Upacara Ngaben dalam Agama Hindu: Tahap Pelaksanaan Upacara Ngaben dan Jenis Upacara Pengabenan
Berikut ini arti dari upacara Ngaben dalam agama Hindu, tahap pelaksanaan Ngaben, dan jenis upacara pengabenan yaitu Ngewangun, Pranawa, dan Swastha.
Penulis: Yunita Rahmayanti
Editor: Arif Tio Buqi Abdulah
TRIBUNNEWS.COM - Ngaben merupakan upacara keagamaan yang dilakukan oleh umat Hindu.
Menurut Pemerintah Kabupaten Buleleng dalam laman bulelengkab.go.id, Ngaben adalah upacara pembakaran jenazah umat HIndu di Bali
Upacara ini merupakan ritual keagamaan yang tertujuan untuk memulangkan roh leluhur ke tempat asalnya.
Istilah Ngaben dalam bahasa Bali memiliki konotasi bahasa halus yang disebut Palebon.
Palebon beradal dari kata lebu (pratiwi atau tanah).
Kemudian, kata palebon memiliki makna melebur menjadi pratiwi (abu) dan tanah.
Dalam tradisi tersebut, ada dua cara untuk mengembalikan seseorang menjadi tanah yaitu dengan cara membakar (ngaben) dan menanam ke dalam tanah (metanem).
Berikut ini informasi tentang tradisi Ngaben di Bali.
Baca juga: Aturan Ngaben di Tengah Pandemi Virus Corona
Apa tujuan upacara Ngaben?
Seperti yang telah dijelaskan sedikit di atas, upacara Ngaben bertujuan untuk mempercepat tubuh (raga sarira) kembali ke asalnya yaitu panca maha buthadi alam (lima unsur dasar zat yang menyusun manusia dari alam semesta).
Dalam ajaran agama Hindu, landasan filosofis dari tradisi Ngaben adalah panca sradha yang terdiri dari lima kerangka dasar Agama Hindu yaitu Brahman, Atman, Karmaphala, Samsara, dan Moksa.
Upacara Ngaben secara khusus dilaksanakan sebagai wujud cinta kepada leluhur dan bakti anak kepada orangtua.
Ngaben juga disebut sebagai pitra yadnya (lontar yama purwana tattwa).
Pitra berarti leluhur atau orang yang meninggal.
Yadnya berarti persembahan suci yang tulus ikhlas.
Baca juga: Setahun Lebih Terhenti, Mulai Gelar Upacara Ngaben di Bali dengan Protokol Kesehatan Ketat
Pelaksanaan ritual upacara Ngaben (Pitra Yadnya)
Upacara Ngaben biasanya diawali dengan upacara Atiwa-tiwa yang mencakup tujuh upakara.
Istilah Atiwa-tiwa berasal dari kata ati yang berarti berkeinginan dan awa yang berarti terang, bening, atau bersih.
Makna dari upacara ini adalah mewujudkan keinginan untuk pembersihan dan penyucian jenazah dan kekuatan panca maha butha-nya.
Upacara Atiwa-tiwa disebut juga upacara pengeringkesan.
Tahapan ini dilakukan untuk Puja Pitara yaitu meningkatkan kesucian Petra menjadi Pitara.
Ngeringkes atau Ngelelet berarti pengembalian atau penyucian asal mula dari manusia.
Menurut ajaran agama Hindu, manusia berasal dari huruf-huruf suci yang lahir berkat kekuatan Sang Hyang Widhi berupa Ongkara Mula.
Adapun jasad manusia bermanifestasi menjadi Sastra Mudra, Sastra Wrestra (Nuriastra), dan Sastra Swalalita.
Ketiga kekuatan sastra ini memberi makna Utpti (lahir), Stiti (hidup), dan Pralina (mati).
Kemudian, ketiga sastra ini bermanifestasi lagi untuk memberi jiwa kepada setiap sel tubuh manusia.
Tubuh manusia memiliki 108 Sastra Dirga (huruf-huruf suci).
Sehingga, ketika seorang manusia meninggal, sastra-sastra tersebut harus dikembalikan ke sastra Ongkara Mula atau disebut Ongkara Pranawa.
Proses pengembalian ini disebut Ngeringkes, yang memerlukan upacara dan sarana.
Upacara atiwa-tiwa merupakan pensucian tahap permulaan.
Sehingga setelah upacara atiwa-tiwa, jenazah sudah bisa digotong dan dinaikkan ke paga atau wadah.
Namun, jika jenazah itu dikubur tanpa upacara atiwa-tiwa, maka jenazah tersebut tidak boleh digotong, tetapi dijinjing karena masih berstatus Petra.
