Komnas HAM: Ada 11 Bentuk Pelanggaran HAM Dalam Proses Alih Status Pegawai KPK
Komnas HAM menyatakan ada 11 bentuk pelanggaran HAM dalam proses alih status pegawai KPK menjadi ASN.
Penulis: Gita Irawan
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komnas HAM menyatakan ada 11 bentuk pelanggaran HAM dalam proses alih status pegawai KPK menjadi ASN.
Komisioner Komnas HAM RI Munafrizal Manan menekankan bahwa bentuk-bentuk pelanggaran HAM tersebut merupakan hal yang sedari awal dipertanyakan kepada Komnas HAM.
Setelah Komnas HAM melakukan pemeriksaan, pendalaman, dan analisis, kata dia, ternyata Komnas HAM menemukan keyakinan bahwa kasus tersebut bukanlah sesuatu yang sepele.
Hal tersebut disampaikannya dalam Laporan Hasil Penyelidikan Komnas HAM RI: Dugaan Pelanggaran HAM Dalam Proses Alih Status Pegawai KPK yang disiarkan secara virtual pada Senin (16/8/2021).
"Karena dari dari perspektif pelanggaran hak asasi manusianya Komnas HAM menemukan ada 11 bentuk pelanggaran hak asasi manusia dalam kasus ini. Baik ditinjau dari sisi kebijakan, ditinjau dari tindakan atau perlakuan, termasuk juga dari ucapan baik dalam bentuk pertanyaan," kata Munafrizal.
Pertama adalah terjadi pelanggaran HAM atas keadilan dan kepastian hukum.
Proses penyelenggaraan TWK oleh KPK yang dimulai penyusunan Perkom nomor 1 tahun 2021 yang berujung pada pemberhentian 51 pegawai yang tidak memenuhi syarat, kata dia, menyebabkan tercerabutnya hak atas keadilan terhadap pegawai tersebut.
Baca juga: Hasil Penyelidikan Komnas HAM: TWK Diduga Kuat jadi Alat Singkirkan 75 Pegawai KPK Berlabel Taliban
"Dan ini sesuatu yang bertentangan dengan pasal 3 ayat 2 Jo pasal 17 Undang-Undang nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia," kata Munafrizal.
Kedua, terjadi pelanggaran hak asasi manusia yang berkaitan dengan hak perempuan.
Fakta yang diperoleh oleh Komnas HAM, kata dia menemukan adanya tindakan atau perbuatan yang merendahkan martabat dan bahkan melecehkan perempuan dalam penyelenggaraan asesmen.
Tindakan tersebut, kata dia, berupa kekerasan verbal yang merupakan pelanggaran atas hak perempuan yang dijamin dalam pasal 49 Undang-Undang tentang HAM dan juga Undang-Undang nomor 7 tahun 84 tentang pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan.
Ketiga, terjadi pelanggaran hak asasi manusia dalam bentuk hak untuk tidak didiskriminasi.
Komnas HAM, kata dia, menemukan fakta ada pertanyaan yang diskriminatif dan bernuansa kebencian dalam proses asesmen TWK.
Tindakan tersebut, kata dia, nyata-nyata melanggar pasal 3 ayat 3 Undang-Undang nomor 39 tahun 99 tentang HAM, pasal 9 Undang-Undang nomor 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Tas dan Etnis, serta pasal 7 Undang-Undang nomor 11 tentang pengesahan Konvensi hak-hak ekonomi sosial dan budaya.
Keempat, terjadi pelanggaran atas hak kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Komnas HAM, kata dia, juga menemukan fakta ada pertanyaan yang mengarah pada kepercayaan, keyakinan, maupun pemahaman terhadap agama tertentu yang sebetulnya tidak memiliki relevansi dengan kualifikasi maupun lingkup pekerjaan pegawai.
Tindakan tersebut, kata dia, jelas-jelas sebagai pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana yang dijamin dalam pasal 29 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 pasal 18 Undang-Undang tentang HAM dan pasal 18 Undang-Undang tentang Pengesahan Hak-Hak Sipil dan Politik.
Kelima, terjadi pelanggaran hak asasi manusia hak atas pekerjaan.
Hal itu, kata dia, terjadi pada penonaktifan atau nonjob terhadap 75 orang pegawai KPK yang tidak memenuhi syarat tanpa alas yang sah seperti pelanggaran kode etik atau adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
"Sehingga pemberhentian ini nyata sebagai pelanggaran hak atas pekerjaan yang juga diatur di Undang-Undang dasar 1945 Pasal 28 ayat 2 kemudian pasal 38 ayat 2 Undang-Undang tentang HAM termasuk juga komentar umum 18 angka 4 Kovenan hak ekonomi sosial dan budaya," kata Munafrizal.
Keenam, terjadi pelanggaran HAM yang berkaitan dengan hak atas rasa aman.
Ia mengatakan profiling lapangan yang dilakukan ilegal dan intimidatif, serta tindakan asesor saat melakukan wawancara juga merupakan salah satu bentuk dilanggarnya hak atas rasa aman tersebut.
"Artinya ini jelas tidak sesuai dengan pasal 30 Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia," kata Munafrizal.
Ketujuh, terjadi pelanggaran hak atas informasi.
Proses penyelenggaraan hingga hasil asesmen TWK yang tidak transparan, tidak terbuka, dan juga tidak informatif soal metode, ukuran, konsekuensi hingga pengumuman hasilnya, kata dia, merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak atas informasi.
Jaminan atas hak tersebut, lanjutnya, tertuang dalam pasal 14 ayat 1 undang-undang tentang hak asasi manusia dan undang-undang nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Kedelapan, adalah pelanggaran hak atas privasi.
Hal tersebut, kata dia, terlihat dari adanya doxing dan hoax atas pribadi pegawai tertentu dalam proses asesmen.
"Padahal ini sudah dijamin di dalam pasal 31 ayat 1 Undang-Undang tentang HAM, Undang-Undang tentang ITE juga menjamin ini," kata dia.
Kesembilan, terjadi pelanggaran hak asasi manusia atas kebebasan berkumpul dan berserikat.
Fakta adanya hasil asesmen TWK yang TMS atau tidak memenuhi syarat banyak menyasar terhadap pegawai yang aktif dalam kegiatan wadah pegawai KPK.
Tindakan tersebut, kata dia, merupakan pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana dijamin dalam pasal 28 UUD 45, pasal 24 ayat 1 Undang-Undang 39 tahun 19; dan komentar umum 18 angka 12 Kovenan hak ekonomi sosial dan budaya.
Kesepuluh, terjadi pelanggaran HAM mengenai hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan.
Hasil asesmen yang dilakukan terhadap pegawai KPK, kata dia, telah menghalangi pegawai KPK untuk berpartisipasi dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.
"Ini merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM yang dijamin dalam pasal 44 Undang-Undang nomor 39 tahun 1999," kata Munafrizal.
Kesebelas, terjadi pelanggaran atas hak kebebasan berpendapat.
Ia mengatakan Komnas HAM menemukan fakta bahwa adanya indikator seorang pegawai menjadi tidak memenuhi syarat karena kekritisannya terhadap Pimpinan lembaga maupun pemerintah secara umum.
"Ini sebagai wujud pembatasan terhadap kebebasan berpendapat seseorang yang sebetulnya dijamin dalam pasal 23 ayat 2 Jo pasal 25 undang-undang 39 tahun 99 dan juga pasal 9 Undang-Undang nomor 12 tahun 2005," kata dia.