Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Ini Kata Mantan Napi Terorisme Terkait Pro dan Kontra Pembubaran Densus 88

Haris menilai keberadaan Densus 88 masih diperlukan dan keberadaan Densus 88 penting guna menangkal pencegahan terorisme.

Editor: Hasanudin Aco
zoom-in Ini Kata Mantan Napi Terorisme Terkait Pro dan Kontra Pembubaran Densus 88
ISTIMEWA
Ilustrasi Densus 88. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan narapidana kasus terorisme (Napiter) Haris Amir Falah angkat bicara terkait munculnya pro dan kontra pembubaran Datasemen Khusus 88 (Densus 88) Aniteror Polri.

Haris menilai keberadaan Densus 88 masih diperlukan dan keberadaan Densus 88 penting guna pencegahan terorisme.

“Saya melihat keberadaan Densus 88 perlu dipertahankan ada. Pernyataan politikus itu jangan disamakan dengan pernyataan anak jalanan. Densus dengan payung hukum. Kritik itu harus bijak dan jangan membuat angin segar bagi terorisme,” kata Haris dalam Diskusi Trijaya Hot Topic Petang dalam "Pro Kontra Pembubaran Densus 88" yang disiarkan pada Selasa (12/10/2021).

Haris pun menanggapi pernyataan Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra, Fadli Zon yang menyebut bahwa Datasemen Khusus 88 atau Densus 88 Antiteror Polri sebaiknya dibubarkan.

Pernyataan ini disampaikan Fadli lewat sebuah cuitan di akun Twitter pribadi @fadlizon.

Baca juga: Polri Tak Mau Dengar Usul Fadli Zon Soal Pembubaran Densus 88: Kita Tetap Bekerja Berantas Terorisme

Haris menilai keberadaan Densus 88 efektif dalam menangkal terorisme.

Terbukti, menurut dia, 80 napiter tobat dan kembali ke jalan yang benar.

Berita Rekomendasi

Mereka kembali ke pangkuan Negara kesatuan republik Indonesia (NKRI) dan mereka ingin mengamalkan Islam Rohmatan lil A’lamin.

“Itu ada peran ulama, dan peran Densus 88 luar biasa. Densus 88 itu tidak hanya pemberantasan, dan ada juga direktorat pencegahan dan social. Kadang saya melihat bahwa Densus jauh lebih humanis dari orang-orang di luarnya. Mereka mengejar teroris karena kesalahannya, namun setelah ditangkap perlakuannya humanis,” imbuh Haris.

Tindakan humanis Densus 88, ucapnya, tidak tercover media. Mereka (Densus 88) mendekatkan tersangka terorisme dengan pendekatan kemanusiaan.

“Bagaimana kita bisa bicara satu meja dan menghilangkan pengalaman pahit kita dan membangun Indonesia yang damai,” tuturnya.

Haris menceritakan saat dirinya ditangkap Densus 88 pada tanggal 5 Mei 2010 pukul 17 lewat menjelang Magrib.

Saat DPO dirinya ditangkap di Bekasi dan sadar ketika proses pengadilan.

“Saya ditangkap terhadap kasus tindakan teroris tahun 2010 tanggal 5 Mei. Itu sejarah yang tidak bisa dilupakan. Jam 5 sore menjelang Magrib. Saya DPO dulu awalnya dan berakhir penangkapan di Bekasi. Dan saya sadar ketika diproses pengadilan," katanya.

Ketika itu, lanjut dia, dirinya ditangkap telah ada ada puluhan yang ditangkap pada pelatihan di Aceh.

"Barang bukti luar biasa sudah ditangan aparat. Jadi tertangkap tetap saja sebagai terduga,” ungkapnya.

Ketua Program Studi Kajian Terorisme SKSG Universitas Indonesia Muhammad Syauqillah sependapat dengan Haris.

Menurut dia, keberadaan Densus 88 perlu dipertahankan dan itu sesuai dengan amanat Undang-Undang No. 5 Tahun 2018 Tentang Pemberantasan Terorisme.

“Keberadaan Densus perlu dipertahankan karena menjadi amanat Undang-Undang kita,” terang Syauqi yang juga Ketua BPET MUI.

Ia mengungkapkan selama tahun 2021 Densus 88 telah berhasil menangkap 100 orang teroris jaringan Jamaah Islamiyah (JI).

Namun gerakan penangkapan Densus 88 dilakukan secara diam-diam.

“Anda bisa bayangkan selama 2021 untuk JI ada 100 orang yang ditangkap oleh Densus 88 dan itu silence, dan itu bagaimana kinerjanya. Densus 88 makin ke sini makin bagus,” jelasnya.

Dia menilai kritik yang kontruktif, itu dari pemerhati dan akademisi, dan dari waktu ke waktu ada kinerja dari Densus 88 mengalami perbaikan.

“Kalau dulu darrr… derrr.. dorrr… dan diliput stasiun televisi nasional. Dan kalau ada penembakan itu ada buat anak-anak kecil tidak cocok untuk menontonnya”.

Intinya, jelas Syauqi, keberadaan Densus 88 diperlukan untuk pencegahan dan bisa mencegah aksi massif terorisme.

“Artinya dana yang besar dari pencegahan aksi terorisme itu sebanding. Kalau terjadi aksi teror, itu trauma fisik seseorang dan kehancuran itu akan jadi trauma sendiri. Dan harus dilihat pendekatan keamanan dari manusia untuk pencegahan terorisme,” ucapnya.

Dan berdasarkan Fatwa Nomor 3 tahun 2004 itu menyatakan segala bentuk teror dan bom bunuh diri itu haram.

“MUI jelas posisinya bahwa terror dan bom bunuh diri itu haram,” pungkasnya. 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas