Hasil Penyelidikan Komnas HAM: TWK Diduga Kuat jadi Alat Singkirkan 75 Pegawai KPK Berlabel Taliban
(Komnas HAM) telah merilis hasil penyelidikan dan pemeriksaan atas dugaan pelanggaran HAM yang dilayangkan perwakilan pegawai Komisi Pemberantasan Kor
Penulis: Rizki Sandi Saputra
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Nasional untuk Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah merilis hasil penyelidikan dan pemeriksaan atas dugaan pelanggaran HAM yang dilayangkan perwakilan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Adapun pelanggaran HAM yang dimaksud yakni terkait proses asesmen tes wawasan kebangansaan (TWK) pegawai KPK untuk alih status menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).
Dalam hasil penyelidikan itu, Komnas HAM menyebut proses TWK untuk peralihan pegawai KPK menjadi ASN hingga pelantikan pegawai pada 1 Juni 2021 kemarin, adalah bentuk atau upaya dari KPK untuk menyingkirkan beberapa pegawai KPK.
"Diduga kuat sebagai bentuk penyingkiran terhadap pegawai tertentu dengan backroud tertentu, khususnya mereka yang terstigma atau terlabel Taliban," kata Komisioner Bidang Penindakan dan Penyelidikan Komnas HAM M Choirul Anam, saat jumpa pers secara daring, Senin (16/8/2021).
Kemudian, pelabelan atau stigmatisasi Taliban terhadap pegawai KPK tersebut kata Anam juga tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Tak hanya itu, kata dia, stigmatisasi maupun pelabelan terhadap seseorang merupakan salah satu permasalahan serius dalam konteks pelanggaran HAM.
Baca juga: Komnas HAM akan Sampaikan Hasil Penyelidikan Terkait TWK Pegawai KPK Siang ini
"Penggunanaan stigma dan label Taliban menjadi basis dasar pemutusan hubungan kerja melalui proses alih status pegawai KPK menjadi ASN nyata terjadi," ucapnya.
Lebih jauh, Anam dalam paparannya mengatakan, penyelenggaraan seleksi TWK dalam proses alih status pegawai KPK itu tidak semata-mata melaksanakan perintah Undang-Undang Nomor 19 tahun 2019 yang merupakan revisi dari UU KPK nomor 30 tahun 2002 dan PP Nomor 41 tahun 2020.
Namun kata dia, proses asesmen TWK tersebut memiliki intensi lain, yakni untuk menyingkirkan pegawai KPK tertentu.
"Pelaksanaan undang-undang tersebut digunakan sebagai momentum untuk meneguhkan keberadaan stigma dan label tersebut di dalam internal KPK," imbuh Anam.
Sebagaimana diketahui sebelumnya Komnas HAM telah meminta pendapat kepada sejumlah ahli terkait dengan kasus TWK pegawai KPK.
Para ahli tersebut di antaranya ahli psikologi, ahli hukum administrasi negara, dan ahli hukum tata negara.
Sejumlah pihak juga telah dimintai keterangan oleh Komnas HAM terkait aduan pegawai KPK yang menduga ada pelanggaran HAM dalam proses TWK yang mereka ikuti.
Sejumlah pihak tersebut antara lain pegawai KPK, pimpinan KPK, BKN, dan Dinas Psikologi TNI AD.
Komnas HAM juga sempat mengundang BAIS TNI, BIN, dan BNPT untuk memberikan klarifikasi terkait keterlibatannya dalam proses TWK KPK.
Diketahui, TWK telah menyingkirkan 75 pegawai KPK berintegritas semisal penyidik senior Novel Baswedan, Ketua Wadah Pegawai KPK yang juga penyidik Yudi Purnomo, Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi KPK Giri Suprapdiono dan Kasatgas KPK Harun Al-Rasyid.
Dalam perkembangannya, 24 di antara 75 itu dinyatakan lulus namun harus dibina kembali.
Kini, sebanyak 18 dari 24 itu bersedia mengikuti diklat sedangkan enam sisanya menolak.
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mempersilahkan 24 orang pegawai tersebut untuk mengambil keputusan sesuai prinsip masing-masing.
Dia mengatakan, KPK membebaskan mereka untuk memakai haknya atau tidak guna mengikuti diklat tersebut sebagai syarat untuk diangkat sebagai aparatur sipil negara (ASN).
"Kami mempersilahkan kepada pegawai untuk menggunakan haknya atau tidak karena 24 pegawai yang masih diberi kesempatan untuk mengikuti diklat bela negara adalah hasil perjuangan KPK agar pegawai KPK masih diberi kesempatan untuk menjadi pegawai KPK," katanya.