Menteri PPN: Ketiadaan GBHN Membuat Perspektif Pembangunan Memendek Pada Siklus Lima Tahunan
Ketiadaan haluan negara membuat perspektif pembangunan seakan memendek menjadi hanya pada siklus lima tahunan periode kepresidenan
Editor: Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketiadaan haluan negara membuat perspektif pembangunan seakan memendek menjadi hanya pada siklus lima tahunan periode kepresidenan.
Hal itu disampaikan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa dalam Webinar Series MPR RI bersama Tribun Series : PPHN Memperkuat Konsensus Sistem Presidensil, di Jakarta, Selasa (16/11/20201).
Sebagai orang yang pernah terlibat dalam penyusunan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) di periode pemerintahan tahun 1982, 1987, 1992, dan 1997, Suharso merasakan manfaat kehadiran GBHN dalam pola perencanaan pembangunan nasional.
Namun sejak amandemen kelima konstitusi tahun 2002, karena keberadaan GBHN dihilangkan, malah muncul kekhawatiran mengenai keberlanjutan pembangunan.
"Ketiadaan haluan negara membuat perspektif pembangunan seakan memendek menjadi hanya pada siklus lima tahunan periode kepresidenan," ujar Suharso.
"Menjadikan tidak adanya jaminan pembangunan yang dilakukan di satu periode pemerintahan, dilanjutkan oleh periode pemerintahan penggantinya," jelasnya.
Baca juga: Ketua MPR: PPHN Tidak Akan Kurangi Otoritas Presiden
Suharso menjelaskan sebagai orang yang pernah terlibat dalam penyusunan UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang menjadi dasar Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025.
Dirinya mengungkapkan suasana kebatinan saat itu, keberadaan RPJPN tidaklah dimaksudkan untuk mengganti apalagi menghilangkan haluan negara.
Karena haluan negara memuat aturan secara holistik yang melibatkan seluruh unsur yang merepresentasikan kekuatan bangsa.
Sementara RPJPN memberikan arah bagi pemerintah dalam melaksanakan pembangunan.
"Kedepannya bangsa Indonesia sangat memerlukan haluan negara sebagai penjabaran lebih lanjut dari UUD Negara Republik Indonesia 1945."
"Haluan negara juga menjadi menjadi dasar visi dan misi presiden dalam menyusun road map, sekaligus benchmarking perencanaan pembangunan jangka panjang, menengah, dan kerja pemerintah selama lima tahunan," ucap Suharso.
Baca juga: Menteri PPN Suharso Monoarfa Ungkap 3 Mekanisme yang Dapat Digunakan Hidupkan Kembali PPHN
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menegaskan, rencana MPR RI periode 2019-2024 menghadirkan kembali haluan negara dengan nomenklatur Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN), tidak lain juga untuk menyempurnakan bangunan ketatanegaraan Indonesia.
Yaitu dengan adanya Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia NRI Tahun 1945 sebagai haluan konstitusional negara dan PPHN sebagai kebijakan dasar pembangunan negara.
"Hadirnya PPHN tidak menyebabkan presiden harus menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada MPR. Tanggungjawab presiden tetap langsung kepada rakyat, karena presiden dipilih langsung oleh rakyat," tegas Bamsoet, demikian sapaannya.
"MPR tidak berwenang memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden apabila tidak melaksanakan PPHN. MPR hanya dapat memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 3 Ayat (3) dan Pasal 7B Ayat (1)," imbuh politikus Golkar ini.
Baca juga: Menteri PPN Suharso Monoarfa Pastikan PPHN Tak Batasi Kreativitas Capres
Bamsoet yang juga Ketua DPR RI ke-20 ini menjelaskan, dari serangkaian diskusi yang dilakukan MPR dengan berbagai kalangan, pada prinsipnya dapat disimpulkan bahwa bangsa Indonesia memerlukan PPHN sebagai haluan negara dalam implementasi pembangunan.
Berdasarkan rekomendasi hasil kajian Badan Pengkajian MPR bersama Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR RI, bentuk hukum PPHN yang paling ideal adalah melalui Ketetapan MPR.
Bukan melalui undang-undang karena sebagai haluan negara, PPHN harus mempunyai legal standing yang kuat.
Tidak dapat dibayangkan jika sebuah haluan negara diatur dalam bentuk undang-undang, yang masih mungkin 'ditorpedo' dengan PERPPU, atau diajukan judicial review melalui Mahkamah Konstitusi.
"Bentuk hukum penetapan PPHN juga sebaiknya tidak diatur dalam konstitusi, karena PPHN adalah produk kebijakan yang berlaku periodik, dan disusun berdasarkan dinamika kehidupan masyarakat."
"Karena PPHN bersifat direktif, tidak normatif seperti halnya konstitusi, maka tentunya materi PPHN tidak mungkin dirumuskan dalam satu pasal atau satu ayat saja dalam konstitusi," jelas Bamsoet.
Baca juga: Bamsoet: Kehadiran PPHN Perkuat Sistem Presidensil
PPHN Tak Batasi Kreativitas Capres
Suharso membantah anggapan akan hadirnya Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) bakal membatasi kreativitas calon presiden dan calon wakil presiden.
Dia merujuk pada adanya anggapan bahwa keberadaan PPHN membuat capres-cawapres tidak akan memiliki visi misi dan harus menjalankan PPHN saja.
"Haluan Negara tentu tidak membatasi kreativitas calon presiden dan wakil presiden," ujar Suharso.
"Dia akan memberikan arah pembangunan di semua segi yang erat kaitannya dengan kepentingan kehidupan berbangsa dan bernegara. Dan Haluan Negara ini akan dijabarkan dalam pembangunan jangka panjang dalam rencana yang bertahap tadi," imbuhnya.
Suharso memaparkan bahwa permasalahan yang bakal dihadapi capres-cawapres tidak terkait pada Haluan Negara. Melainkan pada konsistensi pentahapan RPJP yang akan mereka direncanakan.
Baca juga: Jangan Fobia GBHN Buatan Orde Baru, Jimly dan Bamsoet Senada: PPHN Memperkuat Sistem Presidensil
Tak hanya itu, perkembangan luar biasa cepat dan dinamis, baik di dalam dan luar negeri disebut Suharso juga berpotensi mengubah situasi dan kapasitas ke depannya.
"Sehingga kita berharap kalau Haluan Negara kita undang kembali, dalam kehadirannya dia akan lebih mengajegkan, supaya kita tetap akomodatif bahkan kita bisa mensupervisi bagaimana arah yang jangka panjang itu," jelasnya.
Baca juga: Ketua MPR Bamsoet Urai 12 Alasan Perlunya PPHN Pengganti GBHN, MPR Bukan Lembaga Tertinggi Negara
Lebih lanjut, dia mengatakan Haluan Negara sendiri akan menajdi tidak efektif apabila tidak langsung berada dibawah Undang-Undang Dasar (UUD).
"Ada baiknya Haluan Negara itu seperti lex spesialis atau super spesialis yang posisinya lebih tinggi dari UU dan dibawah UUD. Ini apabila iya (dilakukan), maka ini setidak-tidaknya akan ditetapkan oleh MPR sebagai satu-satunya ketetapan MPR yang reguler tiap lima tahunnya,"tandasnya. (*)