonesia akan merosot dalam satu tahun ke depan.
Ia meyakini, ke depannya kondisi untuk memberantas korupsi di tanah air akan stagnan.
Hal itu lantaran akan banyak sengketa yang berkaitan dengan keputusan tersebut.
"Ini bisa saja pegawai KPK mengajukan gugatan ke PTUN menang atau kalah pasti ada yang banding menang kalah lagi pasti kasasi," kata Boyamin kepada Tribunnews.com, Rabu (26/5/2021).
"Jadi sangat mundur pemberantasan korupsi, bahkan dan ujungnya adalah indeks persepsi anti korupsi kita (Indonesia) pasti turun di bawah angka 30 dari 40 ke 37 ini bisa jadi tahun ini adalah menjadi 30-an," sambungnya.
Dengan begitu, Boyamin menyatakan, kondisi ini akan menjadi sesuatu kemunduran bagi persepsi antikorupsi di Indonesia.
Bahkan bahayanya akan menjadi keuntungan bagi para koruptor karena mereka merasa aman dengan kondisi yang ada.
"Ini sangat kemunduran bagi kita semua dan ini yang akan senang adalah orang-orang yang sudah dan sedang melakukan korupsi karena merasa lebih aman lagi," ucapnya.
Baca juga: Soal Pemecatan 51 Pegawai, Wadah Pegawai Nilai Pimpinan KPK Tak Patuhi Instruksi Presiden
Boyamin juga menyinggung peran Presiden RI Joko Widodo yang dimintanya harus tegas dalam menyikapi keputusan pimpinan KPK yang memecat 51 pegawai ini.
Sebab jika dasar pemecatan karena 51 pegawai KPK itu tak lulus TWK, maka dirinya menilai tidak tepat, sebab hasilnya subjektif.
"Mestinya ini pak Presiden memberi ketegasan bahwa mereka (51 pegawai KPK), betul-betul tidak bisa diberhentikan."
"Kecuali melanggar hukum berdasarkan putusan pengadilan atau melanggar kode etik berat berdasarkan putusan dewan pengawas KPK," tutur Boyamin.
Terlebih, kata Boyamin, keseluruhan pegawai yang bakalan dipecat tersebut sudah berstatus sebagai pegawai tetap KPK.
Oleh karenanya, keputusan pemecatan jika berdasar pada hasil asesmen TWK adalah tidak tepat.
"Mereka ini sudah pegawai tetap di KPK, tidak ada alasan memberhentikan mereka kalau bukan alasan itu tadi," kata Boyamin.
Baca juga: Anggota Komisi II : Apa Indikator 51 Pegawai KPK Lainnya Dapat Rapor Merah?
"Kalau ini alasannya tes wawasan kebangsaan ini kan pertanyaan subjektif jawaban subjektif, penilaian lulus dan tidak lulus itu adalah sangat subjektif sehingga tidak bisa ini dipakai untuk memberhentikan dari 75 ataupun 51 pegawai KPK," sambungnya.
Menurut Boyamin jika keputusan tersebut diambil maka, dirinya meyakini ini menjadi sebuah kerugian tak hanya untuk internal Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tapi juga bagi negara.
"Ini (keputusan) yang sebenarnya yang sangat dirugikan bukan hanya KPK tapi negara pun rugi," tuturnya.
(Tribunnews.com/Maliana/Rizki Sandi Saputra/Taufik Ismail)
Berita lain terkait Seleksi Kepegawaian di KPK