Komisi Organisasi Rumuskan 8 Bahasan Strategis dalam Muktamar NU di Lampung
Komisi Organisasi merumuskan delapan bahasan dalam Muktamar ke-34 Nahdlatul Ulama (NU) yang digelar pada 23-25 Desember 2021 mendatang di Lampung.
Penulis: Reza Deni
Editor: Malvyandie Haryadi
"Tujuannya agar implementatif. Ini dibangun dan nanti nyambung dengan perubahan dalam pasal soal sumber-sumber keuangan NU,” tambah Andi.
Masih terkait dengan kemandirian, komisi organisasi juga merevisi pasal terkait sumber keuangan dan kekayaan NU.
Keempat, Komisi Organisasi Muktamar NU akan membahas soal kewenangan Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) untuk memberikan pengesahan bagi kepengurusan di tingkat Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWCNU).
“Di dalam Muktamar ke-33 NU di Jombang, kewenangan PWNU untuk mengesahkan kepengurusan di MWC atau level administrasi kecamatan, itu diambil PCNU (Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama), satu level di atasnya. Padahal sebelumnya kewenangan itu ada di dua level di atasnya,” ujarnya.
Sementara kepengurusan satu tingkat di atasnya, PCNU misalnya, hanya memiliki kewenangan untuk memberikan rekomendasi kepada PWNU untuk mengesahkan kepengurusan di level MWCNU.
Isu kelima di dalam Komisi Organisasi Muktamar NU, dikatakan Andi, adalah soal wewenang dan tugas pengurus.
Dia menjelaskan ada satu hal yang menjadi perhatian khusus, yakni soal kewenangan rais ‘aam di dalam dan luar pengadilan.
“Ini untuk menjaga marwah jabatan rais ‘aam, sehingga jabatan rais ‘aam tidak dilibatkan dalam urusan-urusan di dalam maupun luar pengadilan, yang terkait dengan hukum positif. Itu cukup diwakilkan oleh ketua umum. Konteksnya menjaga marwah, supaya tidak terseret-seret dalam urusan pengadilan,” ujarnya.
Bahasan keenam adalah soal evalusasi kepengurusan.
Wasekjen PBNU itu mengatakan kepengurusan NU di setiap level tidak cukup dievaluasi hanya di dalam permusyawaratannya saja. Seperti PBNU di forum muktamar, PWNU, dan PCNU di dalam konferensi.
“Itu tidak cukup hanya setiap lima tahun evaluasinya. Tetapi perlu ada evaluasi secara rutin, yang berbasis indikator-indikator. Misalnya, pengurus wilayah dan cabang nanti bisa diklasifikasikan menjadi kategori A, B, dan C,” jelasnya.
Dicontohkan, PWNU dan PCNU akan mendapat kategori A jika dalam satu tahun bisa melaksanakan kaderisasi minimal dua kali. Kemudian memiliki usaha di bidang kesehatan, seperti rumah sakit dan klinik, serta punya puluhan lembaga pendidikan.
Di samping itu, indikator kategori A adalah memiliki struktur kepengurusan lengkap. Misalnya, PWNU memiliki PCNU lengkap di setiap kota dan kabupaten, PCNU memiliki struktur MWCNU lengkap di seluruh kecamatan.
“Tetapi kalau selama satu tahun ternyata kaderisasi hanya sekali, usaha hanya punya klinik dan tidak punya lembaga pendidikan atau sebaliknya. Mungkin masuknya kategori B. Kalau tidak pernah melaksanakan kaderisasi dan tidak memiliki usaha, maka masuk kategori C atau klasifikasi terendah,” terang Andi.