RUU HPP Segera Disahkan, NIK akan Difungsikan Jadi NPWP
Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP) akan disahkan menjadi UU di Sidang Paripurna DPR RI hari ini, Kamis (7/10/2021).
Penulis: Suci Bangun Dwi Setyaningsih
Editor: Facundo Chrysnha Pradipha
TRIBUNNEWS.COM - Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP) akan disahkan menjadi Undang-undang dalam Sidang Paripurna terakhir DPR RI hari ini, Kamis (7/10/2021).
Dalam RUU HPP terdapat beberapa poin penting, termasuk rencana NIK akan difungsikan menjadi NPWP.
Pemerintah akan menggunakan Nomor Induk Kependudukan (NIK) di KTP sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Zudan Arif Fakhrulloh mengatakan, RUU HPP saat ini sedang menunggu pengesahan.
Nantinya, NIK sekaligus akan menjadi NPWP.
Baca juga: Ingin Mengubah Data di KTP? Simak Caranya Berikut Ini
"Jadi tidak perlu mencetak KTP baru, cukup pakai NIK."
"Ini sudah dirancang di RUU HPP yang menunggu ketok palu."
"Kita tunggu besok, setelah RUU-nya disahkan menjadi Undang-Undang di DPR." katanya, dikutip Tribunnews.com dari kanal Youtube Kompas TV, Kamis (7/10/2021).
Perlu diketahui, saat ini untuk bantuan sosial, Kartu Prakerja, BPJS sudah berbasis NIK.
Sementara itu, Menteri Bidang Koordinator Perekonomian, Airlangga Hartarto mengungkapkan, kehadiran RUU HPP akan memberi ruang yang lebih besar untuk para pengusaha untuk mengembangkan bisnis.
"Diharapkan dapat disetujui oleh DPR pada akhir masa sidang periode ini pada tanggal 7 Oktober tahun ini," katanya dalam Forum Dialog HUT 83 Sinarmas, Rabu (6/10/2021).
"Berdasarkan (RUU) KUP terakhir (sekarang menjadi RUU HPP), tentu ini diberlakukan untuk menjaga perekonomian nasional. Diharapkan perubahan dari KUP ini memberikan banyak ruang bagi para pengusaha," lanjutnya.
Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP)
Menteri Keuangan, Sri Mulyani mengatakan RUU HPP banyak memberi manfaat kepada masyarakat menengah ke bawah.
Manfaat yang diberikan RUU HPP membuat ekonomi bisa berkembang, terutama kegiatan usaha kecil menengah.
RUU HPP juga mampu membangun sistem administrasi perpajakan menjadi efisien.
Sehingga, meminimalisir hal-hal yang bisa menggerus potensi penerimaan pajak.
Selain itu, dalam RUU HPP juga akan tertuang aturan baru Pajak Penghasilan (PPh) yang disebut Sri Mulyani akan menguntungkan rakyat kecil.
Sebab, semakin kaya pribadi maka akan dikenakan pajak lebih besar.
Nantinya akan ada lima poin wajib pajak, yakni:
1. Sampai dengan Rp 60 juta: 5 persen
2. Rp50-250 juta: 15 persen
3. Rp250-500 juta: 25 persen
4. Rp500-Rp5 miliar: 30 persen
5. di atas Rp5 miliar: 35 persen
Tak hanya pajak penghasilan, di dalam RUU HPP juga terdapat aturan mengenai pajak karbon yang menurut pemerintah digunakan untuk menurunkan emisi dan mendukung ekonomi hijau.
Meski demikian, peraturan tersebut justru ditolak oleh sejumlah asosiasi.
Salah satunya Asosiasi Industri Plastik Indonesia Inaplas.
Menurut Sekretaris Jenderal Inaplas Fajar Budiono, pihaknya menilai pajak karbon justru makin menegaskan inovasi energi yang selama ini dilakukan perusahaan tidak ada artinya.
"Jadi kita banyak melakukan inovasi yang tujuannya menurunkan emisi yang ujung-ujungnya kita menurunkan ongkos produksi. Tapi lagi-lagi 20 persen ada di listrik."
"Kalau listrik mayoritas batu bara dan kena pajak karbon juga, enggak ada artinya inovasi yang kita lakukan selama ini," kata Fajar dalam program "B-Talk Bussines Talk" Kompas TV, Selasa (5/10/2021).
Padahal, ketika perusahaan melakukan inovasi, pihaknya perlu menurunkan ongkos produksi dengan kebutuhan pokok listrik yang tetap 20 persen dan berbahan utama batu bara.
Penjelasan Dirjen Dukcapil Terkait NIK Difungsikan Jadi NPWP
Menurut Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Zudan Arif Fakhrulloh, Penggabungan NIK dan NPWP ini sejalan dengan perkembangan regulasi Perpres Nomor 83 Tahun 2021.
Di mana, dalam Perpres tersebut memuat tentang NIK yang menjadi dasar pelayanan publik.
"Kalau kita mencermati perkembangan regulasi Perpres Nomor 83 Tahun 2021, di sana ada arahan Bapak Presiden."
"Pertama, NIK digunakan sebagai dasar pelayanan publik. Jadi pelayanan publik harus pakai NIK."
"Kedua, apabila penduduk punya NPWP, maka digunakan NIK dan NPWP ditambah dalam semua pelayanan publik," katanya, dikutip Tribunnews.com dari kanal YouTube Kompas TV, Rabu (6/10/2021).
Baca juga: Bagaimana Ketentuan Penggunaan Meterai Elektronik? Ini Penjelasannya
Lebih lanjut, Zudan menjelaskan, apa yang dimuat dalam Perpres Nomor 83 Tahun 2021 merupakan kelanjutan dari UU No 24 Tahun 2013.
Di mana, pada waktu itu sudah ada semangatnya, yakni single identity number atau satu penduduk hanya boleh mempunyai satu identitas yang menjadi kode referensi tunggal, yakni NIK.
Hal tersebut, lalu dimuat dalam Pasal 64 UU Nomor 24 Tahun 2013.
Pasal tersebut, memuat tentang pelayanan publik wajib menggunakan NIK.
Di mana NIK jadi kode referensi tunggal bagi penduduk yang digunakan sebagai proses pelayanan publik.
Kemudian, diperintahkan dalam waktu paling lambat 5 tahun sejak tahun 2013 sudah diintegrasikan data dengan NIK, dari semua nomor yang berlaku di Indonesia.
Kini, rencana NIK sekaligus akan menjadi NPWP menunggu RUU HPP disahkan.
(Tribunnews.com/Suci Bangun DS, Kompas.Tv/Nurul Fitriana)