Eks Komisioner Kompolnas Soroti Polemik Seni Mural-Poster dengan Polri
Mural, grafiti, poster, baliho dan spanduk dapat dikategorikan sebagai media luar ruang yang dapat digunakan sebagai sarana mengekspresikan sesuatu.
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Vincentius Jyestha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Komisioner Komisi Polisi Nasional (Kompolnas) 2016-2020 Andrea H Poelongan menyoroti polemik yang terjadi beberapa waktu belakangan terkait seni mural hingga poster yang ditindak kepolisian.
Padahal menurutnya mural, grafiti, poster, baliho dan spanduk dapat dikategorikan sebagai media luar ruang yang dapat digunakan sebagai sarana mengekspresikan sesuatu.
Media ini juga erat dengan sarana seni ataupun promosi.
"Seni pun juga menjadi salah satu sarana pengungkapan ekspresi dan penyampaian aspirasi," kata Andrea, dalam keterangannya, Senin (20/9/2021).
Menurut Andrea, penata-kelolaan media luar ruang ini biasanya diatur dalam Peraturan Daerah dan/atau Peraturan Kepala Daerah.
Baca juga: Kilas Balik: 4 Mural yang Viral Sebelum Akhirnya Jokowi Perintahkan agar Polisi Tidak Berlebihan
Peraturan-peraturan tersebut dimaksud agar media luar ruang tidak menjadi 'sampah mata' yang bertebaran serampangan sehingga merusak keindahan wilayah.
Baca juga: Tegur Kapolri Soal Mural, Jokowi Akui Sudah Biasa Dihina dan Ingin Polri Tidak Menindak Berlebihan
Selain itu dalam konteks komersial, lanjut Andrea, penataan dimaksud digunakan untuk peningkatan pendapatan daerah melalui pengaturan retribusi.
Baca juga: Pendiri Drone Emprit Ingatkan Pemerintah Soal Tren Percakapan Di Medsos Tentang Penghapusan Mural
Namun sikap Polri saat menangani mural 404: Not Found di Batuceper dan poster 'Pak Jokowi, bantu peternak beli jagung dengan harga wajar, telur murah' menjadi sorotan publik.
Bahkan sikap Polri yang berlebihan juga mendapat teguran dari Presiden Joko Widodo. Dalam kasus poster, Jokowi menyampaikan bahwa redaksi di dalamnya biasa saja. Jokowi sendiri mengaku menegur Kapolri untuk tidak berlebihan.
"Sedangkan terhadap kasus mural Presidenpun tidak berkenan dengan tindakan yang dilakukan oleh Polri," ujarnya.
"Hal ini disampaikan oleh Kabareskrim bahwa 'Bapak Presiden tidak berkenan bila kita responsif rerhadap hal-hal seperti itu. Demikian juga Bapak Kapolri selalu mengingatkan kita dan jajaran, terutama dalam penerapan UU ITE'. Jadi mritis terhadap pemerintah saya rasa nggak ada persoalan."
"Namun kalau fitnah, memecah belah persatuan dan kesatuan, intoleran ya pasti harus ditangani, apalagi menyerang secara individu memang mensyaratkan korbannya yang harus melapor," terang Andrea.
Andrea lantas menyebut beberapa pakar turut menyampaikan tidak persetujuannya.
Seperti pakar hukum pidana Azmy Syahputra yang menegaskan bahwa pelanggaran itu bersifat delik aduan, sehingga sepanjang tidak ada laporan maka polisi belum dapat menindaklanjuti.
"Muatan moral dalam hukum ini penting dan mendasar, karena semestinya kehidupan berbangsa dan bernegara ini juga syarat muatan moral dan keadilan masyarakat. Karena makna hukum juga akan hilang jika makna sosiologi atas fungsi hukum hilang, yang berakibat akan timbul persoalan atau gesekan dalam masyarakat," katanya.
Di sisi lain, Kapolri saat ini merencanakan perlombaan mural dan telah dibenarkan oleh Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Rusdi Hartono. Namun untuk waktu pelaksanaannya masih dibahas lebih lanjut.
Andrea mengatakan respon 'restorative' dari Kapolri ini perlu didukung dalam rangka pemulihan kesalingterhubungan Polri-masyarakat. Akan tetapi Pemerintah Daerah melalui Satpol PP diharapkannya tidak boleh lengah, agar tidak terjadi 'sampah mata' akibat lokasi mural liar di wilayahnya.
Hanya saja dia menyoroti bahwa Polri memerlukan desain agar seluruh jajarannya mempunyai paradigma dan sikap yang responsive atau akuntabel dan berintegritas, bukan reaktif.
"Untuk itulah, oknum-oknum Polri yang terlibat urusan mural dan poster sebagaimana di atas, sudah patut ditindak berdasarkan peraturan disiplin internal. Hal ini karena Presiden RI telah menegur Kapolri sebagai akibat ketidak-patutan tindakan oknum-oknum anggota/pejabatnya di lapangan," jelasnya.
"Sesungguhnya ekspresi dalam mural dan poster itu hanyalah bagian puncak dari fenomena Gunung Es. Sehingga, akar permasalahannya yang perlu dipindai, analisa, dan ditanggapi dengan tepat, sebagai bagian dari permasalahan kehidupan berbangsa dan bernegara. Kebebasan yang hakiki adalah kebebasan yang menjaga kesalingterhubungan dengan berempati, bukan menyakiti," pungkas Andrea.