Aturan Pengibaran Bendera Setengah Tiang dan Sejarah Gerakan 30 September 1965 (G30S)
Berikut aturan pengibaran bendera setengah tiang hingga pemberontakan 30 September 1965 (G30S)
Penulis: Katarina Retri Yudita
Editor: Wahyu Gilang Putranto
TRIBUNNEWS.COM - Berikut aturan pengibaran bendera setengah tiang di Indonesia.
Pengibran bendera setengah tiang biasa dilakukan dalam masa berkabung.
Sementara setiap tanggal 30 September, pengibaran bendera setengah tiang juga kerap dilakukan untuk peringatan peristiwa Gerakan 30 September 1965.
Hal ini bertujuan sebagai bentuk penghormatan kepada para pahlawan revolusi yang gugur pada peristiwa tersebut.
Lalu, bagaimana aturan pengibaran bendera setengah tiang?
Baca juga: Monumen Pancasila Sakti Lubang Buaya, Saksi Bisu Eksekusi Keji G30S yang Simpan Sejarah Kelam
Aturan pengibaran bendera setengah tiang termuat dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.
Dalam Pasal 12 ayat (4) dijelaskan bahwa Bendera Negara digunakan sebagai tanda berkabung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b apabila Presiden atau Wakil Presiden, mantan Presiden atau mantan Wakil Presiden, pimpinan atau anggota lembaga negara, menteri atau pejabat setingkat menteri, kepala daerah, dan/atau pimpinan dewan perwakilan rakyat daerah meninggal dunia.
Kemudian lebih dijelaskan pada Pasal 12 ayat (7):
"Apabila pimpinan lembaga negara dan menteri atau pejabat setingkat menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meninggal dunia, pengibaran Bendera Negara setengah tiang dilakukan selama dua hari berturut-turut terbatas pada gedung atau kantor pejabat negara yang bersangkutan."
Pasal 14 ayat (2) lebih lanjut menjelaskan mengenai pengibaran bendera setengah tiang.
"Bendera Negara yang dikibarkan setengah tiang, dinaikkan hingga ke ujung tiang, dihentikan sebentar dan diturunkan tepat setengah tiang."
Sementara itu, pada Pasal 14 ayat (3) dijelaskan mengenai aturan menurunkan bendera.
Isi pasal tersebut berbunyi,
"Dalam hal Bendera Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hendak diturunkan, dinaikkan terlebih dahulu hingga ujung tiang, dihentikan sebentar, kemudian diturunkan."

Sejarah G30S
Dikutip dari kemdikbud.go.id, Peristiwa Gerakan 30 September 1965 merupakan tragedi nasional yang diduga dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI).
Gerakan ini dan menimbulkan korban dikalangan petinggi militer.
Latar belakang dari peristiwa ini adalah adanya persaingan politik.
Hal ini dikarenakan PKI yang menjadi kekuatan politik merasa khawatir dengan kondsi kesehatan Presiden Soekarno yang memburuk.
Beberapa kebijakan yang diusulkan PKI diterima dan diterapkan, di antaranya:
- Mempersenjatakan Angkatan V (Buruh Tani) untuk menghadapi konfrontasi dengan Malaysia;
-Pembubaran Masyumi karena dianggap bertanggung jawab atas peristiwa PRRI/Persemesta.
Pada awal Agustus 1965, Presiden Soekarno tiba-tiba pingsan setelah berpidato.
Kejadian tersebut membuat banyak pihak beranggapan bahwa usia beliau tidak akan lama lagi.
Peristiwa gerakan 30 September 1965, pada dasarnya berlangsung selama dua hari.
Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 30 September saat kegiatan koordinasi dan persiapan, serta tanggal 1 Oktober 1965 dini hari saat kegiatan pelaksanaan penculikkan dan pembunuhan.
Kronologi pemberontakan:
1. Gerakan 30 September 1965 dikendalikan oleh Letkol. Untung dari Komando Balation I resimen Cakrabirawa.
2. Lettu Dul Arief ditunjuk menjadi ketua pelaksanaan penculikkan oleh Letkol Untung.
3. Pasukan bergerak mulai pukul 03.00, enam Jendral dan satu perwira menjadi korban penculikkan dan pembunuhan.
Enam jenderal dan satu perwira tersebut di antaranya:
- Letjen. Ahmad Yani;
- Mayjen. R. Soeprapto;
- Mayjen. Harjono;
- Mayjen. S. Parman;
- Brigjen D.I. Panjaitan;
- Brigjen Sutoyo;
- Lettu Pierre Tandean.
Para jenderal tersebut dimasukkan ke dalam lubang di kawasan Pondok Gede, Jakarta.
4. Satu Jenderal selamat dalam penculikkan ini yakni Jendral A.H. Nasution, tetapi putrinya menjadi korban yakni Ade Irma Suryani serta ajudannya Lettu. Pierre Tandean.
