Keheranan Novel Baswedan dan Sikap Pimpinan KPK yang Tak Gubris Rekomendasi Ombudsman RI
Novel Baswedan dibuat terheran-heran oleh sikap keras pimpinan KPK yang menolak menjalankan rekomendasi Ombudsman RI
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan dibuat terheran-heran oleh sikap keras pimpinan KPK yang menolak menjalankan rekomendasi Ombudsman RI terkait dengan temuan maladministrasi dalam pemberhentian 75 pegawai KPK.
Novel Baswedan menegaskan, pimpinan KPK Firli Bahuri dan kawan-kawan seharusnya malu dengan temuan Ombudsman yang menyebut adanya kecacatan administrasi dalam seluruh proses pelaksanaan tes wawasan kebangsaan (TWK).
Pimpinan KPK mengaku keberatan dengan tindakan korektif yang disampaikan Ombudsman terkait maladministrasi TWK.
"Temuan dari Ombudsman itu serius, dan menggambarkan bahwa proses TWK adalah suatu skandal serius dalam upaya pemberantasan korupsi. Mestinya pimpinan KPK malu ketika ditemukan fakta itu, setidaknya responnya minta maaf," ujar Novel dalam pernyataannya, Kamis (5/8/2021).
Namun, lanjut penyidik yang kini berstatus nonaktif itu, KPK justru menolak tindakan korektif yang disampaikan oleh Ombudsman.
Novel memandang sikap keras pimpinan KPK memalukan.
"Luar biasa, ini memalukan, dan menggambarkan hal yang tidak semestinya dilakukan oleh pejabat penegak hukum. Karena kaidah penting yang mesti dipegang oleh pejabat penegak hukum adalah taat hukum dan jujur."
"Sayangnya Pimpinan KPK tidak bisa menjadi contoh atas hal itu," kata Novel Baswedan.
Baca juga: KPK Emoh Jalankan Rekomendasi Ombudsman, Tim 75 Pegawai Tak Terkejut
Tim 75 pegawai KPK yang tidak lulus tes wawasan kebangsaan (TWK) mengaku tidak terkejut dengan respons lembaga antirasuah terkait hasil pemeriksaan Ombudsman soal pelanggaran dalam pelaksanaan TWK.
Baca juga: Novel Baswedan Sebut 75 Penyelidik/Penyidik KPK Gagal TWK Seperti Tak Dianggap
Tim 75 menyebut apa yang disampaikan KPK merupakan sikap antikoreksi.
"Kami tidak terkejut atas keputusan KPK terhadap respons atas rekomendasi resmi dari lembaga ombudsman yang diberikan kewenangan untuk memberikan rekomendasi dan tindakan korektif. Sikap ini, kami lihat sebagai sikap antikoreksi," kata perwakilan 75 pegawai sekaligus Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo Harahap kepada Tribunnews.com, Kamis (5/8/2021).
Menurut Yudi, sebagai lembaga penegak hukum, KPK sepatutnya menaati hukum tanpa pilih-pilih.
Tindakan korektif yang disampaikan Ombusman, lanjutnya, seharusnya dijadikan bahan perbaikan oleh KPK.
"Bukan malah menyerang pemberi rekomendasi yang mencari solusi terhadap permasalahan status 75 pegawai KPK. Ini sama saja KPK memilih untuk kill the messenger bukannya mengapresiasi rekomendasi Ombudsman," katanya.
Ia menilai, sikap yang disampaikan KPK itu menunjukkan pernyataan pimpinan yang telah berupaya memperjuangkan hak serta nasib 75 pegawai sebagai retorika belaka.
Baca juga: Giliran KPK Tuding Balik Ombudsman yang Lakukan Maladministrasi
Padahal, kata dia, seharusnya pimpinan KPK menjadikan rekomendasi Ombudsman sebagai dasar memperjelas status 75 pegawainya sesuai dengan revisi UU KPK, Putusan Mahkamah Konstitusi, dan arahan Presiden Joko Widodo.
"Sehingga 75 pegawai tersebut bisa segera kembali bekerja melaksanakan tupoksinya dalam memberantas korupsi di Indonesia," kata Yudi.
Pimpinan KPK Menolak
Pimpinan KPK sudah mengeluarkan pernyataan resmi menanggapi rekomendasi Ombudsman RI. Pimpinan KPK menyatakan menolak tindakan korektif yang disarankan Ombudsman RI terkait dugaan maladimistrasi pelaksanaan tes wawasan kebangsaan (TWK).
