Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Fraksi PKS Sampaikan Penolakan Terhadap RUU HKPD

Fraksi PKS DPR RI menolak pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (RUU HKPD).

Penulis: Chaerul Umam
Editor: Johnson Simanjuntak
zoom-in Fraksi PKS Sampaikan Penolakan Terhadap RUU HKPD
Foto: Chaerul Umam
Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi PKS Anis Byarwati (kanan) 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Fraksi PKS DPR RI menolak pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (RUU HKPD). 

Sebelumnya, pada Selasa (23/11/2021) kemarin, Komisi XI DPR RI bersama Kementerian Keuangan menyetujui RUU HKPD untuk dibawa ke pembicaraan tingkat II di Rapat Paripurna. 

Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi PKS Anis Byarwati menyebut, PKS menolak RUU HKPD karena banyak hal signifikan yang mempengaruhi secara negatif terhadap sistem desentralisasi, kemandirian fiskal, serta keadilan dan kesejahteraan masyarakat. 

"Dalam perkembangannya hasil pembahasan RUU HKPD belum sepenuhnya memenuhi amanat Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945), yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial," kata Anis di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (24/11/2021). 

Selanjutnya, ada beberapa poin alasan Fraksi PKS menolak RUU HKPD. 

Baca juga: Pembahasan RUU HKPD Masuk Tahap Akhir, Ini Harapan Fraksi Partai Demokrat

Fraksi PKS menolak RUU HKPD karena memperkuat arah “re-sentralisasi” dan mereduksi semangat “desentralisasi”. 

Beberapa contohnya yaitu: pada Pasal 169 menyebutkan bahwa pemerintah pusat dapat mengendalikan APBD pada tiga kondisi yaitu: 

Berita Rekomendasi

(i) penyelarasan kebijakan fiskal pusat dan Daerah; (ii) penetapan batas maksimal defisit APBD dan pembiayaan Utang Daerah dan (iii) pengendalian dalam kondisi darurat. 

"Ketentuan ini menyebabkan daerah tidak bebas dalam mengelola fiskalnya sehingga hilangnya semangat reformasi, otonomi daerah, dan desentralisasi fiskal. Selain itu, program-program daerah juga bisa diarahakan untuk sejalan dengan Proyek Strategis Nasional (PSN) sehingga daerah berpotensi tidak dapat berinovasi," ucapnya. 

"Hal itu juga terlihat dari alokasi Dana Alokasi Khusus (DAK) yang salah satunya ditujukan untuk pemenuhan target layanan yang menjadi prioritas nasional. Faktanya, tidak semua prioritas nasional sejalan dengan kebutuhan daerah," lanjutnya. 

Ditambahkan Anis, Fraksi PKS konsisten memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh lapisan masyarakat. 

Usulan Fraksi PKS mengenai keberpihakan terhadap Rakyat Kecil dengan pembebasan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) untuk kendaraan roda 2 dengan CC kecil (di bawah 155 CC) tidak diakomodasi. 

Sebagian besar kendaraan bermotor ber-CC rendah dimiliki oleh masyarakat bawah. 

Selain itu, kendaraan tersebut dijadikan moda untuk aktivitas mata pencaharian rakyat bawah. Artinya masyarakat banyak bergantung dari kendaraan bermotor roda dua. 

"Pembebasan kewajiban atas pemilikan kendaraan bermotor ber-CC rendah akan meringankan beban hidup rakyat terlebih dimasa pandemi. Hal ini sangat penting sebagai kebijakan dengan semangat keadilan ditengah insentif pembebasan pajak untuk pembelian kendaraan roda empat yang sedang diobral pemerintah dan banyaknya insentif pajak untuk korporasi," ujarnya. 

Lebih lanjut, Fraksi PKS menolak hasil pembahasan RUU HKPD karena berpotensi meningkatkan risiko utang negara dengan dibukanya peluang peningkatan utang daerah. 

Anis menegaskan, utang negara sudah meningkat signifikan karena pandemi covid-19. 

Ketika opsi tersebut dibuka maka utang negara berpotensi semakin meningkat. Sumber pembiayaan pembangunan dari obligasi daerah berpotensi memunculkan lonjakan utang daerah. 

Padahal kapasitas fiskal daerah sangat terbatas. 

"Beberapa daerah sangat bergantung pada dana transfer pemerintah pusat karena Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang rendah. Pada gilirannya pembiayaan obligasi daerah akan menaikkan utang pemerintah secara keseluruhan," ucapnya. 

"Naiknya utang pemerintah dan daerah akan semakin meningkatkan beban negara secara keseluruhan. Pemerintah pusat semestinya dapat memberikan alternatif untuk mendorong peningkatan PAD, tidak melalui utang daerah," tandasnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas