Tim Advokasi Korban Bansos Covid-19 Layangkan Berkas Memori Kasasi
Tim Advokasi korban bantuan sosial (Bansos) sembako Covid-19 resmi melayangkan berkas memori kasasi sebagai upaya hukum ke Mahkamah Agung melalui Peng
Penulis: Rizki Sandi Saputra
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tim Advokasi korban bantuan sosial (Bansos) sembako Covid-19 resmi melayangkan berkas memori kasasi sebagai upaya hukum ke Mahkamah Agung melalui Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Senin (9/8/2021).
Upaya hukum tersebut diajukan terhadap Penetapan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (PN Tipikor) Jakarta perkara nomor: 29/Pid.Sus-TPK/2021/PN.JKT.Pst yang menolak permohonan penggabungan perkara gugatan ganti kerugian dalam pemeriksaan perkara korupsi mantan Menteri Sosial (Mensos) Juliari Peter Batubara.
"Kami dari tim advokasi untuk korban korupsi bansos hari ini telah resmi mengajukan permohonan kasasi atas penetapan majelis hakim, terkait pernyataan sudah kami sampaikan Minggu lalu," kata anggota tim advokasi Ahmad Fauzi dari YLBHI kepada awak media di PN Jakarta Pusat, Senin (9/8/2021).
Dalam berkas memori kasasi tersebut Fauzi mengatakan, pihaknya menyampaikan beberapa poin termasuk di antaranya menyayangkan putusan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor atas penolakan permintaan penggabungan perkara tersebut.
Dirinya menyebut putusan dari Majelis Hakim tidak sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 98 hingga 101 KUHAP.
Baca juga: Periksa Eks Mensos Juliari Batubara, KPK Buka Penyelidikan Baru Kasus Korupsi Bansos Covid-19
"Majelis hakim pada persidangan juliari Peter Batubara itu salah menerapkan hukum. jadi majelis hakim tidak memuat hukum yang cukup dalam pertimbangannya," tutur Fauzi.
Diberitakan sebelumnya, Korban korupsi bantuan sosial (bansos) COVID-19 yang diwakili oleh tim advokasi secara resmi mendaftarkan upaya hukum kasasi melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Senin (26/7/2021) hari ini.
Upaya hukum tersebut diajukan terhadap Penetapan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (PN Tipikor) Jakarta perkara nomor: 29/Pid.Sus-TPK/2021/PN.JKT.Pst yang justru menolak permohonan penggabungan perkara gugatan ganti kerugian dalam pemeriksaan perkara korupsi mantan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara.
"Bagi Tim Advokasi, penolakan majelis hakim Tipikor tidak hanya melanggar ketentuan hukum tetapi juga kontraproduktif dengan semangat pemberantasan korupsi dan perlindungan Hak Asasi Manusia," kata anggota tim advokasi Kurnia Ramadhana lewat keterangan tertulis, Senin (26/7/2021).
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) itu memaparkan, setidaknya ada dua argumentasi yang mendasari langkah mendaftarkan kasasi.
Pertama, dikatakannya, hakim menyesatkan penafsiran Pasal 98 KUHAP dengan menyatakan permohonan harus diajukan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Menurut Kurnia, masalahnya penggabungan perkara gugatan ganti kerugian dalam KUHAP hanya dapat diajukan ke pengadilan yang menyidangkan pokok perkara pidana.
"Jadi, justru aneh, sebab, perkara pidana, khususnya korupsi, yang waktu dan tempat kejadiannya di Jakarta disidangkan oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat," jelas Kurnia.
Kedua, menurut tim advokasi, hakim benar-benar telah menutup ruang bagi korban korupsi untuk memperoleh hak yang telah dilanggar oleh pelaku kejahatan.
Sebab, penetapan keliru ini besar kemungkinan akan dijadikan dasar Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di seluruh Indonesia ketika menghadapi penggabungan perkara gugatan ganti kerugian.
"Penting untuk ditegaskan, penetapan ini tidak hanya merugikan korban korupsi bansos, melainkan juga mempertaruhkan masa depan pemberantasan korupsi yang seolah hanya memikirkan kepentingan negara," ujar Kurnia.
Atas dasar tersebut, bagi tim advokasi korban korupsi bansos, penetapan yang melanggar hukum dan HAM tersebut harus dilawan melalui mekanisme yang tersedia yaitu kasasi ke Mahkamah Agung (MA).
"Tim Advokasi dan korban korupsi bansos sangat berharap Mahkamah Agung mengoreksi kesalahan penerapan hukum oleh majelis Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta," harapnya.
Selain itu, disebutkan Kurnia, MA juga mesti menjalankan amanat Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman untuk tidak menolak memeriksa perkara hanya karena tidak ada atau belum jelas hukumnya serta dapat “membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan” serta “menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.
Sebagaimana diketahui, pertengahan Juni lalu 18 orang warga Jabodetabek yang menjadi korban korupsi bansos mengajukan penggabungan perkara gugatan ganti kerugian.
Alas hukum yang digunakan secara terang benderang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan dan kesepakatan internasional, yakni Pasal 98 KUHAP dan Pasal 35 Konvensi PBB Melawan Korupsi (UNCAC).
Tak lama berselang, majelis hakim pun memberikan akses bagi tim advokasi untuk melengkapi dokumen.
Namun, pasca itu, permohonan penggabungan perkara gugatan ganti kerugian malah ditolak dengan alasan yang sangat janggal.
Hakim berpandangan gugatan lebih tepat diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan menggunakan argumentasi domisili Juliari.