Mahfud MD Bicara Dosa dan Karma Bagi Koruptor, Banyak yang Tidak Takut
Mahfud MD mengingatkan sanksi bagi koruptor tidak hanya berupa pemidanaan atau penjara namun juga adanya perasaan berdosa dan karma bagi koruptor.
Penulis: Gita Irawan
Editor: Hasanudin Aco
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD mengingatkan sanksi bagi koruptor tidak hanya berupa pemidanaan atau penjara namun juga adanya perasaan berdosa dan karma bagi koruptor.
Ia menjelaskan semenjak reformasi sudah banyak upaya untuk memberantas korupsi di antaranya mengubah sistem hukum korup yang dibuat Orde Baru dan membuat banyak lembaga yang berwenang mengawasi dan menghukum koruptor.
Namun demikian, kata Mahfud, saat ini ia sudah tidak terlalu percaya pada pembenahan di tingkat sistem dan kelembagaan tersebut diantaranya karena masih banyaknya praktik korupsi yang terjadi meskipun sudah begitu banyak aturan dan lembaga yang dibentuk untuk memberantas korupsi.
Untuk itu, Mahfud mengajak seluruh pihak membangun budaya, persepsi, dan cara hidup bersama yang memandang bahwa sanksi yang berlaku bagi koruptor bukan hanya sanksi hukum.
Baca juga: Ini 5 Nama dari 57 Eks Pegawai KPK yang Tak Hadiri Kegiatan Sosialisasi Pengangkatan Jadi ASN Polri
Ia menjelaskan dalam ilmu hukum ada dua jenis sanksi.
Pertama, kata dia, sanksi yang sifatnya heteronom misalnya sanksi hukum yang ditegakkan oleh aparat penegak hukum.
Kedua, kata dia, ada sanksi yang sifatnya otonom.
Sanksi tersebut, kata dia, bersumber dari moralitas dan penghayatan keagamaan.
Moralitas dan penghayatan keagamaan, kata dia, penting sebagai sisi lain dari Pancasila selain sebagai sebagai dasar negara.
Hal tersebut disampaikannya dalam acara Diskusi Panel bertajuk Mewujudkan Sinergi Antar-Aparat Penegak Hukum dan Instansi Terkait sebagai Counterpartner yang Kondusif dalam Pemberantasan Korupsi di kanal Youtube KPK pada Senin (6/12/2021).
"Karena Pancasila itu bisa melahirkan hukum, dan bisa juga yang belum menjadi hukum. Kita harus takut juga kepada sanksi yang bukan hukum yang namanya sanksi otonom. Bukan sanksi heteronom. Apa itu? Perasaan dosa," kata Mahfud.
Menurutnya apabila seseorang hanya takut pada hukum, maka orang tersebut bisa bermain-main bahkan bisa membeli hukum.
Namun demikian, bagi orang yang beriman dan bermoral meskipun ia bisa membeli hukum, namun ia akan merasakan perasaan dosa tersebut.
"Bahkan ke kearifan lokal kita itu mengajarkan, ya hampir mirip lah dengan agama, derita yang disebut karma. Kamu boleh bebas karena pintar kamu menghindar dari hukum, tapi karma akan datang kepadamu," kata Mahfud.
Menurutnya ada pandangan di masyarakat yang menyebut bahwa koruptor akan mendapatkan karma meskipun bisa lolos dari jerat hukum.
Masyarakat, kata Mahfud, memandang karma tersebut akan menimpa keluarganya.
"Maka kalau orang-orang jauh cerita, itu anaknya hancur berantakan, kenapa? Karena bapaknya korupsi. Itu dia makan uang haram, anaknya terlibat narkoba. Dia makan uang haram anaknya tertangkap memperkosa orang, atau diperkosa orang, atau apa. Itu orang sering menyebut itu karma. Meskipun tidak mutlak seperti itu ya. Memang kejahatan pemerkosaan, narkoba, itu sesuatu yang berdiri sendiri," kata Mahfud.
Mahfud bercerita, seorang hakim pernah menyimpan uang miliaran rupiah yang dititipkan ke teman hakim tersebut karena takut untuk melaporkannya ke KPK.
Namun demikian, sesudah pensiun, teman hakim tersebut lari bersama uang yang dititipkan hakim tersebut.
"Akhirnya sakit. Sakitnya apa? Di Malang, duduk begini, kalau mau tidur harus disuntik, kalau mau bangun harus disuntik. Uangnya banyak, tapi tidak ada gunanya. Itulah karma. Yang harus ditakuti ya itu yang kayak begitu. Jangan hanya masuk penjara. Di borgol itu mungkin tiga tahun, empat tahun, ya bisa 20 tahun. Tapi banyak yang kayak begitu orang tidak takut," kata Mahfud.
Untuk itu, kata Mahfud, budaya antikorupsi harus dibangun dengan cara mengamalkan Pancasila baik sebagai dasar negara maupun selain sebagai pandangan, kesepakatan hidup, dan sebagainya, yang belum tentu menjadi hukum.
"Karena banyak hal-hal yang tidak menjadi hukum dari nilai-nilai baik itu. Dan itu dikawal oleh kesadaran moral, oleh hati nurani," kata Mahfud.