Jenderal Benny Moerdani Bikin Marah Presiden Soeharto di Ruang Biliar
Jenderal Benny Moerdani, berani mengemukakan agar Soeharto mundur menjelang sidang umum 1988, saat Soeharto kuat-kuatnya. Apa akibatnya?
Penulis: Febby Mahendra
Editor: cecep burdansyah
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - MENJELANG Sidang Umum (SU) MPR 1988, Panglima ABRI Jenderal TNI LB Moerdani dicopot dari jabatannya oleh Presiden Soeharto.
Sebuah peristiwa tidak lazim karena biasanya seorang Panglima ABRI baru diganti setelah pelaksanaan SU MPR dan pengumuman susunan kabinet baru oleh presiden terpilih.
Pencopotan Benny Moerdani, panggilan akrab LB Moerdani, punya latar belakang kisah unik sekaligus dramatik.
Beberapa wakut menjelang Pemilu dan SU MPR, Benny Moedani, menyampaikan saran mengejutkan kepada Soeharto ketika mereka tengah bermain biliar di Jl Cendana, Jakarta.
Di rumah pribadi Soeharto tersebut Benny menyinggung soal bisnis anak-anak Presiden yang saat itu banyak mendapat sorotan masyarakat.
“Saya katakan kepada beliau, untuk menjaga keamanan presiden, memang sudah cukup dengan satu batalyon Paspamres.Tetapi untuk pengamanan politik presiden, mutlak harus didukung oleh keterlibatan keluarga dan juga dari presidennya sendiri,” ujar Benny, seperti dikutip dr Ben Mboi, seorang dokter militer yang kemudian pernah menjabat sebagai Gubernur NTT.
Mendengar perkataan Benny, Soeharto langsung berhenti bermain biliar, masuk kamar, dan meninggalkan Benny di ruang biliar itu.
“Keberanian Benny untuk menuntut kesetiaan Pak Harto kepada jabatannya, merupakan over reaction (reaksi berlebihan) yang menyeret korban. Benny langsung surut di mata Pak Harto,” kata Ben Mboi.
Bukan hanya itu saja, mantan prajurit Resiman Para Komando Angkatan Darat (RPKAD, sekarang bernama Komando Pasukan Khusus) tersebut ternyata pernah menyarankan agar Soeharto mengundurkan diri karena telah 20 tahun berkuasa.
Cerita itu disampaikan Laksamana TNI Sudomo, pernah menjabat KSAL dan Panglima Komando Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib).
“Memang, Benny telah menyampaikan saran kepada Pak Harto, agar Presiden mulai mempertimbangkan untuk secara sukarela mengundurkan diri karena telah memimpin selama 20 tahun, masa bakti yang terlalu lama,” ujar Sudomo.
Sebelum Benny, Jenderal TNI Purn Yoga Sugomo, pada saat menjabat Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin), juga pernah menyarankan agar Soeharto tidak mencalonkan lagi sebagai Presiden RI dan menyiapkan pengganti.
Pada saat Yoga memberi saran tersebut, Benny Moerdani dan Sudharmono, justru menentang keras.
Rupanya, Soeharto sangat marah menanggapi saran Benny, yang selama ini merupakan pembantu setianya.
“Saya melihat Pak Harto sangat marah, sebab yang menyampaikan saran justru seorang yang pada masa itu paling dia percayai,” ujar Sudomo.
Pada sisi lain Sudomo sebenarnya membela sikap Benny Moerdani. “Memang intelijen harus berani mengemukakan fakta yang sebenarnya, meski yang tidak enak sekalipun…”
Setelah menyampaikan dua hal sensitif tersebut kepada Soeharto, Benny Moerdani mulai merasa bakal terpental dari pemerintahan Orde Baru.
“Setelah mengetahui Pak Harto marah, Benny menemui saya sambil mengatakan dia sudah pasti tidak akan dimasukkan lagi dalam kabinet,” kata Sudomo.
Benny bahkan berani bertaruh dengan Sudomo mengenai nasib kariernya.
“Benny datang sambil bilang, wah Bapakke kethoke nesu banget (Bapaknya kelihatannya sangat marah). Jadi saya pasti sudah selesai, hanya akan sampai di sini,” sambung Sudomo.
