Dalam Catatannya, KontraS Sebut Negara Merupakan Aktor Utama Penyusutan Ruang Kebebasan Sipil
KontraS menyatakan jika negara merupakan aktor utama dari menyusutnya ruang kebebasan sipil dalam menyampaikan kritik dan aspirasi.
Penulis: Rizki Sandi Saputra
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengeluarkan catatannya terkait dengan situasi dan kondisi Hak Asasi Manusia (HAM) di Tanah Air bertepatan dengan Hari HAM Internasional, Jumat (10/12/2021).
Dalam catatan yang berjudul 'HAM Dikikis Habis' itu, KontraS menyatakan jika negara merupakan aktor utama dari menyusutnya ruang kebebasan sipil dalam menyampaikan kritik dan aspirasi.
Hal tersebut tercermin kata Wakil Koordinator KontraS Rivanlee Anandar, dari tingginya penerapan pembubaran paksa dari aparat penegak hukum terhadap kegiatan penyampaian pendapat yang belakangan ini terjadi.
"Saya mau menyebutkan, hari ini negara menjadi aktor utama dalam melakukan penyusutan terhadap kebebasan sipil," kata Rivanlee, saat pemaparan catatan bertajuk 'HAM Dikikis Habis' di kantor KontraS, Kwitang, Jakarta Pusat, Jumat (10/12/2021).
Di mana kata Rivanlee, Dalam catatan KontraS sejak Desember 2020 hingga November 2021, tercatat ada 150 peristiwa pembatasan kebebasan berekspresi yang dilakukan masyarakat sipil di muka umum.
Baca juga: Di Hadapan Presiden, Ketua Komnas HAM Apresiasi Tim Penyidik Kasus Paniai yang Telah Dibentuk
Ironisnya, dari ratusan peristiwa tersebut, sebanyak 533 masyarakat sipil ditangkap, bahkan sampai ada yang tewas sebanyak 2 orang dengan aktor utamanya dominan dilakukan oleh polisi dengan 100 kasus.
"Dari 150 peristiwa tersebut ada 500 an orang yang ditangkap, 533 lebih tepatnya dengan aktor utamanya polisi sendiri," beber Rivanlee.
Lebih lanjut kata dia, dari serentetan peristiwa itu, pembubaran paks menjadi tindakan pelanggaran kebebasan berekspresi terbanyak yakni 67 kasus.
Kemudian diikuti dengan penangkapan secara sewenang-wenang dengan jumlah sebanyak 43 kasus.
Adapun kata dia, alasan utama pembubaran paksa yang dilakukan aparat adalah karena aksi tidak mengantongi izin.
Dia lantas, menyinggung Undang-Undang No.9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum.
"Selain itu, alasan penegakan protokol kesehatan juga masih menjadi alasan lainnya dalam pembubaran sewenang-wenang," ucapnya.
Baca juga: Ketua Komnas HAM: HAM, Toleransi dan Resiliensi Kunci Indonesia Lepas Dari Krisis Akibat Pandemi
Lebih jauh, Rivanlee mengatakan, dalam catatannya KontraS mencatat adanya pemberangusan kebebasan berekspresi yang dialami masyarakat sipil.
Pemberangusan itu dominan berkaitan dengan isu Papua dengan total 25 kasus. Selanjutnya ada pula isu sumber daya alam atau lingkungan sebanyak 18 kasus.
Angka tersebut kata dia, meunjukkan bahwa cara pandang negara masih sangat represif dalam memandang ekspresi tentang Papua.
"Beberapa tindakan represif secara masif dilakukan pada saat demonstrasi penolakan Otonomi Khusus Papua yang diterjadi di berbagai daerah di Indonesia seperti, Jakarta, Semarang, Jayapura, hingga Sorong," ucapnya.
Represifitas negara melalui lembaga keamanan dalam hal ini Kepolisian juga kata Rivanlee semakin sewenang-wenang, terakhir, mengenai penghapusan sejumlah mural yang merupakan arena untuk masyarakat mengkritik pemerintahannya.
Beberapa di antaranya yakni 'Jokowi 404 Not Found' serta 'Tuhan Aku Lapar' hingga 'Dipaksa Sehat di Negara yang Sakit' menempatkan sang pembuat karya harus menjadi target pencarian polisi.
Hal itu kata dia, semakin menunjukkan watak otoritatian pemerintah yang alergi terhadap kritik publik.
"Ucapan Presiden yang meminta masyarakat untuk lebih aktif mengkritik justru tidak dibarengi dengan jaminan tiap bentuk kritik tersebut," tukasnya.