Sejarah Peringatan Hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober dan Amanat Presiden Soekarno kepada Soeharto
Berikut sejarah peringatan hari kesaktian Pancasila 1 Oktober dan amanat Presiden Soekarno kepaad Soeharto.
Penulis: Katarina Retri Yudita
Editor: Garudea Prabawati
TRIBUNNEWS.COM - Berikut sejarah peringatan Hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober dan amanat Presiden Soekarno kepada Soeharto.
Hari Kesaktian Pancasila diperingati setiap tanggal 1 Oktober.
Hari Kesaktian Pancasila berbeda dengan Hari Lahirnya Pancasila.
Hari Lahir Pancasila, diperingati setiap tanggal 1 Juni yang merupakan peringatan cikal bakal Pancasila dijadikan lambang negara.
Baca juga: Sejarah Hari Kesaktian Pancasila, Dilatarbelakangi oleh Peristiwa Pemberontakan G30S 1965
Tanggal 1 Juni 1945, pidato dari Ir. Soekarno dalam sidang Dokuritsu Junbi Coosakai (BPUPKI) berjudul Lahirnya Pancasila.
Pidato ini pada awalnya disampaikan oleh Ir. Soekarno secara aklamasi tanpa judul.
Mantan Ketua BPUPKI, Dr. Radjiman Wedyodiningrat memberi sebutan “Lahirnya Pancasila”.
Hal tersebut ada di dalam kata pengantar buku yang berisi pidato yang kemudian dibukukan oleh BPUPKI.
Sejak tahun 2017, tanggal 1 Juni resmi menjadi hari libur nasional.
Sementara itu, Hari Kesaktian Pancasila diperingati setiap tanggal 1 Oktober dan berkaitan dengan peristiwa G30S/PKI yang terjadi pada tanggal 30 September 1965.
Berikut sejarah singkat peringatan Hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober dan kutipan amanat Presiden Soekarno kepada Soeharto, dikutip dari lpmpriau.kemdikbud.go.id:
Korban penculikan 1 Oktober 1965
Pada 1 Oktober 1965 dini hari, telah terjadi penculikan dan pembunuhan terhadap enam jenderal senior dan beberapa orang lainnya dalam upaya kudeta yang disalahkan kepada para pengawal istana (Cakrabirawa) yang dianggap loyal kepada PKI.
Mereka yang menjadi korban itu adalah enam pejabat tinggi Angkatan Darat, di antaranya:
1. Letjen TNI Ahmad Yani (Menteri/Panglima Angkatan Darat/Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi);
2. Mayjen TNI Raden Suprapto (Deputi II Menteri/Panglima AD bidang Administrasi);
3. Mayjen TNI Mas Tirtodarmo Haryono (Deputi III Menteri/Panglima AD bidang Perencanaan dan Pembinaan);
4. Mayjen TNI Siswondo Parman (Asisten I Menteri/Panglima AD bidang Intelijen);
5. Brigjen Donald Isaac Panjaitan (Asisten IV Menteri/Panglima AD bidang Logistik);
6. Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat).
Baca juga: Asyik! Di Surabaya Hadir Dealer Motor Italia Terbaru dan Terlengkap! Simak 5 Faktanya
Para korban tersebut lalu dibuang ke suatu lokasi di Pondok Gede, Jakarta yang dikenal sebagai Lubang Buaya.
Jenazah mereka ditemukan pada 3 Oktober.
Selain itu beberapa orang lainnya yang juga turut menjadi korban :
1. Bripka Karel Satsuit Tubun (Pengawal kediaman resmi Wakil Perdana Menteri II dr. J. Leimena);
2. Kolonel Katamso Darmokusumo (Komandan Koren 072/Pamungkas, Yogyakarta);
3. Letkol Sugiyono Mangunwiyoto (Kepala Staf Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta).
Kekuasaan PKI
Pasca pembunuhan beberapa perwira TNI AD, PKI mampu menguasai 2 sarana komunikasi vital, yaitu studio RRI di Jalan Merdeka Barat dan kantor Telekomunikasi yang terletak di Jalan Merdeka Selatan.
