Pimpinan KPK Disebut Tak Satu Suara Soal TWK, Istilah Seleksi Muncul di Detik-detik Akhir
Lima pimpinan KPK disebut tak satu suara terkait kesimpulan tes wawasan kebangsaan (TWK).
Editor: Adi Suhendi
Situasi yang akrobatik itu, kata dia, sangat penting bagi proses penyidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM.
Sebab, peristiwa saat pertemuan dan kengototan asesor itulah yang menjadi awal mula pelaksanaan TWK diselenggarakan.
Artinya, ada tekanan kuat dari asesor untuk menyelenggarakan seleksi melalui asesmen Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) pegawai KPK.
"Jadi ini juga sesuatu yang penting dalam konteks isu alih status itu. Jadi ada momentum di mana kata "alih status" itu menjadi "seleksi". Dan ini akrobatik dalam prosesnya," ujarnya.
Label Taliban
Dalam diskusi yang sama, Choirul Anam juga menyinggung soal pelabelan taliban terhadap pegawai dan penyidik KPK.
Menurutnya, pelabelan itu memang menyasar pegawai dan penyidik yang ingin bekerja secara profesional dan menjunjung tinggi etika sebagai penyidik lembaga anti rasuah.
Kesimpulan itu dia dapatkan setelah menelusuri aduan pegawai KPK yang dinyatakan tak lulus dalam TWK.
Adapun telusurannya didapat dari hasil pemeriksaan, penyelidilan, analisis dan melakukan klarifikasi kepada pihak-pihak terkait dan penyusunan kronologi laporan.
Awalnya, publik mengira isu taliban di KPK dikaitkan dengan agama dan latar belakang pegawai atau penyidik tertentu di KPK.
Tetapi, setelah Komnas HAM menelusuri lebih jauh ternyata tidak demikian.
Baca juga: Komisi Informasi Pusat Gelar Sidang Bahas TWK Pegawai KPK 13 September
Penelusuran itu dilakukan dengan meminta penjelasan para pelapor, melihat latar belakang para pelapor, meminta keterangan pegawai yang memenuhi syarat (MS), melihat hubungan kerja mereka dengan atasan diketahui bahwa label taliban terhadap pegawai dan penyidik KPK memang hanya menyasar orang tertentu.
"Ternyata 75 orang (tak lulus TWK) ini tidak semuanya Islam tapi lebih dari itu setelah kami telusuri memang stigma atau label ini, itu ditujukan kepada orang-orang yang ingin bekerja secara profesional. Yang kepengin bekerja secara (mengikuti) kode etik internal (KPK) mereka," katanya.
Pelabelan taliban itu juga bersamaan dengan menguatnya segregasi sosial masyarakat akibat meningginya isu SARA di masyarakat.
Isu di masyarakat itu kemudian dimanfaatkan untuk memberi cap dan kesan negatif kepada pegawai dan penyidik KPK yang dia sebut ingin bekerja secara profesional itu.
"Jadi isu-isu keagamaan ini hanya dipakai saja sebagai satu wajah, stigma yang memang dalam kehidupan nyata kita itu sedang naik. Jadi, menemukan momennya di situ. Itu yang dipakai," katanya.