Pakar Ungkap Sederet Ambiguitas Putusan MK tentang UU Cipta Kerja
Pakar hukum tata negara, Denny Indrayana, menilai putusan MK tersebut mencoba mengakomodir berbagai kepentingan.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang pada dasarnya menyatakan UU tersebut inkonstitusional bersyarat nenjadi perdebatan publik.
Pakar hukum tata negara, Denny Indrayana, menilai putusan MK tersebut mencoba mengakomodir berbagai kepentingan.
Akibatnya menjadi ambigu, tidak konsisten, dan berpotensi menimbulkan perselisihan dalam implementasinya.
"Melakukan uji formil dengan Putusan MK 91—yaitu menilai keabsahan prosedur pembuatan undang-undang—bukan terkait isinya," ujar Denny dalam keterangannya, Sabtu (27/11/2021).
MK, tutur Denny, pada awalnya terkesan tegas ketika menyatakan bahwa UU Ciptaker bertentangan dengan UUD 1945, karena tidak sejalan dengan rumusan baku pembuatan undang-undang.
Namun, karena alasan memahami 'obesitas regulasi' dan tumpang tindih antar-UU, MK memberi permakluman inkonstitusionalitas itu diberi masa toleransi paling lama dua tahun.
Jika dalam dua tahun itu tidak dilakukan pembuatan berdasarkan landasan hukum yang baku, maka UU Ciptaker menjadi inkonstitusional secara permanen.
Denny lantas membeberkan sederet ambiguitas dalam putusan MK terkait UU Ciptaker.
Pertama, UU Ciptaker yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, masih diberi ruang untuk berlaku selama dua tahun.
Baca juga: Pakar Hukum Tata Negara Ingatkan UU Cipta Kerja Masih Tetap Berlaku
Di antaranya karena sudah banyak diterbitkan aturan pelaksanaan dan telah pula diimplementasikan.
"Seharusnya, agar tidak ambigu, MK tegas saja membatalkan UU Ciptaker, dan kalaupun ingin memberi ruang perbaikan, itu tidak dapat dijadikan alasan untuk suatu UU yang dinyatakan melanggar konstitusi untuk tetap berlaku," katanya.
Ambiguitas kedua, dari 12 putusan yang dibacakan, MK menyatakan sepuluh di antaranya 'kehilangan objek' karena Putusan MK 91 sudah menyatakan UU Ciptaker inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional).
Ia lantas mempertanyakan objek mana yang hilang.
Pasalnya meskipun menyatakan bertentangan dengan konstitusi, MK masih memberlakukan UU Ciptaker maksimal dua tahun.
Sehingga, kata dia, ada kemungkinan isi UU Ciptaker tetap berlaku selama dua tahun tersebut.
"Tegasnya, UU Ciptaker mungkin masih berlaku dalam maksimal dua tahun itu, sehingga objek uji materi seharusnya masih ada, dan menjadi tidak konsisten alias ambigu ketika dikatakan 'kehilangan objek' untuk diuji isi UU tersebut," katanya.
Kemudian ambiguitas ketiga.
Denny menilai dalam putusannya MK mencari kompromi yang justru terjebak menjadi tidak tegas.
Sehingga putusan tersebut menimbulkan multitafsir apakah masih bisa dilaksanakan atau tidak.
"Ada dua kubu yang berbeda pendapat. Satu pihak berpandangan UU Ciptaker masih bisa dilaksanakan dalam dua tahun. Pihak lain berpendapat UU Ciptaker tidak boleh lagi diimplementasikan sama sekali," katanya.
Atas dua pendapat itu, Denny mengatakan sebenarnya MK telah mencoba memberikan kejelasan, meskipun masih berlaku, pelaksanaan UU Ciptaker yang 'strategis dan berdampak luas agar ditangguhkan terlebih dahulu'.
Pun tidak dibenarkan menerbitkan kebijakan 'strategis yang dapat berdampak luas'.
"Lebih jauh, tidak pula 'dibenarkan membentuk peraturan pelaksanaan baru'. Namun, jalan tengah yang ditawarkan MK itu tetap menyisakan ambiguitas dan ketidakjelasan tentang apa batasan sesuatu dikatakan 'strategis' dan 'berdampak luas'," tutur dia.
Menurut Denny, dengan pertimbangan tersebut MK secara interpretasi terbalik (a contra rio) memberi ruang bagi berlakunya UU Ciptaker, peraturan pelaksanaan, dan kebijakan yang lahir dari UU Ciptaker itu sepanjang tidak strategis dan tidak berdampak luas.
"Pertanyaannya, apakah ada pelaksanaan UU Ciptaker yang tidak strategis dan tidak berdampak luas itu? Kalau jawabannya tidak ada, lalu untuk apa MK memutuskan demikian? Kalaupun jawabannya ada, untuk apa pula UU Ciptaker masih berlaku demi hanya untuk sesuatu yang tidak strategis dan tidak berdampak luas," katanya.
Padahal, kata Denny, uji formil telah menegaskan UU Ciptaker bertentangan dengan UUD 1945.
Hal itu dapat diinterpretasikan bahwa MK mentoleransi suatu UU yang telah dinyatakan bertentangan dengan konstitusi hanya demi pelaksanaan yang sebenarnya tidak strategis dan tidak berdampak luas.
Selanjutnya ambiguitas keempat, Denny menyebut dalam putusannya, Mahkamah terlihat sangat kokoh menerapkan formalitas pembuatan undang-undang, termasuk dengan sangat baik mengkritisi minimnya ruang partisipasi publik dalam lahirnya UU Ciptaker.
"Namun, sayangnya MK tidak menerapkan standar yang sama ketika menguji formal perubahan Undang-Undang KPK dan perubahan Undang-Undang Minerba, yang juga super kilat dan senyatanya menihilkan public participation," tutur Denny.
Menurut Denny, jika mengacu pada Putusan MK 91, seharusnya kedua perubahan UU KPK dan Minerba itupun dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Meski begitu, ia menekankan, putusan MK 91 sudah final, berkekuatan hukum tetap dan harus dihormati.
Denny pun menyarankan solusi atas persoalan ini.
Ia meminta Presiden, DPR, dan DPD segera melakukan perubahan atas UU tentang Pembentukan Peraturan Perundangan, yang mengadopsi metode omnibus law, sehingga bisa menjadi landasan baku perbaikan UU Ciptaker.
"Lebih penting lagi, materi UU Ciptaker juga harus sesuai dengan aspirasi kepentingan publik, bukan mengabdi pada kepentingan investasi semata yang menegasikan daulat dan hati rakyat pemilik republik," kata Denny.