Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Gegara Polemik TWK Ketua KPK Firli Bahuri Bisa Diberhentikan, Ini Ketentuannya

Peneliti senior Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar menilai Ketua Komisi Pemberantasan Korup

Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Johnson Simanjuntak
zoom-in Gegara Polemik TWK Ketua KPK Firli Bahuri Bisa Diberhentikan, Ini Ketentuannya
screenshot
Zainal Arifin Mochtar 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peneliti senior Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar menilai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri bisa diberhentikan gegara polemik Tes Wawasan Kebangsaan (TWK).

Dalam diskusi 'Menelisik Makna Perbuatan Tercela dan Alasan Hukum Pemberhentian Pimpinan KPK' pada Jumat (25/6/2021), Zainal menjabarkan, ada tiga konteks yang dikenal secara hukum terkait pemberhentian pimpinan KPK.

“Apakah Firli Bahuri bisa diberhentikan dengan kejadian seperti ini? Saya ingatkan ada tiga sebenarnya konteks yang bisa kita kenal secara hukum,” ucap Zainal.

Ia memerinci, tiga konteks itu yakni pemberhentian langsung, perbuatan melawan hukum dan penyalahgunaan kewenangan.

Namun, dalam Pasal 32 Ayat (1) Undang-undang Nomor 19 tahun 2019 tentang KPK menyebutkan bahwa pimpinan berhenti atau diberhentikan karena tujuh ketentuan.

Ketentuan tersebut yaitu meninggal dunia, berakhir masa jabatannya, melakukan perbuatan tercela, dan menjadi terdakwa karena melakukan tindak pidana kejahatan.

Kemudian, berhalangan tetap atau secara terus-menerus selama lebih dari tiga bulan tidak dapat melaksanakan tugasnya, mengundurkan diri dan atau dikenai sanksi berdasarkan undang-undang ini.

Baca juga: Dibantu Kemenhan, 24 Pegawai KPK Tak Lulus TWK Bakal Dibina

Berita Rekomendasi

“Perlu dilacak dulu, perbuatan tercela itu apa? Kalau kita lihat perbuatan tercela dalam konteks hukum Indonesia itu kebanyakan dilekatkan pada perbuatan asusila,” kata Zainal.

Tetapi, perbuatan tercela juga bisa disematkan kepada pejabat negara misalnya komisioner Komisu Pemilihan Umum (KPU) atau anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang terlibat narkoba.

“Itu sebenarnya membingungkan ya, tapi memang konteks hukum kita sepemahaman saya berkaitan dengan itu,” jelas Zainal.

Meski demikian, Zainal berpendapat bahwa perlu ada keberanian dari Dewan Pengawas KPK melihat dengan jernih peran Firli Bahuri dalam proses TWK pegawai KPK.

Keberanian Dewas itu, katanya, untuk mengkualifikasi perbuatan misalnya apakah ada kebohongan yang telah dilakukan di bawah sumpah, tidak menjalankan sumpah yang sudah dijanjikan ketika dilantik dan lain-lain sebagainya.

“Apakah dewas berani melebarkan makna perbuatan tercela itu, dan kalau dia melebarkan lalu dia menjatuhkan sanksi berdasarkan undang-undang bisa masuk kepada proses pemberhentian,” kata Zainal.

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mengatakan, Dewas KPK belum pernah membuat keberhasilan apapun.

"Karena itu, kami menunggu tindakan dari Presiden (Joko Widodo) sebagai pimpinan KPK. Sebab, revisi UU KPK mengatur KPK menjadi rumpun eksekutif," kata dia.

Salah satu pegawai KPK yang tak lulus TWK, Tri Artining Putri, sebelumnya mengungkapkan awal mula keberadaan TWK.

Puput, sapaannya menyebut, berdasarkan sumber yang diperoleh, Firli Bahuri-lah yang memasukkan TWK tersebut ke dalam proses alih status pegawai KPK.

Padahal, menurut dia, pada proses-proses tersebut semestinya dilakukan oleh jajaran teknis.

“Diduga kuat dan saya sudah pastikan sumbernya tanggal 25 Januari ini tes wawasan kebangsaan itu keluar dari usulan Ketua KPK bapak Firli Bahuri,” kata Puput.
 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas