Tanggapi Keberatan RJ Lino, Jaksa: Pokok Perkara Harus Dibuktikan di Persidangan bukan Lewat Eksepsi
Dalam eksepsinya, jaksa mengatakan, seluruh keberatan yang disampaikan RJ Lino bersama tim kuasa hukumnya adalah tidak tepat.
Penulis: Rizki Sandi Saputra
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (JPU KPK) telah membacakan eksepsi atau tanggapan atas nota keberatan terdakwa Richard Joost Lino alias RJ Lino pada perkara proyek pengadaan unit Quayside Container Crane (QCC).
Pembacaan eksepsi itu dilakukan JPU KPK pada sidang lanjutan yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Senin (23/8/2021).
Dalam eksepsinya, jaksa mengatakan, seluruh keberatan yang disampaikan RJ Lino bersama tim kuasa hukumnya adalah tidak tepat.
Sebab kata jaksa, pernyataan RJ Lino yang menyatakan dirinya tidak terlibat dalam proyek ini bukan untuk disampaikan di eksepsi atau nota keberatan terdakwa.
"Bahwa terhadap hal-hal yang disampaikan oleh Terdakwa dalam eksepsi pribadinya, menurut Penuntut Umum tidak termasuk dalam ruang lingkup eksepsi sebagaimana diatur dalam pasal 156 ayat (1) KUHAP dikarenakan hal tersebut sudah masuk pada pokok perkara yang harus dibuktikan di persidangan," kata Jaksa dalam persidangan.
Tak hanya itu kata Jaksa, terkait dengan pernyataan keberatan terdakwa yang memperoleh relase and discharge, pihak jaksa tidak akan menanggapinya kembali.
Sebab kata Jaksa, jika diterapkan dalam perkara a quo jelas adanya kerugian BUMN karena ada tindakan melawan hukum dari pegawai atau direksi PT Pelindo II (Persero).
Maka kerugian tersebut merupakan kerugian negara sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
"Oleh karena itu, dalih Terdakwa tersebut di atas sudah selayaknya ditolak," tutur jaksa.
Diketahui, pada persidangan sebelumnya, terdakwa sekaligus Mantan Direktur Utama PT Pelindo II Richard Joost Lino alias RJ Lino menyebut proyek pengadaan unit Quayside Container Crane (QCC) adalah satu - satunya proyek di mana dirinya sebagai Dirut terlibat membantu mencari solusi, setelah 9 kali gagal.
Baca juga: RJ Lino Bantah Terlibat Pengadaan Proyek yang Rugikan Negara 1,9 Juta Dolar AS
Namun ia yang kala itu sebagai Dirut membantah terlibat dalam penetapan perusahaan pemenang pengadaan tersebut. Persoalan penetapan pemenang, pengadaan hingga besaran nilai kontrak sepenuhnya jadi tanggung jawab pejabat terkait.
Hal ini dia sampaikan saat membacakan nota eksepsi atau keberatan atas dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU), di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (16/8/2021).
"Proses pengadaan QCC adalah satu-satunya proses yang saya alami sebagai Dirut ikut terlibat mencari solusi setelah 9 kali gagal. Penetapan pemenang, pengadaan, serta besar nilai kontrak sepenuhnya tanggung jawab direktur terkait, sedangkan saya selaku dirut sama sekali tidak terlibat," kata RJ Lino.
RJ Lino menjelaskan proses pembelian dilanjutkan penunjukan langsung untuk pengadaan 3 unit QCC bermula pada Januari 2010.
Saat itu Kepala Biro Pengadaan menyampaikan tembusan nota dinas dari Direktur Teknik tentang penunjukan langsung PT Barata yang gagal.
"Proses pengadaan itu terkait dengan Kepala Biro Pengadaan dan Direktur yang bersangkutan, bukan tugas Direktur Utama," katanya.
Pada 18 Januari RJ Lino memberikan solusi melalui disposisi pada lembar memo atas nota dinas Direktur Operasional Teknik dan Biro Pengadaan.
Solusi yang diberikan RJ Lino yakni agar proses selanjutnya mengundang langsung HDHM China, STMC dari China, dan Doosan dari Korea dalam waktu segera.
Kemudian, pada 12 Maret 2010 RJ Lino mengatakan menerima nota dinas dari Direktur Operasional Teknik terkait pemilihan langsung. Kemudian ia memberikan disposisi. Adapun kata dia, pada lembar memo tak ada disposisi yang menyebut dirinya bisa menunjuk langsung HDHM.
"Kepala Biro pengadaan dan Direktur Teknik punya option untuk melakukan pengadaan ini bisa melalui lelang, pemilihan langsung, atau penunjukan langsing. Jadi peraturan boleh melalukan penunjukan langsung," kata dia.
Pada 19 Maret 2010 terdapat nota dinas dari Direktur Komersial yang mendukung QCC twin lift di Pelabuhan Panjang, Palembang, dan sejumlah daerah lainnya.
Lalu, pada 25 Maret 2010 terdapat nota dinas dari Direktur Optik kepada Dirut perihal tindak lanjut QCC.
"Berdasarkan peraturan UU, kebutuhan operasional, dan pengadaan QCC twin lift dimungkinkan dapat dilakukan penunjukan langsung HDHM," ucap RJ Lino.
Terakhir, ia mengatakan bahwa pada 25 Maret 2010 telah membuat disposisi untuk Direktur Operasional, Teknik, dan Pengadaan berisi persetujuan untuk segera memproses penunjukan HDHM.
RJ Lino kembali menegaskan bahwa dirinya selaku Dirut hanya dilibatkan untuk mencari solusi. Setelah itu, sepenuhnya menjadi tugas direktur terkait.
"Bahwa saya selaku Dirut dilibatkan untuk cari solusi, setelah itu tugas sepenuhnya direktur terkait. Prosedur langsung selanjutnya tugas dan penanganan direktur terkait dan Biro Pengadaan," tegas dia.
Sebagai informasi, RJ Lino didakwa telah mengintervensi proses pengadaan 3 unit QCC dengan menunjuk langsung Perusahaan Wuxi Hua Dong Heavy Machinery Science and Technology Group Co. Ltd. (HDHM) dari Tiongkok sebagai perusahaan pelaksana proyek.
Jaksa Penuntut Umum menyatakan atas perbuatannya ini, membuat negara merugi 1,9 juta dolar AS.
Perbuatan RJ Lino, dianggap tidak sesuai Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-05/MBU/2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa BUMN dan Surat Keputusan Direksi Nomor HK.56/5/10/PI.II-09 Tanggal 9 September 2009 tentang Ketentuan Pokok dan Tatacara Pengadaan Barang/Jasa di Lingkungan PT Pelindo II.
Atas perkara ini, RJ Lino didakwa melanggar Pasal 2 Ayat (1) dan/atau Pasal 3 Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.