Soal Perpanjangan Masa Jabatan Presiden, Kamhar Ingatkan Jokowi Tak Jadi 'Malin Kundang' Reformasi
Dalam politik segala dinamika yang mewujud bukanlah suatu kebetulan semata, melainkan manifestasi dari tindakan bertujuan.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dalam politik segala dinamika yang mewujud bukanlah suatu kebetulan semata, melainkan manifestasi dari tindakan bertujuan.
Segala sesuatunya by design, tidak tiba-tiba.
Termasuk wacana presiden tiga periode atau wacana penambahan masa jabatan presiden dan DPR.
Demikian dikemukakan Deputi Bappilu DPP Partai Demokrat, Kamhar Lakumani kepada pers di Jakarta, Kamis (2/9/2021).
"Apalagi wacana ini sudah berulang-ulang kali dipresentasikan oleh aktor-aktor yang sama yang terafiliasi dengan penguasa," kata Kamhar.
Kamhar mengatakan wacana ini kembali mengemuka pasca pertemuan Ketua-ketua umum Parpol koalisi dengan Presiden Jokowi beberapa waktu yang lalu yang kini terus diamplifikasi kelompok relawan Jokowi.
"Ini semakin menguatkan dugaan tukar guling kepentingan politik," ujarnya.
Baca juga: Waketum Demokrat Singgung Soal Pemerintahan 3 Periode, Ingatkan Covid-19 Jangan jadi Alasan
Menurut Kamhar, informasi yang beredar telah terjadi lobi-lobi dan kesepahaman untuk menambah masa jabatan Presiden dan Anggota DPR sampai 2027.
"Artinya ada penambahan masa jabatan selama 3 tahun, dari 5 tahun menjadi 8 tahun pada periode kedua. Jelas ini pengangkangan amanah reformasi dan inkonstitusional," ujarnya.
Dikatakan bahwa pembatasan masa jabatan Presiden hanya dua periode dan per periodenya selama 5 tahun telah diatur dalam amandemen UUD ‘45 sebagai amanah reformasi untuk memastikan sirkulasi dan pergantian kepemimpinan nasional dapat berjalan tanpa sumbatan dan menghindarkan pada jebakan kekuasaan.
"Masa jabatan yang terlalu lama akan membawa pada kekuasaan absolut," katanya.
Menurut Kamhar, bahaya dari ini telah diingatkan Lord Acton “power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely” bahwa kekuasaan cenderung korup, kekuasaan mutlak benar-benar merusak.
"Amandemen pembatasan masa jabatan di awal reformasi sebagai respon agar pengalaman Orde Lama dan Orde Baru tak kembali terulang dalam perjalanan sejarah bangsa ini," katanya.
"Keduanya terjebak pada jebakan kekuasaan yang ingin terus menerus berkuasa seumur hidup," kata Kamhar menambahkan.
Karenanya Partai Demokrat, kata Kamhar, berpandangan tak ada urgensi untuk melakukan amandemen UUD ‘45, apalagi patut diduga wacana PPHN hanya sekedar kamuflase karena penumpang utamanya adalah menggolkan kepentingan perubahan batas masa jabatan presiden dan DPR.
"Lagipula tak ada alasan objektif sebagai pertimbangan strategis yang menjadi capaian prestasi luar biasa pemerintah saat ini, baik itu di bidang ekonomi, politik maupun hukum sebagai dispensasi," tegasnya.
Biasa saja, lanjut Kamhar, malah dibidang politik dan hukum ada beberapa indikator yang mengalami penurunan.
"Indeks pembangunan demokrasi Indonesia secara global terus merosot. Krisis ekonomi dan krisis kesehatan juga belum teratasi. Utang semakin menggunung lebih dari 6.500 trililun rupiah atau tertinggi sepanjang sejarah," kata Kamhar.
"Jadi sama sekali tak ada alasan objektif yang bisa diterima oleh akal sehat untuk memperpanjang masa jabatan," ujarnya.
Menurutnya, lebih masuk akal jika wacananya untuk kepentingan perbaikan, apabila yang sekarang diberi amanah dipandang kurang cakap atau kurang kompeten justru diganti bukan malah diperpanjang masa penugasannya.
"Publik membaca ada kepentingan terselubung dari oligarki penguasa untuk perpanjangan masa jabatan ini, antara lain untuk memuluskan proyek pemindahan Ibu Kota Negara ke Kalimantan Timur dan proyek-proyek ikutannya termasuk tukar guling aset-aset strategis milik negara di Jakarta jika agenda pemidahan IKN telah berjalan," katanya.
Dari dinamika yang berkembang, Kamhar mengatakan akhirnya publik dengan mudah bisa membaca bahwa skenario ini dijalankan secara serius oleh pemerintah.
"Di panggung depan pemerintah selalu menyampaikan tak ada kepentingan mendorong amandemen konstitusi untuk perpanjangan masa jabatan atau penambahan periodesasi," katanya.
"Namun di belakang panggung sangat aktif mengkonsolidasikan dan mendorong agenda ini melalui Parpol koalisi. Termasuk kelompok relawan yang mendapatkan mainan baru," ujar Kamhar menambahkan.
Pihaknya mengingatkan agar Jokowi tak menjadi “Malin Kundang Reformasi”. Reformasilah yang telah melahirkannya hingga kemudian bisa menjadi Walikota, Gubernur dan kini Presiden.
Dia berharap janganlah amanah dan agenda reformasi dikhianati, karena bisa saja berakibat pada “kutukan demokrasi”.
"Wacana seperti ini pernah mengemuka pada periode kedua masa jabatan Presiden SBY, namun beliau segera meredam dan mampu menghindarkan diri dari jebakan kekuasaan ini," katanya.
Kamhar mengatakan kekuasaan itu cenderung menggoda.
"Karenanya dibutuhkan kearifan dan kebijaksanaan dalam menempatkan dan menjalankan kekuasaan agar terhindar dari jebakan kekuasaan untuk terus menerus melanggengkan kekuasaan dan tanpa batas," ujar dia.