Baca juga: Mengenal Upacara Ngaben, Berikut Asal-usul, Tujuan dan Jenisnya
Jenis Upacara Ngaben
1. Upacara Pengabenan Ngewangun
Semua organ tubuh (sebagai awangun) memperoleh material upakara sehingga upakaranya banyak.
Ngaben jenis Ngewangun diikuti dengan Pengaskaran.
Ada dua jenis upacara ngaben Ngewangun, yaitu Mewangun Sawa Pratek Utama (upacara yang ada jenazah asli) dan Mewangun Nyawa Wedana (tidak ada janazah, disimbolkan dengan kayu cendana dan ditulis aksara sangkanparan).
Upacara Ngaben Ngewangun Nyawa Wedana berasal dari kata Nyawa atau nyawang (dibuat simbul).
Kemudian, kata Wedana berarti rupa atau wujud.
Jadi, Nyawa Wedana artinya dibuatkan rupa-rupaan (simbolis manusia).
2. Upacara Pengabenan Pranawa
Pada upacara pangabenan pranawa ada sarana upakara yang ditujukan pada sembilan lubang di tubuh manusia.
Pranawa berasal dari kata Prana (lubang, napas, jalan) dan Nawa (sembilan).
Adapun sembilan lubang tersebut adalah:
1. Udana (lubang kening), yang dapat mempengaruhi baik buruknya pikiran.
2. Kurma (lubang mata), yang dapat mempengaruhi budhi baik atau buruk.
3. Krkara (lubang hidung), yang berpengaruh pada Tri Kaya.
4. Prana (mulut), yaitu sumber dosa bersumber yang berasal dari ucapan (Tri Mala Paksa).
5. Dhananjya (kerongkongan) yaitu pengaruh terhadap kesombongan dan kedurhakaan.
6. Samana (lubang pepusuhan), pengaruh jiwa menjadi loba dan serakah.
7. Naga (lubang lambung) yaitu pengaruh karakter yang berkaitan dengan Sad Ripu.
8. Wyana (lubang sendi) yang dapat mempengaruhi perbuatan sehingga memunculkan Subha Asubha Karma.
9. Apana (pantat kemaluan) pengaruhi kama yg berkaitan dengan Sapta Timira.
Kesembilan lubang manusia ini dapat mengantar manusia kelembah dosa.
Pengabenan Pranawa juga diikuti dengan upacara pengaskaran, sama seperti pangabenan ngewangun.
Baca juga: Walikota Denpasar Dampingi Menteri Lutfi Persiapan Terapkan SOP Peduli Lindungi di Pasar Tradisional
3. Upacara Pengabenan Swastha
Upacara ngaben jenis ini tidak melalui tahap pengaskaran.
Pangabenan swastha merupakan upacar ngaben sederhan yang tidak menggunakan kajang dan tanpa upacara Pengajuman Kajang.
Selain itu, juga tidak menggunakan bale paga, damar kurung, damar layon, damar angenan, petulangan, tiga sampir, baju antakesuma dan payung pagut.
Upacara ini hanya menggunakan peti jenazah dan Pepaga (penusangan untuk mengusung ke setra).
Swasta berasal dari kata “su” (luwih, utama) dan Astha yang berarti Asthi (tulang, abu).
Jadi, swastha berarti pengabenan yang bertujuan untuk kembali ke inti utama manusia.
Pengabenan swastha terdiri dua jenis:
1. Pengabenan Swastha Geni
Penyelesaian jenis ini berada di setra dengan cara membakar jenazah maupun tanpa jenazah.
Kemudian, jenazah dibuatkan sekah tunggal dan dilaksanakan "pengiriman" dengan cara upacara nganyut.
2. Pengabenan Swastha Bambang
Upakara pelaksanaan upacara ngaben jenis ini dilaksanakan di atas bambang penguburan jenazah.
Peralatan yang digunakan sama dengan pengabenan Swatha Geni, hanya ditambah "Pengadeg Bambang".
Pada upacara Ngaben jenis ini, tidak ada upacara pengerakan dan penganyutan, namun dilakukan dengan cara dikubur.
Kemudian, pada upakara "pengelemijian" dan pengerorasan dilaksanakan seperti Ngaben biasa.
Pengabenan Swastha Geni dan Swastha Bambang merupakan pengabenan nista utama karena tidak memakai bale paga, tidak melaksanakan pengaskaran, dan pada saat ke setra hanya memakai tumpang salu saja.
(Tribunnnews.com/Yunita Rahmayanti)
Berita lain terkait Asal Usul Upacara Ngaben