Masih Pandemi, Revisi UU Ketentuan Perpajakan Tidak Bisa Dilakukan Dalam Waktu Dekat
Untuk itu, pembahasan RUU KUP harus dilakukan secara cermat, objektif dan terukur oleh semua pihak.
Editor: Content Writer
TRIBUNNEWS.COM - Pemerintah bersama Komisi XI DPR melanjutkan pembahasan perubahan kelima RUU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) ke dalam panitia kerja (panja). Upaya pemerintah untuk mengubah skema tarif pajak dan cukai didukung penuh oleh Komisi XI DPR RI. Namun, revisi UU KUP tersebut tidak bisa diselesaikan dalam waktu dekat.
“Jelas sekali penerapan RUU KUP ini, tidak bisa dilakukan saat ini juga atau dalam waktu pendek, tetapi harus mempertimbangkan perkembangan kondisi masyarakat dan dunia usaha,” ujar
Ketua Komisi XI DPR RI Dito Ganinduto dari Fraksi Golkar, Selasa, 29 Juni 2021.
Semula ada target bahwa pembahasan revisi UU KUP ini bisa selesai tahun ini, sehingga pada akhir Oktober 2021 RUU KUP ini bisa kemudian diundangkan dan disahkan dalam rapat Paripurna 2021.
Namun, menurut Dito, pembahasan RUU KUP ini pada akhirnya harus mempertimbangkan kondisi masyarakat dan dunia usaha. Mengingat masih berlangsungnya situasi pandemi, pemerintah diminta untuk tetap fokus pada penanganan masalah kesehatan dan berbagai program pemulihan ekonomi nasional.
Menurut Dito, baik DPR maupun pemerintah harus memikirkan bersama secara matang waktu yang paling tepat untuk penerapan RUU KUP ini apabila telah disetujui dan ditetapkan.
“Untuk itu, pembahasan RUU KUP harus dilakukan secara cermat, objektif dan terukur oleh semua pihak,” ujarnya.
Dengan begitu, kata Politisi Partai Golkar, tujuan untuk menuju sistem perpajakan yang sehat, adil dan berkesinambungan dapat tercapai dalam jangka menengah, namun tidak memberikan dampak negatif kepada masyarakat dan dunia usaha yang masih dalam situasi pandemi Covid-19.
Sehubungan dengan pembahasan untuk revisi UU KUP tersebut, fraksi-fraksi di Komisi XI DPR RI akan mengirimkan daftar inventaris masalah (DIM) RUU KUP kepada pemerintah.
Kemudian setelah masa reses sidang kelima 2021, yakni tepatnya antara rentang 13 Juli 2021-11 Agustus 2021, akan mulai melakukan pembahasan rapat dengar pendapat (RDP), untuk mendengarkan masukan dari para pakar, akademisi, asosiasi, dan kelompok masyarakat sebagai bahan RUU KUP.
"Sementara menunggu DIM bisa melakukan mendengarkan RDP pakar, akademisi dan seluruh kelompok masyarakat," kata Dito.
Hingga saat ini, diakui Dito, sistem perpajakan dinilai belum mampu mendukung sustainabilitas pembangunan dalam jangka menengah dan panjang. Hal tersebut dapat kita lihat dari kondisi APBN beberapa tahun terakhir, di mana belanja meningkat sesuai perkembangan kebutuhan bernegara dan kebutuhan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih baik, namun penerimaan perpajakan belum cukup optimal untuk mendukung pendanaan negara.
Hal ini terlihat dari tax ratio yang masih rendah, beberapa tahun terakhir di kisaran 10 persen ke bawah. Sehingga menyebabkan defisit anggaran meningkat, terlebih dalam masa pandemi Covid-19, membutuhkan dana lebih untuk menangani masalah kesehatan dan program pemulihan ekonomi dan memenuhi ketentuan UU Nomor 2 Tahun 2020 agar defisit APBN harus dikembalikan pada level di bawah 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
“Kita memahami usulan pemerintah melalui RUU KUP untuk meletakkan fondasi sistem perpajakan yang lebih sehat, lebih adil, dan berkesinambungan dengan beberapa pilar, yakni penguatan administrasi perpajakan, program peningkatan kepatuhan Wajib Pajak (WP), upaya perluasan basis pajak, dan menjadikan perpajakan sebagai instrumen untuk menciptakan keadilan di masyarakat,” tegas Dito.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan bahwa reformasi perpajakan mendesak untuk segera dilakukan agar terciptanya sistem pajak yang adil, sehat dan efisien. Melalui reformasi perpajakan yang tertuang dalam RUU KUP, pemerintah berharap penerimaan perpajakan dapat meningkat guna mendukung program pembangunan nasional.
“Urgensi reformasi perpajakan akan membuat basis pajak yang kuat dan semakin merata, dimana konsumsi dapat tumbuh dan pendapatan per kapita masyarakat semakin tinggi. Nantinya, terbentuk APBN yang sehat dan berkelanjutan, dimana penerimaan negara memadai, resiko APBN rendah dan risiko utang terjaga. Sehingga mampu mendorong pertumbuhan ekonomi, mendorong investasi, penciptaan lapangan kerja, dan kemudahan berusaha,” papar Menkeu.