Lembaga antirasuah menyatakan tidak takut dengan Ombudsman terkait penolakan lembaga itu terhadap isi rekomendasi Ombudsman RI.
"Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya tidak tunduk kepada lembaga apapun, KPK independen. Kami tidak ada di bawah institusi lembaga apapun di Republik Indonesia ini," kata Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Kamis (5/8/2021).
Ghufron menyatakan tindakan lembaganya merujuk pada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK.
Pasal 3 dalam beleid itu menyebut KPK masuk dalam rumpun eksekutif tapi dalam melaksanakan tugas harus independen.
Dia mengatakan, independensi KPK harus dilakukan meski Ombudsman memberikan rekomendasi tersebut dan tidak akan tunduk karena Ombudsman bukan atasan KPK.
"Atasan KPK sebagaimana UU KPK adalah lembaga yang dalam menjalankan tugasnya tidak tunduk kepada institusi apapun, tidak kemudian terintervensi oleh kekuasaan apapun," tegas Ghufron.
Pihaknya juga keberatan atas isi rekomendasi Ombudsman RI.
"Kami akan menyerahkan surat keberatan ini sesegera mungkin besok, 6 Agustus 2021 pagi ke Ombudsman," kata Ghufron.
Ghufron menilai Ombudsman tidak adil dalam memberikan rekomendasinya.
Ombudsman juga dinilai tidak menghormati kewenangan KPK dalam pelaksanaan TWK dan cenderung memberikan pernyataan yang menyudutkan.
Ghufron menegaskan tidak ada maladministrasi dalam pelaksanaan tes itu.
Ombudsman juga dinilai sudah melewati batas setelah menyatakan TWK tidak sesuai dengan aturan berlaku.
KPK menilai Ombudsman merasa lebih berkuasa dibanding aturan hukum dan perundang-undangan di Indonesia.
Ombudsman RI juga dinilai tidak menghormati kewenangan KPK dalam pelaksanaan TWK dan cenderung memberikan pernyataan yang menyudutkan.
Ghufron mengatakan, peralihan status kepegawaian merupakan masalah internal KPK.
"Kami menyampaikan keberatan untuk menindaklanjuti tindakan korektif yang disarankan Ombudsman RI kepada KPK," kata Ghufron.
KPK justru menuding balik Ombudsman yang justru melakukan maladministrasi.
Nurul Ghufron mengatakan, seharusnya yang memeriksa dirinya terkait polemik TWK bukan Komisioner Ombudsman RI Robert Na Endi Jaweng, melainkan Kedeputian Keasistenan IV yang membidangi fungsi pemeriksaan jika mengacu Peraturan Ombudsman RI Nomor 48 Tahun 2020.
"Pada saat saya dimintai klarifikasi sesuai dengan peraturan ORI 48/2020 pasal 15 ayat 2 disebutkan bahwa klarifikasi dilakukan oleh keasistenan yang membidangi fungsi pemeriksaan. Artinya, keasistenan yang membidangi fungsi pemeriksaan. Pada saat itu Kedeputian Keasistenan IV," ucap Ghufron di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Kamis (5/8/2021).
"Tapi yang hadir siapa? Robert Na Endi Jaweng, seorang komisioner. Padahal peraturannya sendiri mengatakan keasistenan," lanjutnya.
Pernyataan Ghufron menanggapi rekomendasi Ombudsman RI terkait kehadiran para pimpinan lembaga dalam rapat harmonisasi terakhir pada 26 Januari 2021.
Ombudsman dalam rekomendasinya berpendapat, seharusnya yang hadir dalam rapta harmonisasi tersebut dihadiri oleh pejabat pimpinan tinggi dalam hal ini Sekjen atau Kepala Biro, JPT, pejabat administrast dan panja.
Tetapi hal itu dinilai tidak dipatuhi. Dalam rapat harmonisasi tersebut yang hadir bukan lagi jabatan pimpinan tinggi atau perancang, melainkan para pimpinan lembaga yakni Ketua KPK, Kepala BKN, Kepala LAN, Menkumham dan Menpan RB.
Ghufron menyatakan, Ombudsman RI tidak memahami Pasal 35 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan bahwa delegator sewaktu-waktu ketika hadir sendiri tidak masalah secara hukum, tidak merupakan kesalahan.
"Fakta hukum bahwa rapat koordinasi harmonisasi yang dihadiri atasannya yang kemudian dinyatakan malaadministrasi oleh ORI, ternyata dilaksanakan juga oleh ORI," jelas Ghufron.