Acara Kesenian Alihkan Perhatian Warga Lubang Buaya Saat Malam G30S PKI
Saksi sejarah G30S/PKI, Yasin (71) mengungkap ada upaya mengalihkan perhatian warga sekitar pada malam pembantaian tujuh jenderal.
Penulis: Reynas Abdila
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Saksi sejarah G30S/PKI, Yasin (71) mengungkap ada upaya mengalihkan perhatian warga sekitar pada malam pembantaian tujuh jenderal.
Ia menyebut malam itu, PKI menggelar pesta kesenian reog ponorogo, pentas lawak, hingga layar tancap.
"Seingat saya banyak warga yang menyaksikan reog ponorogo," kata Yasin kepada Tribun Network, Kamis (30/9/2021).
Kala itu, sejumlah truk hingga bus hilir mudik melintas masuk ke arah tempat yang sekarang menjadi Monumen Pancasila Sakti.
Menurut dia, tidak ada satupun warga yang menaruh curiga karena sudah kalut dalam acara kesenian.
"Rumah saat itu sangat jarang dan kebanyakan masih pohon karet sehingga warga tidak mengetahui pasti apa yang terjadi," ujarnya.
Baca juga: Saksi Sejarah Ungkap Tragedi G30S PKI Menyisakan Trauma
Sampai akhirnya terbongkar penemuan mayat 7 jenderal di dalam sebuah sumur.
"Setelah ditemukan baru sadar kalau pas waktu saya sama warga di sini nonton layar tancap dan reog," ucapnya.
Yasin baru tersadar bahwa tronton yang melintas kemungkinan membawa mayat dan para pahlawan.
"Soalnya ramai tuh tentara pakaian lengkap dan bawa senjata," ungkap dia.
Baca juga: Gatot Sebut TNI Disusupi PKI, Lodewijk: Apa Indikatornya?
Ia berpesan kepada generasi penerus bangsa agar tidak mudah terhasut kelompok tertentu.
Yasin berpandangan karena zaman dulu banyak orang yang mudah termakan iming-iming sehingga PKI menjadi partai besar.
"Jangan sampai tertipu karena misalnya ditawari duit. Kita jangan terburu-buru soal itu. Harus melihat ujungnya seperti apa, kita tidak ingin peristiwa PKI terulang," katanya.
Trauma
Yasin pun menceritakan rasa trauma yang kini dialami warga Lubang Buaya, Jakarta Timur.
Saat peristiwa, Yasin masih duduk di kelas 3 Sekolah Dasar.
Penggerebekan yang dilakukan prajurit PKI ke perkampungan membuat warga ketakutan.
"Penggerebekan besar-besaran membuat trauma warga sekitar," kata Yasin mengisahkan pengalamannya kepada Tribun Network, Kamis (30/9/2021).
Yasin menuturkan pada zamannya warga kampung tidak paham apa yang sebenarnya terjadi.
Menurut dia, sulit membedakan mana PKI dan mana Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD).
"Orang kampung di sini ibaratnya bodoh dan tidak mengerti persoalan begitu," ucap Yasin yang dulunya berprofesi penjual papan penggilasan.
Baca juga: Satpol PP Sawah Besar Tertibkan Sejumlah Spanduk Tolak Nobar Film G30S/PKI
Ia tidak menampik banyak warga yang dihasut untuk menjadi anggota PKI.
Namun, menurutnya, tidak ada satupun warga yang menyiyakan ajakan itu.
"Yang dicari apa saya juga tidak tahu. Orang kampung saat itu sangat takut. Kondisi ekonomi juga sulit berbeda dengan sekarang," ujarnya.
Yasin menjelaskan sebelum peristiwa 30 September 1965, PKI menggelar beberapa persiapan yaitu melatih Pemuda Rakyat dan Gerwani.
Sepengetahuannya, pemuda yang bergabung pelatihan bukan warga Lubang Buaya.
Baca juga: Gatot Sebut TNI Disusupi PKI, Lodewijk: Apa Indikatornya?
"Mereka orang mana kita juga tidak mengetahui. Orang kita (Lubang Buaya) justru ketakutan," kata Yasin.
Peristiwa Gerakan 30 September alias G30S merupakan peristiwa sejarah kelam yang pernah dialami bangsa Indonesia.
Peristiwa itu adalah tragedi penculikan dan pembunuhan enam jenderal dan satu kapten yang dilakukan oleh kelompok yang menamakan diri Gerakan 30 September.
Para jenderal tersebut difitnah telah melakukan makar terhadap Presiden Soekarno dan menggabungkan diri sebagai Dewan Jenderal.
Baca juga: Letjen Dudung: Kelompok Ekstrem Kanan Juga Harus Diwaspadai, Bukan Cuma Soal Isu PKI
Jenazah mereka ditemukan di dalam sumur di daerah Lubang Buaya, Jakarta Timur, pada tanggal 4 Oktober 1965.
Tragedi nasional itu mengawali serentetan peristiwa besar di Indonesia, termasuk tumbangnya pemerintahan orde lama yang dipimpin oleh Ir Soekarno.
Kemudian, Presiden Soeharto selaku pemerintah pada masa orde baru, memerintahkan pembangunan Monumen Pancasila Sakti untuk memperingati peristiwa G30S yang tidak dapat memecah kesaktian Pancasila.
Monumen tersebut mulai dikerjakan pada pertengahan Agustus 1967 dan diresmikan Presiden Soeharto pada 1 Oktober 1973, bertepatan dengan Hari Kesaktian Pancasila.
Perlu diketahui, kawasan Monumen tersebut dibangun dekat dengan tempat eksekusi korban G30S, yaitu sumur tua di Lubang Buaya.