Komnas HAM Ungkap Penyandang Disabilitas Mental Alami Penyiksaan di Panti Sosial
Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengungkapkan praktik-praktik kekerasan yang kerap dialami para penyandang disabilitas mental di panti sosial.
Penulis: Fahdi Fahlevi
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengungkapkan praktik-praktik kekerasan yang kerap dialami para penyandang disabilitas mental di panti sosial.
Menurutnya, para penyandang disabilitas kerap mendapatkan perlakuan tidak manusiawi saat berada di panti sosial.
"Praktik-praktik yang tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia, yang itu seringkali terjadi juga di dalam panti-panti sosial, terutama panti yang didalamnya ada penyandang disabilitas mental," ujar Ahmad dalam webinar 'Penyandang Disabilitas Mental di Panti-Panti Sosial Berhak Merdeka', Jumat (27/8/2021).
Menurut Ahmad, awalnya penanganan para penyandang disabilitas mental didasari oleh tujuan yang baik untuk menyelamatkan orang.
Namun tanpa disadari atau disadari justru menjadi perbuatan yang merendahkan bahkan bermuatan kekerasan terhadap para penyandang disabilitas mental.
"Kemudian terjadi praktik-praktik perendahan martabat, penyiksaan. Bahkan ada praktik praktik kekerasan seksual yang dialami penyandang disabilitas itu," tutur Ahmad.
Ahmad menegaskan perbuatan merendahkan para penyandang disabilitas mental ini merupakan bentuk pelanggaran HAM.
Indonesia, kata Ahmad sebenarnya telah meratifikasi the United Nations Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (UNCAT) melalui UU No. 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia.
Baca juga: Komnas HAM Sebut Saat Pemilu 2019 Sosialisasi Bagi Penyandang Disabilitas Tak Maksimal
Namun, Ahmad mengatakan Indonesia belum meratifikasi Optional Protocol dari CAT (OPCAT).
Padahal, menurut Ahmad, ada dua pilar penting yang terkait dengan perlindungan para penyandang disabilitas mental dari kekerasan pada OPCAT.
"Salah satu pilarnya tentang bagaimana Subcommittee Anti Torcher dari UN bisa melakukan supervisi atau observasi ke negara-negara yang meratifikasi," ungkap Ahmad.
Sementara pilar yang kedua, adalah kesediaan masing-masing negara untuk membangun sebuah sistem, sebuah mekanisme penghapusan kekerasan perlakuan atau penghukuman yang tidak manusiawi.