Calon Hakim Agung Brigjen Tama Ulinta Bicara Tentan Penemuan Hukum Soal LGBT di Lingkungan TNI
Hal tersebut ditanyakan karena Amzulian mendapat topik pertanyaan terkait dengan kenegarawanan dan isu-isu aktual.
Penulis: Gita Irawan
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Calon Hakim Agung Kamar Pidana Militer yang saat ini menjabat sebagai Wakil Kepala Pengadilan Militer Utama, Brigjen TNI Tama Ulinta Boru Tarigan, ditanya karya tulisnya tentang penemuan hukum terkait perilaku lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) di lingkungan TNI.
Awalnya Anggota Komisi Yudisial Amzulian Rifai memintanya menguraikan terkait karya tulis Tama tersebut.
Hal tersebut ditanyakan karena Amzulian mendapat topik pertanyaan terkait dengan kenegarawanan dan isu-isu aktual.
Baca juga: Calon Hakim Agung Brigjen Slamet Sarwo Dicecar Soal Sidang Militer Pertempuran Hingga Eksekusi Mati
Tama kemudian menjelaskan kasus LGBT cukup banyak di lingkungan TNI karena mereka mempunyai komunitas yang anggotanya juga berasal dari kalangan masyarakat sipil.
Dalam komunitas tersebut, kata dia, para anggotanya tidak memandang jabatan mulai dari anggota TNI berpangkat tinggi hingga pangkat rendah.
Mereka, kata dia, justru menjadi pelaku dalam tindak pidana itu.
Baca juga: Calon Hakim Agung Brigjen Slamet Sarwo Edy Ditanya Soal Tingginya Kasus Narkotika di Lingkungan TNI
Oleh karena itu, kata dia, dalam pengadilan militer bahkan sampai tingkat kasasi melalui rapat kamar pada kamar militer Mahkamah Agung telah dilakukan suatu terobosan.
Terobosan tersebut, kata dia, dilakukan karena untuk kasus LGBT tidak secara tegas diatur dalam Undang-Undang memang tidak secara tegas diatur dan hanya terkait dengan pasal melanggar susila dan sebagainya.
Oleh karena itu, kata dia, diterbitkan Surat Telegram dari Panglima TNI bahwa perilaku LGBT tidak boleh dibiarkan dan harus diberantas sampai setuntas-tuntasnya melalui penegakan hukum.
Baca juga: Calon Hakim Agung Yohanes Priyana Ditanya Soal Vonisnya Terhadap Siti Fadilah Supari
Selain itu dikeluarkan juga Surat Telegram KSAD, KSAL, dan KSAU, untuk memberikan instruksi kepada para prajurit bahwa dilarang untuk berperilaku sebagaimana LGBT tersebut.
Karena tidak diatur secara tegas dalam Undang-Undang, lanjutnya, maka rapat pleno kamar mengatur bahwa kasus LGBT berdasarkan surat telegram dari Panglima TNI dimasukan ke dalam kelompok pelanggaran perintah dinas.
Hal itu disampaikannya dalam Wawancara Terbuka Calon Hakim Agung Tahun 2021 Hari Ke-4 yang disiarkan di kanal Youtube Komisi Yudisial pada Jumat (6/8/2021).
"Oleh karena itu dikaitkan dengan itu, dilakukanlah penegakan hukum sesuai dengan pasal 103 KUHPM dikaitkan dengan melanggar susila LGBT," kata Tama.
Karena waktu telah habis, Amzulian kemudian mencukupi pertanyaannya dan merespons penjelasan tersebut dengan mengatakan bahwa persoalan yang diuraikan tersebut merefleksikan terkait kompleksitas persoalan bangsa yang perlu dihadapi negarawan, termasuk Hakim Agung.
Tidak selesai di situ, Anggota Komisi Yudisial Joko Sasmito juga mendalami lagi terkait metode penafsiran yang dilakukan dalam rangka penemuan hukum tersebut.
Joko menjelaskan di dalam karya tulis Tama diuraikan bahwa penemuan hukum dilakukan dengan dua metode yaitu metode penafsiran dan konstruksi hukum.
Kemudian metode penafsiran tersebut, lanjut dia, bisa dilakukan dengan beberapa macam cara.
Tama, kata Joko, juga menyampaikan permasalahan bahwa dengan penafsiran sejarah dapat membantu hakim untuk menafsirkan Undang-Undang yang kurang jelas.
Joko kemudian meminta Tama menjelaskan tentang penafsiran sejarah dan bagaimana penafsiran sejarah bisa dipakai hakim untuk menafsirkan Undang-Undang yang kurang jelas.
Tama menjelaskan penemuan hukum melalui penafsiran diperlukan untuk menciptakan terobosan dalam menafsirkan Undang-Undang yang tidak lengkap atau kurang jelas.
"Apabila kita memilih penafsiran secara historis kita memecah kebuntuan dengan melihat apa latar belakang Undang-Undang tersebut dibuat," kata Tama.
Tama kemudian menjelaskan contoh lain terkait hal itu yang telah dilakukan oleh Hakim Militer Mahkamah Agung dalam perkara menyangkut narkotika.
Dalam perkara tersebut, kata dia, diperlukan terobosan melalui penafsiran historis karena jenis narkotikanya baru tidak tercantum dalam Undang-Undang.
Padahal, berdasarkan hasil laboratorium dampak narkotika tersebut bisa digolongkan dalam narkotika golongan satu.
"Sehingga dari sejarahnya itu yang diinginkan dengan akibat yang terjadi oleh golongan satu tersebut maka itu dijadikan salah satu terobosan. Sehingga dilihat sejarahnya untuk apa UU itu dibuat. Tentu untuk menjaring para pelaku. Kalau dia golongan satu misalnya. Ada jenis baru itu dilihat dari hasil laboratorium ternyata kandungannya sama. Itu menjadi satu putusan yang sangat fenomenal di lingkungan militer," kata dia.
Joko kemudian mendalami lagi pertanyaan terkait metode konstruksi hukum yang digunakan dalam membahas penemuan hukum sehingga para pelanggar LGBT dapat dibawa ke pengadilan.
Tama menjelaskan dalam hal ini konstruksi hukum itu yang dikenal biasanya ada tiga yakni nalogi, a contrario, dan penghalusan hukum.
Tetapi, kata dia, analogi tidak boleh digunakan secara ketat dalam hukum pidana.
Oleh karena itu, kata dia, dalam penemuan hukum terkait LGBT dilakukan penafsiran ekstensif atau perluasan.
Ia kembali menjelaskan bahwa dalam proses tersebut Panglima TNI telah mengeluarkan peraturan internal yang melarang perilaku LGBT dengan sanksi tegas.
Larangan tersebut kemudian ditafsirkan secara ekstensif sebagai melanggar perintah dinas.
"Oleh karena itu karena pasalnya yang tidak lengkap untuk menjaring para pelaku LGBT ini sehingga dilakukanlah penafsiran secara ekstensif dan itu dipersamakan dengan menolak perintah atau tidak melaksanakan perintah dinas," kata dia.
Joko kemudian bertanya kepada Tama lebih rinci terkait perintah dinas tersebut dalam KUHPM dan Surat Telegram Panglima.
"Pasal 103 kemudian dikaitkan dengan ST Panglima tahun 2017 dan 2019," kata Tama.