5. Korban lain ialah, Brigadir Polisi K.S. Tubun wafat ketika mengawal rumah Dr. J. Leimana.
6. Gerakan ini menyebar juga di Jawa Tengah dan D.I Yogyakarta, Kolonel Katamso dan Letkol. Sugiono menjadi korban.
Hal ini dikarenakan mereka tidak mendukung gerakan ini.
7. Setelah berhasil menculik dan membunuh petinggi AD, PKI menguasai gedung Radio Republik Indonesia.
PKI lalu mengumumkan sebuah Dekrit yang diberi nama Dekrit no.1, yakni pernyataan bahwa gerakan G30S adalah upaya penyelamatan negara dari Dewan Jendral yang ingin mengambil alih negara.
Penumpasan pemberontakan
Gerakan 30 September 1965 menyebabkan kebingungan terhadap masyarakat Indonesia, khususnya Jakarta.
Mereka mempertanyakan keberadaan para petinggi Angkatan Darat tersebut.
Masyarakat juga mempertanyakan pihak yang mengaku dirinya Dewan Revolusi yang menyiarkan berita mengenai Dekrit no.1.
Pemerintah kemudian merespon kebingungan masyarakat pada saat itu.
Setelah menerima laporan serta membuat perkiraan, Mayjen Soeharto sebagai Panglima Kostrad (Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat) mengambil kesimpulan bahwa para perwira tinggi itu telah diculik dan dibunuh.
Berdasarkan kesimpulan tersebut, Mayjen Soeharto langsung mengambil alih pimpinan Angkatan Darat guna menindak-lanjuti persitiwa yang terjadi di tanggal 30 September tersebut.
Langkah penumpasan dimulai pada tanggal 1 Oktober 1965, TNI berusaha menetralisasi pasukan-pasukan yang menduduki Lapangan Merdeka.
Selanjutnya, Mayjen Soeharto menugaskan Kolonel Sarwo Edhi Wibowo untuk merebut kembali gedung RRI dan Pusat Telekomunikasi.
Tugas tersebut selesai dalam waktu singkat dan tanpa pertumpahan darah.
Dengan dikuasainya RRI dan Telekomunikasi, pada jam 20.00 WIB Soeharto mengumumkan bahwa telah terjadi perebutan kekuasaan oleh gerakan 30 September.
Soeharto juga mengumumkan bahwa Presiden Soekarno dan Menko Hankam/KASAB Jenderal A.H. Nasution dalam keadaan selamat.
Pada tanggal 2 Oktober 1965, operasi penumpasan berlanjut ke kawasan Halim Perdanakusuma, tempat pasukan G30S mengundurkan diri dari kawasan Monas Kawasan.
Pada tanggal yang sama, atas petunjuk Polisi Sukitman yang berhasil lolos dari penculikan PKI, pasukan pemerintah menemukan lokasi Jenazah para perwira.
Lokasi jenazah tersebut berada di lubang sumur tua yang di atasnya ditanami pohon pisang di kawasan yang dekat juga dengan Halim yakni Lubang Buaya, Jakarta Timur.
Pada tanggal 4 Oktober, dilakukan pengangkatan jenazah tersebut.
Kemudian pada keesokan harinya atau 5 Oktober, jenazah dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta.
Para perwira yang gugur akibat pemberontakan ini diberi penghargaan sebagai Pahlawan Revolusi.
Upaya penumpasan terus dilakukan dan rakyat Indonesia turut membantu serta mendukung penumpasan tersebut.
Demonstrasi anti-PKI berlangsung di Jakarta.
Operasi penumpasan berlanjut dengan menangkap orang-orang yang dianggap bertanggung jawab pada peristiwa itu.
Pada tanggal 9 Oktober 1965, Kolonel A. Latief berhasil ditangkap di Jakarta.
Pada 11 Oktober 1965, Letkol Untung yang menjadi pemimpin dewan revolusi berhasil ditangkap di Tegal.
Saat itu, Letkol Untung ingin melarikan diri ke Jawa Tengah.
Kemudian pada tanggal 22 November 1965, para petinggi PKI seperti D.N Aidit, Sudisman, Sjam dll juga ditangkap oleh TNI.
Pada tanggal 14 Februari 1966, beberapa tokoh PKI dibawa ke hadapan Sidang Mahkamah Luar Biasa (Mahmilub).
Rakyat mendesak untuk menuntut PKI dibubarkan.
Puncaknya pada saat Presiden Soekarno mengeluarkan Surat Perintah 11 Maret 1966, Soeharto langsung mengeluarkan larangan terhadap PKI dan ormas-ormas di bawahnya.
(Tribunnews.com/Katarina Retri)