Merugikan Banyak Pihak, DPR Diminta Seleksi Ulang Calon Anggota BPK RI
Pusat Kajian Keuangan Negara (Pusaka Negara) menyoroti pemilihan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang memenangkan Nyoman Adhi Suryadnyana, pada
Penulis: Reza Deni
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pusat Kajian Keuangan Negara (Pusaka Negara) menyoroti pemilihan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang memenangkan Nyoman Adhi Suryadnyana, padahal sejak awal prosesnya mendapat sorotan tajam dari berbagai kalangan.
Hal itu lantaran terpilihnya Nyoman dinilai menabrak UU BPK karena yang bersangkutan tidak memenuhi syarat formil sebagaimana ketentuan UU BPK.
Direktur Eksekutif Pusaka Negara Prasetyo mengatakan sejak awal publik telah mengingatkan bahwa Nyoman Adhi Suryadnyana tidak memenuhi syarat.
"Akan tetapi Komisi XI tetap nekat meloloskannya dalam voting pemilihan. Selain itu, Pimpinan DPR juga hanya menjadi ‘stempel’ dan tidak mau meninjau ulang ihwal kesalahan prosedur yang dilakukan Komisi XI," katanya dalam pesan singkat yang diterima Tribunnews, Jumat (8/10/2021).
Prasetyo lebih lanjut menilai proses seleksi Anggota BPK yang tidak adil ini jelas merugikan banyak pihak.
Pertama, dikatakan olehnya, para kandidat yang memenuhi syarat sangat dirugikan karena mereka berhadapan dengan calon yang telah ‘dikondisikan’ oleh DPR.
Baca juga: Profil Nyoman Adhi Suyadnyana, Anggota BPK yang Dipersoalkan Yusril hingga Surati Puan Maharani
"Kedua, masyarakat juga dirugikan karena proses seleksi Anggota BPK ini menggunakan anggaran negara tetapi tidak dilaksanakan sesuai dengan ketentuan," katanya.
Ketiga, Pras menyebut secara khusus auditee juga akan dirugikan apabila Anggota BPK yang terpilih tidak jelas integritas dan independensinya.
"Justru, jika Anggota BPK terpilih tidak memenuhi syarat akan menimbulkan masalah baru ketika BPK nanti melakukan audit. Hasil auditnya pasti akan dipertanyakan bahkan bisa digugat," kata Prasetyo.
Karena melanggar UU dan merugikan banyak pihak, Pras menyarankan sebaiknya pemilihan Anggota BPK ini diulang dari awal.
"Presiden sebaiknya mengirim surat kepada Pimpinan DPR bahwa Keppres akan ditandatangani apabila proses seleksi berjalan sesuai ketentuan. Karena itu, mau tidak mau Pimpinan DPR mengembalikan proses seleksi kepada Komisi XI untuk melakukan seleksi lagi berdasarkan ketentuan UU,” kata Pras.
Dia menjelaskan bahwa surat DPR ke Presiden sudah menjadi produk resmi, sehingga kalau Presiden menolak tanda tangan Keppres, maka keputusan DPR perlu ditinjau kembali atau diturunkan kembali sampai Komisi XI.
“Proses seleksi dari awal ini juga tidak bisa mengikutsertakan nama Nyoman dan Harry Soeratin karena telah terbukti tidak memenuhi persyaratan,” tambahnya.
Prasetyo pun yakin Presiden Jokowi tidak akan menandatangani Keppres meskipun Paripurna telah menetapkan Nyoman.
"Presiden akan tegak lurus dengan konstitusi dan UU, termasuk dalam pengesahan Anggota BPK yang memang sejak awal bermasalah,” tandasnya.
Diketahui, setelah DPR mengesahlan Nyoman Adhi sebagai Anggota BPK RI yang baru, sejumlah gugatan maupun surat terbuka berdatangan terkait hal tersebut.
Baca juga: Surati Puan Maharani, Yusril Tolak Pencalonan Anggota BPK yang Cacat Hukum, Ini Argumen Hukumnya
Tercatat gugatan ke PTUN datang dari Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) yang menggugat Ketua DPR RI Puan Maharani terkait Surat Ketua DPR kepada DPD soal Calon Anggota BPK.
Gugatan terhadap Puan terdaftar di PTUN Jakarta dengan nomor perkara 232/2021/PTUNJKT. Gugatan itu terdaftar Senin (4/10/2021), dengan pihak tergugat Ketua DPR RI Puan Maharani.
"MAKI mengajukan gugatan baru setelah surat keberatan kepada Ketua DPR tidak ditanggapi. Gugatan sebelumnya tidak diterima PTUN karena MAKI belum mengajukan surat keberatan kepada Ketua DPR," kata koordinator MAKI, Boyamin Saiman kepada wartawan, Selasa (5/10/2021) lalu.
Sementara itu, Advokat Yusril Ihza Mahendra melayangkan surat kepada Ketua DPR Puan Maharani yang berisi keberatan atas pemilihan calon anggota BPK yang dinilainya cacat hukum.
Calon yang dimaksud Yusril adalah Nyoman Adhi Suryadnyana, seorang birokrat PNS aktif pada Ditjen Bea Cukai, Kementerian Keuangan.
Pada 3 Oktober 2017 sampai dengan 20 Desember 2019, Nyoman menjabat sebagai Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean C Manado, Sulawesi Utara. Karena jabatan itu, Yusril menyebut Nyoman tergolong sebagai Pejabat Kuasa Pengguna Anggaran (KPA).
"Berdasarkan Pasal 13 huruf j Undang-Undang BPK pejabat demikian baru dibolehkan maju menjadi calon anggota BPK jika telah meninggalkan jabatannya selama dua tahun. Sedangkan jangka waktu dua tahun itu baru akan berakhir pada tanggal 20 Desember 2021. Sementara kekosongan anggota BPK akan terjadi pada tanggal 29 Oktober 2021 karena anggota BPK Prof Dr Bahrullah Akbar akan berakhir masa bhaktinya," ujar Yusril, dalam keterangannya, Kamis (7/10/2021).
Yusril mengatakan dirinya menyampaikan keberatan di atas kepada Ketua DPR sebagai kuasa hukum dari Dadang Suwarna, peserta seleksi calon anggota BPK yang mendapat suara urutan kedua setelah Nyoman.
"Karena Nyoman tidak memenuhi syarat, berdasarkan precedent yang berlaku di DPR, maka Dadang yang berada di urutan kedua akan menggantikannya," katanya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.