Jaksa Agung ST Burhanuddin Ungkap Alasan Ingin Terapkan Hukuman Mati bagi Koruptor
Jaksa Agung ST Burhanuddin mengungkapkan alasan dirinya berencana menerapkan hukuman mati bagi koruptor kelas kakap di Indonesia.
Penulis: Igman Ibrahim
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Igman Ibrahim
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jaksa Agung ST Burhanuddin mengungkapkan alasan dirinya berencana menerapkan hukuman mati bagi koruptor kelas kakap di Indonesia.
Hal itu karena sering kali penegakan hukum yang dilakukan tak cukup untuk memberantas kejahatan rasuah.
Ia beranggapan saat ini telah banyak upaya penegakkan hukum, seperti memiskinkan pelaku hingga tindakan represif lain yang justru tak memberikan efek jera bagi pelaku.
"Upaya tersebut ternyata belum cukup memberantas kejahatan korupsi. Karena itu kejaksaan merasa perlu melakukan terobosan hukum, dengan menerapkan hukuman mati," kata Burhanuddin dalam diskusi daring, Kamis (18/11/2021).
Ia mengatakan selama ini pihaknya telah mencoba memberikan efek jera misalnya dengan memberikan tuntutan berat sesuai dengan tingkat kejahatannya.
Kemudian, kata dia, pihaknya juga mengubah pola pendekatan follow the suspect (tersangka) menjadi follow the money dan follow the asset untuk mendalami perkara.
Baca juga: Aspidum Kejati Jawa Barat Dicopot Jaksa Agung Usai Kasus Istri Marahi Suami Pemabuk Dituntut 1 Tahun
Hal itu akan berujung pada perampasan aset.
"Memiskinkan koruptor dengan melakukan perampasan aset koruptor melalui asset recovery. Sehingga, penegakkan hukum tidak hanya pemidanaan badan tetapi juga bagaimana kerugian keuangan negara dapat dipulihkan secara maksimal," katanya.
Jaksa, kata dia, juga telah berupaya menyeleksi pemberian justice collaborator (JC) bagi para koruptor yang terjerat.
Lalu, upaya hukum lain melalui sistem keperdataan juga sempat diupayakan kepada koruptor yang meninggal dunia atau diputus bebas namun ditemukan ada kerugian keuangan negara dalam peristiwa tersebut.
Namun demikian, kata dia, semua upaya tersebut masih belum dapat memberantas kejahatan korupsi di Indonesia.
Karena itu, pendakatan yang lebih ekstrim untuk mengupayakan tuntutan hukuman mati kepada terdakwa korupsi tengah dikaji dan diupayakan oleh Kejaksaan.
Baca juga: Ada 3 Satgas Mafia Tanah, Kejagung Pastikan Tak Ada Ego Sektoral
"Terkait penerapan hukuman mati bagi koruptor ini yang pernah saya sampaikan dalam berbagai kesempatan, tentunya akan menimbulkan pro kontra. Keberadaan sanski pidana yang tegas dan keras memiliki peran yang sangat penting di dalam proses pemberantasan korupsi guna menghadirkan efek jera," jelas dia.
Apalagi, kata dia, jalan untuk menerapkan hukuman mati tersebut diperbolehkan dalam Undang-udang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sehingga, terobosan hukum dinilainya dapat dilakukan untuk menyelesaikan perkara masalah korupsi di Indonesia.
Ia mencontohkan, sanksi itu termaktub dalam Pasal 2 ayat (2) UU Pemberantasan Tipikor merumuskan bahwa korupsi yang dilakukan dalam keadaan tertentu dapat dijatuhi hukuman pidana mati.
Misalnya, kata dia, dana-dana yang diperuntukkan untuk penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, kerusuhan sosial yang meluas, hingga penanggulangan krisis ekonomi dan moneter.
Kemudian, ia juga mengatakan bahwa frasa pengulangan tindak pidana sebagai syarat penjatuhan hukuman mati bagi koruptor dikaji ulang.
Baca juga: Kejagung Periksa Tiga Pihak Swasta Terkait Kasus Korupsi Asabri
Burhanuddin merujuk pada konsep residivis dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang memaknai pengulangan sebagai perbuatan pidana setelah dikembalikan ke masyarakat.
Jika diterapkan dalam tindak pidana korupsi, Burhanuddin menilai konsep residivis itu tidak akan berjalan efektif dan menimbulkan efek jera.
Sebab, koruptor dapat melakukan korupsi di berbagai tempat dengan modus yang berbeda.
"Jika pelaku sudah diputus dengan hukuman penjara dan pelaku tersebut telah melakukan perbuatan korupsi di tempat lain, apakah terhadap pelaku tersebut dapat dikenakan pengulangan tindak pidana dalam korupsi? Isu hukum ini patut kita renungkan bersama dan kaji lebih dalam," jelasnya.
Diberitakan sebelumnya, Jaksa Agung RI ST Burhanuddin mengkaji untuk memberikan hukuman mati terhadap koruptor.
Penerapan hukuman mati ini dinilainya tepat untuk memberikan rasa keadilan di masyarakat.
Pernyataan ini disampaikan Burhannudin saat melakukan briefing bersama Kajati, Wakajati, Kajari dan Kacabjari dalam rangka kunjungan kerja di Kejaksaan Tinggi Kalimantan Tengah pada Kamis (28/10/2021).
"Bapak Jaksa Agung sedang mengkaji kemungkinan penerapan hukuman mati guna memberikan rasa keadilan dalam penuntutan perkara dimaksud, tentunya penerapannya harus tetap memperhatikan Hukum Positif yang berlaku serta nilai-nilai Hak Asasi Manusia," kata Kapuspenkum Kejagung Leonard Eben Ezer dalam keterangannya, Kamis (28/10/2021).
Jaksa Agung, kata Leo, memiliki pertimbangan hukuman mati ini setelah melihat penanganan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani Kejaksaan Agung RI. Dua yang menjadi sorotan adalah kasus korupsi Jiwasraya dan Asabri.
"Jiwasraya dan Asabri sangat memprihatinkan kita bersama dimana tidak hanya menimbulkan kerugian negara kasus Jiwasraya Rp16,8 Triliun dan Asabri 22,78 Triliun. Namun sangat berdampak luas baik kepada masyarakat maupun para prajurit," ujarnya.
Leo menuturkan Jiwasraya dan Asabri menyangkut hak banyak pegawai maupun prajurit yang menggantungkan jaminan hidup hari tuanya. Namun, dana itu justru di korupsi oleh oknum orang tertentu.
"Perkara Jiwasraya menyangkut hak-hak orang banyak dan hak-hak pegawai dalam jaminan sosial, demikian pula perkara korupsi di ASABRI terkait dengan hak-hak seluruh prajurit dimana ada harapan besar untuk masa pensiun dan untuk masa depan keluarga mereka di hari tua," jelasnya.
Selain itu, kata Leo, Jaksa Agung juga membuka kemungkinan memberikan hukuman lain selain hukuman mati kepada koruptor.
"Bapak Jaksa Agung juga menyampaikan kemungkinan konstruksi lain yang akan dilakukan, yaitu bagaimana mengupayakan agar hasil rampasan juga dapat bermanfaat langsung dan adanya kepastian baik terhadap kepentingan pemerintah maupun masyarakat yang terdampak korban dari kejahatan korupsi," katanya.