Baca juga: Terancam Jiwanya, Mochtar Kusuma-atmadja Dikawal Prajurit Seskoad hingga Bandara
Cerita Jenderal Park Chung-hee
Apakah karier Benny Moedani benar-benar tamat pada saat itu? Ternyata tidak.
Sudomo kemudian melanjutkan kisah unik berikutnya. Setelah Sidang Umum MPR 1988 selesai dan Soeharto terpilih kembali sebagai Presiden RI yang didampingi Wakil Presiden Sudharmono, Sudomo menghadap sang presiden.
Sudomo bermaksud merayu Soeharto agar tidak menyingkirkan begitu saja Benny Moerdani karena dikhawatirkan akan berdampak besar, mengingat pengaruh Benny yang masih begitu kuat di kalangan TNI.
Perwira tinggi TNI AL itu kemudian menyanpaikan sebuah cerita kepada Soeharto.
“Bapak masih ingat nasib Presiden Republik Korea (Korea Selatan), Jenderal Park Chung-hee,” tanya Sudomo.
“Ada apa dengan dia,” jawab Soeharto. “Bapak ingat, karena berselisih pendapat, Jenderal Park kemudian diundang makan oleh bekas kepala intelnya. Mungkin dia (Park) menduga anak buahnya tersebut akan meminta maaf, ternyata Jenderal Park langsung di-doorr…”
Ketika mengutip kisah tersebut Sudomo sama sekali tidak menyebut nama Benny Moerdani.
“Tetapi saya melihat Pak Harto kaget. Sudah pasti, beliau kemudian juga jadi ingat kembali kepada kisah tersebut. Mungkin beliau mulai merasa takut dan berpikir, bagaimana nanti kalau Benny mbambung (menggelandang), nekat karena merasa dikecewakan?” kata Sudomo.
Tiga minggu setelah SU MPR, waktu yang lama untuk menyusun kabinet di masa Orde Baru, susunan Kabinet Pembangunan IV akhirnya diumumkan. Nama Benny Moerdani muncul sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan (Menhankam).
“Saya baru tahu kembali dijadikan menteri setelah mendengar pengumuman di radio. Sebab saya sudah tidak pernah dihubungi Pak Harto, juga tidak lewat telepon, sejak saya sudah tidak lagi menjadi Panglima ABRI,” kata Benny Moerdani.
Tidak banyak yang tahu hubungan dekat Soeharto dengan Benny sudah berlangsung sejak sebelum kerusuhan 15 Januari 1974 (akrab disebut malapetaka 15 Januari 1974 alias malari).
Seusai malari, Soeharto memanggil pulang Benny Moerdani yang saat itu menjabat Konsul Jenderal RI di Korea Selatan.
Meski bukan tugasnya, Benny diminta ikut mengamankan kunjungan Soeharto ke Negeri Belanda, 4 September 1970. Pada saat itu ratusan demonstran sudah siap beraksi di depan Istana Rijswijk, Den Haag, lokasi pertemuan Ratu Beatrix dan Soeharto.
Kondisi saat itu cukup rawan karena sehari sebelum kunjungan, Kedubes RI di Amsterdam diserbu pengikut Republik Maluku Selatan (RMS).
Ternyata Benny punya solusi jitu yaitu memindahkan rute perjalanan rombongan Presiden Soeharto untuk menghindari para demonstran.
“Begini saja, arah jalan kita balik. Rombongan lewat jalan yang verboden (dilarang masuk)…” Alhasil para demonstran akhirnya hanya bisa menyaksikan dari jarak sangat jauh, terhalang Sungai Keisergracht, ketika mobil rombongan Soeharto melaju masuk Istana Rijswijk. (*)
*Dikutip dari buku ‘Benny, Tragedi Seorang Loyalis’, karya Julius Pour, Penerbit Kata Hasta Pustaka, Cetakan Keempat, Edisi Revisi, April 2009.
Baca juga: Foto Terpidana Mati Usman dan Harun Terpajang Khusus di Rumah Mochtar Kusuma-atmadja