SBY Terima Sambutan Mengejutkan saat Tugas di Timor Timur
Meskipun sempat diragukan karena fisikna yang bersih, SBY (mantan Presiden) ternyata mampu berlari sejauh 15 KM sambil memawa peralaran yang berat.
Penulis: Febby Mahendra
Editor: cecep burdansyah
TRIBUNNEWS.COM - PADA usia muda Susilo Bambang Yudhoyono, terakhir menjabat Presiden Republik Indonesia, mendapat kesempatan mengikuti Kursus Komandan Batalyon (Susdanyon).
Ia tercatat sebagai peserta termuda, karena kebanyakan peserta kursus tersebut adalah alumnus Akabri angkatan 1970 atau 1971, sedangkan SBY angkatan 1973.
Sebagai lulusan terbaik kedua, saat itu ada kebiasaan komandan batalyon boleh memilih batalyon yang ia inginkan.
“Waktu itu aku mendengar kabar sepertinya SBY akan ditempatkan di Jawa Timur . Itu kabar gembira karena selama ini kami kesulitan untuk bisa menjenguk orangtua SBY di Pacitan (Jawa Timur),” ujar Ani Yudhoyono, istri SBY, dalam buku ‘Ani Yudhoyono, Kepak Sayap Putri Prajurit’, karya Alberthiene Endah, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2010.
Namun kenyataan berbeda dengan harapan. Pimpinan TNI AD menetapkan SBY memimpin Yonif 744, di Dili, Timor Timur.
Saat itu Timor Timur menjadi provinsi ke-24 Indonesia, sebelum akhirnya merdeka pada 1999 dan menjadi Republik Timor Leste.
Itu bukan penugasan beberapa bulan seperti pernah dialami SBY sebelumnya namun untuk penempatan dua tahun.
Oleh karena itu SBY disarankan membawa serta keluarganya. Saat itu SBY sudah mempunyai dua anak yaitu Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Edhie Baskoro Yudhyono (Ibas).
“Bukan main syoknya aku. Mendengar kabar itu benakku langsung teringat pada wacana sejumlah istri perwira yang suaminya pernah ditugaskan di Timor Timur dalam waktu cukup lama,” ujar Ani Yudhyono. Putri ketiga Letjen Purn Sarwo Edhie Prabowo tersebut meninggal dunia pada 1 Juni 2019 di Rumah Sakit Universitas Nasional, Singapura, akibat penyakit kanker.
Namun SBY menguatkan hati sang istri. Desember 1986 SBY dan keluarga berangkat ke Timor Timur, namun mampir dulu ke Bali karena SBY harus menghadap kepada Kepala Staf Kodam Udayana, Berigjen TNI Wismoyo Arismunandar.
Pada saat itu Timor Timur merupakan wilayah kerja Kodan Udayana.
Kejadian unik terjadi ketika SBY bertemu Wismoyo. Sang jenderal meragukan SBY bertugas di daerah konflik karena raut wajahnya bersih dan kulit tubuhnya terang.
“Komandan batalyon kok kulitnya bersih begini,” komentar Wismoyo. Walhasil SBY diminta tinggal dulu di Bali, padahal jadwal semula hanya satu hari berada di Pulau Dewata itu.
Ia diminta menjadi pelatih para bintara di Kodam udayana, tepatnya di Resimen Induk Infanteri. Wismoyo ingin melihat seberapa besar kemampuan SBY melatih anak buah.
Keluarga SBY mendapat kamar kontrakan berukuran sedang di sebuah mes kawasan Renon, tengah Kota Denpasar. Tugas melatih itu ternyata berlangsung dua minggu, sebelum Wismoyo memutuskan memberangkatkan SBY ke Timor Timur.
Sampai di Bandara Dilli, SBY dijemput Komandan Pleton 2 Kompi D, Yonif 744, Letnan Dua Infanteri Wiyarto. Ny Ani terkejut ketika Wiryanto menyerahkan sejumlah perangkat prajurit kepada SBY. Ada senjata, ransel berserta isinya, dan helm baja.
Baca juga: AHY Jadi Pahlawan Kelahiran Ibas, Putra Kedua SBY
Teror telepon
Ternyata untuk menuju markas Yonif 744, SBY harus berlari sambil membawa beban seberat 25 kg.
“Aku hanya bisa bengong sambil menggandeng Agus dan Ibas. Suamiku dengan gagah berlari, terus menjauh, dan makin lama jadi tak terlihat,” ujar Ani.
Ny Ani lalu diberitahu seorang penyambut, SBY diharuskan lari sejauh 15 km menuju markas di Taibesi, Dili, dan menghadap Komandan Korem Kolonel M Yunus Yosfiah. Mengetahui hal itu Ani Yudhoyono merasa nelangsa.
“Tangisku tumpah perlahan. Sambil terus menggandeng Agus dan Ibas, kupalingkan wajahku agar kedua anakku tidak melihat ibu mereka menangis,” tambah Ani.
Beruntung ada dua perwira yang menghampiri mereka, yaitu Mayor Infanteri Robert Simbolon dan Mayor Infanteri M yasin, rekan seangkatan SBY.
Mereka mengatakan siap mengantarkan ke mes di Dili yang baru dapat dimasuki menjelang malam hari karena sebelumnya harus dibenahi lebih dulu.
Menjelang tengah malam SBY baru muncul. Tubuhnya berkeringat, wajahnya lusuh.
Belakangan SBY menjelaskan tradisi penyambutan yang unik tersebut sebenarnya cukup berisiko.
Tidak ada yang bisa menjamin sang komandan batalyon akan sampai di Dili dalam kondisi fisik yang segar.
Berlari sejauh 15 km sambil membawa beban berat, risiko terjatuh bisa saja terjadi. Manakala sang komandan terjatuh di depan anak buahnya, bukan tidak mungkin akan mempengaruhi wibawanya.
Ani Yudhoyono kemudian menemui kejutan yang lain, yaitu ketika ia belanja di pasar. Pasalnya harga sayuran dan bahan makanan benar-benar mahal, sekitar tiga sampai empat kali lipat harga di Jakarta.
Uang belanja yang biasanya cukup untuk membeli sayuran dan lauk pauk, hanya cukup untuk membeli bumbu.
Beruntung gaji prajurit di Timor Timur ternyata dua kali lebih besar. Problem berikutnya yaitu air bersih. Bukan main sulitnya mendapat air yang layak pakai.
Walau ada PDAM namun airnya cokelat, bercampur butiran tanah. Solusinya, sebelum dipakai air PDAM harus diendapkan terlebih dahulu di sebuah tong.
Selain itu jika turun hujan harus segera menampung curahan air dari langit itu.
Horor lainnya adalah adanya teror yang sering muncul.
“Telepon bordering, jika diangkat tidak ada suara atau muncul suara menyeramkan yang tidak jelas. Aku diberitahu SBY untuk menutup telepon jika ada tanda-tanda mencurigakan.”
*Dikutip dari buku ‘Ani Yudhoyono, Kepak Sayap Putri Prajurit’, karya Alberthiene Endah, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2010.
Baca juga: Stok Bunga Segar di Singapura Habis ketika Liem Sioe Liong Berpulang