Melalui RRI, PKI menyiarkan pengumuman tentang Gerakan 30 September yang ditujukan kepada para perwira tinggi anggota “Dewan Jenderal” yang akan mengadakan kudeta terhadap pemerintah.
Selain itu, diumumkan pula terbentuknya “Dewan Revolusi” yang diketuai oleh Letkol Untung Sutopo.
Pada tanggal 6 Oktober, Soekarno mengimbau rakyat untuk menciptakan “persatuan nasional”.
Persatuan nasional meruapakan persatuan antara angkatan bersenjata dan para korbannya, dan penghentian kekerasan.
Biro Politik dari Komite Sentral PKI segera menganjurkan semua anggota dan organisasi-organisasi massa untuk mendukung “pemimpin revolusi Indonesia” dan tidak melawan angkatan bersenjata.
Pernyataan ini dicetak ulang di koran CPA bernama “Tribune”.
Kutipan amanat Presiden Soekarno kepada Soeharto pada saat Soeharto disumpah
Pada tanggal 16 Oktober 1965, Soekarno melantik Mayjen Soeharto menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat di Istana Negara.
Berikut kutipan amanat Presiden Soekarno kepada Soeharto pada saat Soeharto disumpah.
"Saya perintahkan kepada Jenderal Mayor Soeharto, sekarang Angkatan Darat pimpinannya saya berikan kepadamu, buatlah Angkatan Darat ini satu Angkatan daripada Republik Indonesia.
Angkatan Bersenjata daripada Republik Indonesia yang sama sekali menjalankan Panca Azimat Revolusi, yang sama sekali berdiri di atas Trisakti, yang sama sekali berdiri di atas Nasakom, yang sama sekali berdiri di atas prinsip Berdikari, yang sama sekali berdiri atas prinsip Manipol-USDEK.
Manipol USDEK telah ditentukan oleh lembaga kita yang tertinggi sebagai haluan negara Republik Indonesia.
Dan oleh karena Manipol-USDEK ini adalah haluan daripada Republik Indonesia, maka dia harus dijunjung tinggi, dijalankan, dipupuk oleh semua kita.
Oleh Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, Angkatan Kepolisian Negara.
Hanya jikalau kita berdiri benar-benar di atas Panca Azimat ini, kita semuanya, maka barulah revolusi kita bisa jaya.
Soeharto sebagai panglima Angkatan Darat dan sebagai Menteri dalam kaninetku, saya perintahkan engkau, kerjakan apa yang kuperintahkan kepadamu dengan sebaik-baiknya.
Saya doakan Tuhan selalu bersama kita."
Baca juga: Gerwani dan Stigma Negatif Organisasi Perempuan Indonesia, Sering Dihubungkan dengan G30S 1965
Pemberian kekuasaan melalui Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar)
Lima bulan setelah itu, pada tanggal 11 Maret 1966, Soekarno memberi Soeharto kekuasaan tak terbatas melalui Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar).
Ia memerintahkan kepada Soeharto untuk mengambil “langkah-langkah yang sesuai” guna mengembalikan ketenangan.
Selain itu juga untuk melindungi keamanan pribadi dan wibawanya.
Kekuatan tak terbatas ini pertama kali digunakan oleh Soeharto untuk melarang PKI.
Sampai Maret 1967, Soekarno dipertahankan sebagai Presiden Tituler Diktatur Militer itu sebagai penghargaan atas jasa-jasanya.
Sesudah kejadian tersebut, 30 September diperingati sebagai Hari Peringatan Gerakan 30 September (G30S).
Kemudian hari berikutnya, 1 Oktober, ditetapkan sebagai Hari Kesaktian Pancasila.
Pada masa pemerintahan Soeharto, biasanya sebuah film mengenai kejadian tersebut juga ditayangkan di seluruh stasiun televisi di Indonesia setiap tahun pada tanggal 30 September.
Selain itu, pada masa Soeharto biasanya dilakukan upacara bendera di Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya.
Setelah upacara kemudian dilanjutkan dengan tabur bunga di makan para pahlawan revolusi di TMP Kalibata.
Namun, sejak era Reformasi bergulir, film itu sudah tidak ditayangkan lagi dan hanya tradisi tabur bunga yang dilanjutkan.
(Tribunnews.com/Katarina Retri)