BKN Beri Penjelasan Asal Muasal Tes Wawasan Kebangsaan Pegawai KPK
Badan Kepegawaian Negara (BKN) menjelaskan asal muasal munculnya asesmen tes wawasan kebangsaan (TWK) bagi pegawai KPK.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Badan Kepegawaian Negara (BKN) menjelaskan asal muasal munculnya asesmen tes wawasan kebangsaan (TWK) bagi pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
TWK sendiri merupakan satu syarat alih status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN).
Wakil Ketua BKN Supranawa Yusuf menjelaskan TWK telah ada dalam Undang-Undang 5 Tahun 2014 tentang ASN.
"Berkaitan tes wawasan kebangsaan yang muncul di Pasal 5, itu sebenarnya bukan barang baru. Artinya, di dalam UU No 5 Tahun 2014 tentang ASN, itu nyata-nyata disebutkan bahwa untuk jadi ASN, itu harus ada seleksi," jelas Supranawa dalam jumpa pers virtual, Jumat (13/8/2021).
Menurut penuturan Supranawa, TWK terbagi dalam seleksi kompetensi dasar dan kompetensi bidang.
"Seleksinya, itu ada seleksi kompetensi dasar atau seleksi kompetensi bidang. Kompetensi dasar, itu di dalamnya ada yang disebut wawasan kebangsaan atau TWK, di samping ada karakteristik pribadi dan inteligensi umum. Jadi itu sudah pakem dalam proses seleksi CPNS," kata Supranawa.
Isi dari TWK ini disebutkan terkait dengan Pancasila, UUD 1945, dan NKRI.
Baca juga: BKN Tegaskan Miliki Kompetensi Laksanakan Tes Wawasan Kebangsaan Terhadap Pegawai KPK
Selain itu, Supranawa mengatakan, akan ada proses pengangkatan CPNS menjadi PNS, kenaikan jabatan, hingga mutasi yang dilakukan dengan pengucapan janji.
"Nah, kalau kita bicara kontennya, subtansinya, kenapa kok perlu ada tes wawasan kebangsaan, isinya apa sih tes wawasan kebangsaan? Di sana ada terkait Pancasila, UUD 1945, dengan pemerintahan yang sah, dan NKRI, atau kita singkat BUNP. Dan sebagai ASN atau PNS, itu setiap ada proses pengangkatan, baik dari CPNS menjadi PNS, nanti setelah jadi PNS dia naik jabatan atau diangkat ke tempat lain, mutasi dan sebagainya, itu harus mengucapkan sumpah atau janji," katanya.
"Di dalam sumpah atau janji, itu ya di dalamnya juga lagi-lagi terkait dengan tadi, kesetiaan dan ketaatan kepada Pancasila, UUD 1945, negara dan pemerintahan yang sah. Itu selalu ada, jadi esensinya ada di situ," tambah Supranawa.
Ia membeberkan persyaratan tersebut disinggung pada saat proses harmonisasi pembahasan peraturan KPK.
Baca juga: Prof Romli Sarankan Presiden Tak Ikuti Rekomendasi ORI, BKN Juga Keberatan, BW Sebut Pembangkangan
Ia menyebut awalnya KPK mengusulkan tidak adanya tes, melainkan hanya berupa pernyataan.
"Nah, pada saat proses pembahasan peraturan KPK ini, isu itu muncul, dan sejak awal pembahasan sebenarnya sudah ada yang menyinggung mengenai persyaratan itu. Kalau prosesnya bahkan memang pernah diusulkan oleh KPK, itu nggak usah ada tes, tapi cukup pernyataan," kata dia.
Tetapi, ia menyebut, dalam pertemuan dan diskusi, pembahasan terkait tes ini berkembang.
Sehingga, diputuskan adanya pasal yang mengatur TWK tersebut.
"Tapi, di dalam pertemuan-pertemuan, dalam diskusi, berkembang, apa iya cukup pernyataan? Ini kan bicaranya bukan bicara pengetahuan atau kesetiaan saja, tapi juga melihat perilakunya seperti apa, keseharian dia seperti apa, nilai-nilai yang ada di dalam manusia itu seperti apa, itu kan juga perlu dites. Oleh sebab itu, pada akhirnya disepakati, ada pasal yang mengatur mengenai perlunya tes wawasan kebangsaan tersebut," ujarnya.
Baca juga: Sama Seperti KPK, BKN Juga Keberatan Atas LAHP Ombudsman soal TWK
Supranawa menyebut pihaknya tidak berfokus pada siapa yang mengusulkan, melainkan pada konteks dan substansi yang dibuat serta berdasarkan kesepakatan seluruh peserta rapat harmonisasi.
"Kita sih tidak concern pada siapa yang mengusulkan, tapi lebih concern pada substansinya. Kalau dalam rapat harmonisasi, kan siapa saja boleh bicara. Tapi masalahnya adalah kontennya, substansinya, materi muatannya, yes or no. Nah kalau semua peserta bilang yes, oke, ya sudah, masuk di dalam rumusan," ujarnya.
Supranawa juga membantah temuan Ombudsman RI (ORI) yang menyatakan ada penyisipan materi dalam pelaksanaan TWK.
Menurut dia, dalam penyusunan, pertemuan, ada dinamika dan diskusi yang terjadi.
"Jadi di dalam proses penyusunan peraturan perundang-undangan, itu saya kira nggak ada istilah penyisipan ayat itu. Karena proses penyusunan pengaturan itu pasti banyak dinamikanya, bahkan kalau yang hadir berbeda, pikirannya berbeda, usulannya juga berbeda. Jadi setiap saat pertemuan, bisa saja on-off substansinya. Mungkin substansi yang kemarin nggak masuk, hari ini menjadi masuk, besok menjadi nggak masuk lagi, itu lazim saja di dalam penyusunan peraturan," katanya.